Sekali lagi, kita sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran dan pertolongan sedemikian rupa. Muktamar Khilafah (MK) baru lalu yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di 31 kota besar di seluruh Indonesia dengan total peserta lebih dari 400 ribu orang itu dapat berjalan dengan sukses dan mencapai hasil yang diharapkan.
Namun, di tengah membuncahkan semangat yang ditimbulkan oleh gelegar MK, tetap saja ada pihak-pihak yang memandang sinis perhelatan akbar itu. Intinya mereka mengatakan, bahwa kegiatan yang telah memakan energi yang cukup besar, dan dengan capaian yang juga cukup besar itu, sia-sia belaka karena pasti tidak akan mungkin mampu mengantarkan pada cita-cita tegaknya Khilafah.
Setidaknya ada dua kelompok yang memiliki pandangan seperti itu. Pertama: kelompok yang menyatakan bahwa Khilafah hanya bisa dicapai melalui jihad. Kata mereka, mengharap tegak Khilafah sekadar melalui kegiatan demo, seminar, diskusi, konferensi atau muktamar seperti Muktamar Khilafah—seberapa pun banyak pesertanya—hanyalah mimpi. Ringkasnya, tidak mungkin Khilafah bisa ditegakkan tanpa darah dan pedang. Mereka lalu menunjuk Irak, Afganistan dan tentu saja Suriah sebagai bukti; hanya jihad sajalah yang bisa mengantarkan pada kemenangan.
Kedua: kelompok yang menyatakan bahwa MK memang luar biasa, namun tidak punya arti apa-apa bila tidak bisa dikonversi menjadi dukungan nyata dalam Pemilu 2014 mendatang. Karena itu, HT(I) harus ikut Pemilu, atau setidaknya mengarahkan para pendukungnya untuk mencoblos salah satu partai Islam. Bila bukan melalui Pemilu, dengan alat apa HT akan menegakkan Khilafah?
++++
Memang, keadaan umat hidup tanpa pemimpin atau khalifah belum pernah terjadi pada masa lalu. Karena itu tidak pernah ada preseden tentang bagaimana situasi seperti ini harus dihadapi. Oleh karena itu, wajar bila ada perbedaan dalam jalan (thariqah) meraih kembali kejayaan Islam. Apalagi ditambah dengan pengaruh pemikiran politik selain Islam, utamanya demokrasi, yang merasuk ke tengah umat selepas payung Dunia Islam (Khilafah) runtuh pada tahun 1924. Sejak itu umat makin kehilangan arah dalam cara perjuangannya.
Tentang jalan demokrasi, bila tujuannya sekadar meraih kekuasaan, Pemilu memang adalah cara yang paling logis. Namun, bila tujuannya adalah lahirnya perubahan mendasar pada sistem dan rezim, fakta membuktikan bahwa cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan. Lihatlah, tumbangnya rezim Orde Baru tidak terjadi melalui Pemilu meski telah diadakan secara berulang selama 30 tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui gerakan reformasi yang berlangsung hanya beberapa bulan. Perubahan besar di negeri-negeri Muslim di Timur Tengah juga terjadi bukan melalui jalan demokrasi. Gelombang Revolusi Arab atau Arab Spring telah mengakhiri puluhan tahun kekuasaan para diktator di sana.
Memang, keyakinan pada demokrasi sempat makin menguat dengan naiknya tokoh Ikhwanul Mulismin, Muhammad Mursi, ke tampuk kekuasaan di Mesir setelah memenangi pemilihan presiden di sana. Namun, kudeta yang baru lalu membuktikan sekali lagi bahwa demokrasi adalah jalan palsu untuk perjuangan Islam. Barat dan para kroninya selalu menyerukan semua pihak untuk setia mengikuti demokrasi. Namun, seruan itu sesungguhnya hanya untuk kepentingan mereka, bukan untuk Islam. Pasalnya, bila melalui cara demokrasi partai Islam naik ke pusat kekuasaan, mereka tak segan menghentikannya. Lihatlah, bukan hanya Mursi, Erbakan di Turki dan FIS di Aljazair pun mengalami hal serupa; menang melalui demokrasi, tetapi dihentikan dengan cara yang anti-demokrasi.
Lalu bagaimana langkah HT(I) dalam meraih tujuan? Tentu saja Muktamar Khilafah yang diselenggarakan oleh HTI baru lalu, sebagaimana juga diskusi, seminar, tablig akbar, demo dan kegiatan lain sejenis, bukanlah jalan untuk tegaknya Khilafah. Orang banyak salah mengerti, seolah HT(I) hanya mengandalkan langkah-langkah seperti itu dalam meraih cita-citanya. Padahal itu semua hanya bagian saja dari kegiatan pembinaan umat yang amat diperlukan guna membangun kesadaran Islam. Melalui MK, ratusan ribu orang tersadarkan tentang betapa pentingnya syariah dan Khilafah. Jadi, bagaimana bisa MK disebut sia-sia?
Dalam pemahaman HTI(I), membangun opini publik yang tumbuh di atas kesadaran Islam adalah bagian sangat penting dalam perjuangan, sebagaimana ditunjukkan dalam thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw. Perjuangan Rasulullah Muhammad saw. dimulai dengan kegiatan pembinaan dan pengkaderan, lalu ke tahap interaksi dengan masyarakat guna membentuk opini di tengah masyarakat tentang Islam. Kemudian di atas kesadaran itulah masyarakat Madinah, juga akhirnya Makkah, mendukung Rasulullah saw.
Rasulullah saw. juga melakukan apa yang disebut usaha menggalang dukungan/bantuan (thalabun-nushrah) dari para pemilik kekuasaan. Itu terjadi pada tahun 8 kenabian di penghujung fase kedua dalam thariqah dakwah Rasulullah, yaitu fase interaksi dengan masyarakat (at-tafa’ul ma’a al-ummah). Thalabun-nushrah ditempuh guna mendapatkan perlindungan bagi dakwah dan jalan meraih kekuasaan (akhdu al-hukmi). Dalam usahanya itu, Ibnu Saad dalam kitabnya, Ath-Thabaqat, sebagaimana ditulis Ahmad al-Mahmud dalam kitab Ad-Da’wah ila al-Islam, menyebutkan Rasulullah saw. mendatangi tak kurang 15 kabilah; di antaranya Kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb, Bakar bin Wail, Hamdan, dan lain-lain. Kepada setiap kabilah, Rasulullah saw. meminta nushrah dari mereka, yang diawali dengan ajakan beliau kepada mereka untuk masuk Islam.
Meski berulang ditolak, Rasulullah saw. tetap saja terus menggalang dukungan/bantuan dari para pemilik kuasaan saat itu. Rasulullah saw. tidak berusaha mengganti dengan metode lain. Fakta ini merupakan qarinah (indikasi) yang jazim (tegas) bahwa thalabun-nushrah merupakan perintah Allah SWT, bukan inisiatif Rasulullah saw. sendiri atau sekadar tuntutan keadaan.
Setelah sekian lama berusaha, pada tahun ke-12 kenabian, akhirnya Rasulullah saw. berhasil mendapatkan nushrah dari kaum Anshar, yang menyerahkan kekuasaan mereka di Madinah kepada beliau. Jadi, thalabun-nushrah adalah metode sahih dalam usaha meraih kekuasaan karena dilakukan secara nyata oleh Baginda Rasulullah saw..
Namun, thalabun-nushrah adalah aktivitas politik, bukan aktivitas militer atau kudeta militer. Aktivitas militer hanyalah salah satu cara (uslub)—bukan satu-satunya cara—yang bisa dilakukan oleh ahlun-nushrah; bisa melalui jalan damai, sebagaimana dilakukan oleh kaum Anshar saat menyerahkan kekuasaannya di Madinah kepada Rasulullah saw.
Dalam konteks Suriah, juga Irak dan Afganistan, jihad di sana terjadi tak lain adalah sebagai jalan untuk mempertahankan diri dari serangan orang kafir (jihad difa’i), bukan kegiatan yang sejak awal memang ditujukan untuk tegaknya Khilafah. Ini karena revolusi Suriah pada awalnya dilakukan dengan damai hingga Bashar Assad menggunakan senjata untuk menghentikan tuntutan rakyatnya.
++++
Akhirnya, penting sekali bagi kita untuk berpikir sungguh-sungguh, mana jalan yang sebenarnya tepat guna mewujudkan kembali al Khilafah? Bagi HT(I), tidak ada jalan lain kecuali yang telah ditunjukkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw. Itulah jalan dakwah melalui tiga tahapan: tahap pembinaan dan pengkaderan; tahap interaksi dengan masyarakat; dan tahap penerimaan kekuasaan melalui ahlun-nusrah.
Sebelum itu, jelas semua kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran umat, termasuk kegiatan seperti MK, insya Allah tidaklah akan sia-sia. AlLahu a’lam bi ash-shawab. [HM Ismail Yusanto]