Satu tahun telah berlalu pasca konflik yang terjadi antara Muslim Rohingya dan Budha Rakine di Juni 2012 lalu. Namun, kehidupan Muslim Rohingya masih dalam kondisi rusuh dan kritis. Kaum perempuan dan anak-anak Rohingya hidup sebagai tunawisma dalam kelaparan dan ketakutan luar biasa.
Kenyataan itu diungkap dalam Seminar Perempuan Internasional yang bertajuk Satu Tahun Berlalu–Siapakah yang akan menyela-matkan Muslimah dan anak-anak Rohingya? Ahad (7/7) di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam pers rilisnya, anggota Kantor Media Pusat (CMO) Hizbut Tahrir Dr. Nazreen Nawaz menyatakan acara ini dilaksanakan di Malaysia karena negeri jiran tersebut adalah salah satu negara utama yang menjadi tujuan pelarian ribuan Muslimah Rohingya dalam rangka menghindari kekejaman penganiayaan.
Mereka diteror, dianiaya, bahkan dibunuh oleh militer. Perkosaan sistematis juga telah digunakan oleh pasukan keamanan Burma sebagai senjata penganiayaan. Puluhan ribu perempuan dan anak-anak Rohingya mengungsi dari rumah mereka. Kini mereka harus tinggal di lingkungan kumuh seperti kamp-kamp pengungsi yang menyerupai penjara di Burma. Makanan dan perawatan medis untuk mereka tak memadai, tanpa air bersih dan sanitasi.
Seluruh desa telah dibakar. Terjadi pula pembantaian yang mengorbankan perempuan dan anak-anak. Mereka ada yang dibacok hingga mati, lalu tubuh mereka dibakar. Mereka pun tidak memiliki negara akibat kewarganegaraan mereka ditolak di negeri mereka sendiri oleh rezim Burma. Rezim telah merampas hak mereka atas kesehatan, pendidikan, kebebasan gerak, dan pekerjaan bagi kaum laki-lakinya.
Mereka dipaksa meninggalkan Myanmar, mengarungi lautan hanya menggunakan perahu kayu, dengan sedikit bekal. Sering mesin perahu rusak sehingga mereka terombang-ambing di lautan yang ganas. Tercatat 100 orang mati tenggelam dalam perjalanan.
Memang, sejak tahun 1948 sampai sekarang, Muslim Rohingya tidak mendapatkan hak-hak mereka sebagai manusia. Bahkan pada tahun 1982 ketika pemerintahan Ne Win memberlakukan Undang-Undang Kewargane-garaan, 800.000 orang Rohingya ditolak kewarganegaraannya.
Pada tahun 1991-1992, 250 ribu pengungsi Rohingya membanjiri Bangladesh. Pada Tahun 2010 saat Thein Sein berkuasa, pemerintah junta militer menuju transformasi demokrasi, dan menjadikan Myanmar sebagai negara yang dipimpin sipil.
Buahnya, sistem politik dan ekonomi semakin terbuka. Pembatasan penulisan di media sudah makin longgar. Namun sayang, hanya etnis Rohingya yang tidak merasakan perubahan dari keterbukaan Myanmar ini. Mereka masih tetap terpinggirkan, miskin dan terlantar.
Sekalipun semua kekejaman ini terjadi, ungkap Nazreen Nawaz, Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara-negara demokrasi Barat, media global, pihak oposisi demokratis Burma, dan bahkan banyak organisasi HAM tanpa rasa malu memilih untuk mengabaikan aksi pembantaian dan ketidakadilan ini. “Mereka malah memilih untuk melindungi dan mengejar kepentingan ekonomi dan politik mereka di Burma, yang secara nyata memperlihatkan omong-kosong HAM!” tegasnya.
Racun Nasionalisme
Dalam acara yang dilaksanakan di Dewan Serbaguna, Infrastructure University Kuala Lumpur Bangi, Kuala Lumpur tersebut, Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Iffah Ainur Rochmah mempertanyakan mengapa ratusan ribu tentara yang dimiliki oleh negeri-negeri Muslim tidak juga mengerahkan kekuatan mereka guna membebaskan Muslim Rohingya dari musuh-musuh Allah. Ia juga mempertanyakan mengapa pemimpin-pemimpin negeri Muslim tidak tergerak hatinya memberikan pertolongan yang tak lebih dari sekadar mengecam, paling tinggi hanya memberikan bantuan pangan dan obat-obatan. “Padahal setiap Muslim adalah saudara. Kita tidak layak membiarkan mereka teraniaya oleh musuh kaum Muslimin,” tegasnya.
Menurut anggota CMO Hizbut Tahrir Kawasan Asia Tenggara Fika Monika Komara, penyebabnya adalah karena benak para pemimpin negeri Muslim telah teracuni oleh ide nasionalisme. “Padahal nasionalisme adalah ide yang berbahaya dan menjadi biang kerok tidak terselesaikannya masalah umat Islam, termasuk Rohingya,” tudingnya.
Lebih jauh Fika Monika Komara memaparkan nasionalisme telah meracuni dan melemahkan Muslim di seluruh dunia. “Nasionalisme juga telah mengambil bagian dalam penghapusan Khilafah pada tahun 1924, dan membagi-bagi Muslim menjadi lebih dari 70 negara-negara kecil dan lemah,” bebernya.
Nasionalisme dan demokrasi akan selalu mengamankan kepentingan ekonomi dan politik di atas masalah kemanusiaan, termasuk pada minoritas Muslim. “Faktanya, Pemerintah Indonesia dan Malaysia atas dasar nasionalisme tidak melakukan apa pun untuk membebaskan tanah dan melindungi kehormatan umat Islam minoritas di Myanmar,” tegas Fika.
Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Ummu Fadhilah, memberikan pemaparannya dengan menggunakan bahasa Arab. Ia memaparkan pengkhianatan pemimpin Muslim yang sudah sangat nyata. Ini terlihat dari lepas tangannya mereka terhadap persoalan umat Islam dan menyerahkannya kepada masyarakat internasional. Padahal organisasi internasional ini tidak pernah menyelesaikan masalah apapun. “Tidak ada solusi untuk tragedi ini kecuali dengan eksisnya Khilafah di muka bumi. Khalifah akan melindungi rakyatnya yang Muslim maupun non Muslim,” katanya.
Adapun aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Malaysia Ummu Hajar menegaskan dalam bahasa Inggris, bahwa demokrasi tidak pernah bersikap adil terhadap umat Islam. Ia menghimbau agar umat bersama-bersama Muslimah Hizbut Tahrir mendirikan Khilafah. “Hanya Khilafah yang akan membela umat ini dari musuh-musuh Allah!” pekiknya.
Mendengar itu, serta-merta peserta yang terdiri dari ratusan tokoh perempuan dari seluruh Asia Tenggara, termasuk wartawan, aktivis HAM, pengacara, dan perwakilan organisasi, serentak mengikuti panitia yang meneriakkan yel: “North South East West.. Khilafah state is the best!”
Acara dilanjutkan dengan seruan kepada umat Islam oleh Sumayyah Amar. Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Malaysia tersebut menyerukan kepada tokoh dan pemimpin dunia untuk menggunakan pengaruh dan kekuatan yang mereka miliki untuk menyebarkan Islam dan menjadikan Islam sebagai cara hidup dalam naungan Khilafah Islam.
Untuk menyegarkan suasana, acara tersebut juga diselingi persembahan puisi dan nasyid dari anak-anak putri Malaysia serta pemberian kesaksian Nursina. Muslimah asal Bangladesh tersebut memaparkan pengalamannya berinteraksi dengan perempuan dan anak-anak Rohingya. “Mereka sangat membutuhkan perlindungan bagi keluarga, rumah dan kehormatan mereka,” tegasnya.
Antusias peserta dalam gedung acara maupun pemirsa di seluruh dunia yang mengikuti jalannya acara seminar melalui live streaming tampak saat acara diskusi. Panitia terpaksa membatasi jumlah pertanyaan yang dibahas karena keterbatasan waktu yang ada.
Deklarasi
Sebelum acara ditutup dengan doa, para tokoh yang hadir dalam seminar ini secara simbolis menyatakan deklarasi tokoh Muslimah Asia Tenggara dengan penandatanganan Mitsaq Tokoh Muslimah Asia Tenggara.
Deklarasi ini menegaskan sikap para tokoh tentang keinginan bersama untuk segera menuntaskan penindasan kaum Muslim Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anaknya. Mereka menyeru para tokoh umat dan intelektual Muslim lain untuk bergabung dalam perjuangan penegakan Khilafah Islamiyah yang akan melindungi permpuan dan anak-anak Rohingya serta seluruh manusia di muka dari penindasan dan kezaliman.
Suasana haru menyelimuti proses penandatangan mitsaq ini. Seluruh hadirin, termasuk sekitar 65 Muslimah delegasi dari Indonesia yang berkesempatan hadir dalam seminar ini, bersama-sama dengan seluruh peserta dari negeri lainnya, menyatukan tekad untuk terus memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah yang akan memberikan berkah kepada seluruh alam. [] Ina/Joy