Kembali demokrasi menunjukkan wajah sesungguhnya. Mursi yang menang secara demokratis ditumbangkan Barat melalui kudeta militer. Padahal Mursi telah berusaha menampilkan citra sebagai pemimpin yang demokratis dan pluralis. Tindakan militer yang berkerjasama dengan kelompok liberal, sekular, Kepala Gereja Kristen Koptik Mesir Paus Tawadros dan Imam Universitas al-Azhar Syaikh Ahmad ath-Thayib tentu sulit dilepaskan dari restu Amerika Serikat. Ini karena militer Mesir berada dalam kontrol penuh negara adidaya itu.
The New York Times online (6/7), menggambarkan keterlibatan Amerika dengan adanya kontak pihak Mursi dengan menlu negara Arab yang mengklaim bertindak sebagai utusan Washington. Media tersebut juga mengungkap adanya kontak Dubes Amerika Serikat di Kairo Anne W. Patterson dan penasihat keamanan nasional AS Susan E. Rice dengan penasihat menteri luar negeri Mursi, Essam el-Haddad pada saat-saat terakhir penggulingan Mursi.
Aljazeera (12/07) juga mengungkap peranan Amerika dalam pendanaan politisi dan aktifis untuk menggulingkan Mursi. Keberadaan puluhan dokumen pemerintah AS mengkonfirmasikan bahwa Washington telah mendanai politisi oposisi yang menyerukan penggulingan Presiden Mursi melalui program Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Bantuan ini dilakukan dalam rangka promosi demokrasi di Timur Tengah.
Amerika Serikat sendiri tidak pernah menyatakan pelengseran Mursi ini sebagai kudeta militer. Negara itu justru menegaskan akan menjalin hubungan dengan pemerintah baru pasca Mursi yang dibentuk militer. Juru bicara Gedung Putih, Jay Cerney, menyatakan tujuan Amerika di Mesir adalah membantu rakyat Mesir dalam masa transisi menuju demokrasi dan tetap dalam kerangka kepentingan nasional Amerika.
Mesir bukanlah yang pertama. Sebelumnya, ada FIS di Aljazair. Kemenangannya juga diberangus militer dengan dukungan negara-negara Barat. Pasalnya, FIS dicurigai akan menerapkan syariah Islam.
HAMAS pun mengalami nasib yang hampir sama; mengalami tekanan politik yang kuat dari Barat dan rival politiknya, Fatah, yang dikontrol Barat.
Semua ini seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak lagi mempercayai jalan demokrasi. Siapapun seharusnya menyadari, Barat akan melakukan apapun dan kepada siapapun—termasuk kepada kelompok Islam yang menang secara demokratis, telah tunduk pada nilai-nilai demokratis, atau telah bekerjasama dengan Barat—saat kepentingan nasional mereka terancam. Sebaliknya, Barat akan terus mendukung rezim-rezim represif—seperti mendukung rezim Husni Mubarak yang korup dan bengis—selama puluhan tahun jika rezim tersebut bisa menjaga kepentingan mereka. Praktik Barat tersebut terus berlanjut hingga saat ini.
Pelajaran dari Mesir juga menunjukkan, meraih suara terbanyak bukan berarti membuat pemenang bisa melakukan apapun. Selama ini logika pihak yang mempercayai jalan demokrasi mengatakan, kalau kita sudah meraih suara terbanyak di parlemen, kita akan bisa melakukan apapun termasuk untuk menerapkan syariah Islam secara total. Kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Ada dua faktor yang sangat menentukan. Pertama: kesadaran masyarakat untuk mendukung penerapan syariah Islam. Kedua: dukungan ahlun-nushrah (pemilik kekuasaan yang riil).
Meskipun parpol Islam meraih suara mayoritas, jika rakyat tidak memiliki kesadaran politik untuk mendukung syariah Islam, rakyat akan mudah diprovokasi dengan berbagai isu untuk menentang penerapan syariah Islam. Dukungan pemegang kekuasaan riil, seperti militer di Mesir, juga sangat menentukan.
Kita juga perlu menegaskan bahwa yang terjadi di Mesir bukanlah kegagalan Islam politik seperti yang dituduhkan oleh Basyar Assad, penguasa bengis Suriah; bukan pula kegagalan penerapan syariah Islam. Pasalnya, Mursi bukanlah penguasa yang menerapkan syariah Islam secara total. Mesir saat Mursi berkuasa tetaplah menjalankan sistem sekular, bukan menerapkan sistem Islam. Mesir yang dipimpin Mursi bukan merupakan Daulah Islam. Mursi juga tidak benar-benar memiliki kekuasaan untuk mengatur Mesir. Mursi harus berhadapan dengan dominasi militer yang kokoh.
Di Mesir, yang gagal sesungguhnya adalah “Islam moderat”. Mereka yang berhaluan moderat ini berkompromi dengan nilai-nilai sekular dan berkerjasama dengan negara imperialis Barat seperti Amerika. “Islam moderat” diciptakan oleh Amerika untuk merusak citra Islam di tengah-tengah masyarakat.
Amerika melihat masyarakat Muslim begitu antusias dengan Islam sebagai agama mereka. Rakyat juga merindukan pemerintahan yang menerapkan Islam. Karena itu, kalangan Islam moderat didorong untuk tampil ke permukaan. Kemudian, mereka berhasil meraih kekuasaan. Namun faktanya, mereka gagal mengelola urusan negara. Banyak kalangan lalu menilai, Islam politik telah gagal. Padahal Islam tidak benar-benar diterapkan. Di Mesir, Mursi sebagai representasi “Islam moderat” sesungguhnya tidak memiliki kewenangan riil di dalam negeri. Ia pun gagal mengurus negara. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh pihak sekular untuk memprovokasi rakyat.
Demi sebuah perubahan yang hakiki, pesan Hizbut Tahrir Mesir dalam pernyataan pers Maktab I’lami Hizbut Tahrir Wilayah Mesir (25 Sya’ban 1434/ 4 Juli 2013) penting untuk kita perhatikan:
“Hendaklah kaum Muslim mengetahui bahwa hanya ada satu metode, tidak ada yang lain, untuk menegakkan pemerintahan Islam. Itulah metode yang pernah ditempuh oleh Rasulullah saw. Beliau menolak untuk mengambil pemerintahan Islam yang tidak lengkap, atau berpartisipasi dalam sistem rusak yang menyalahi Islam. Beliau tetap bersabar sampai nushrah (pertolongan) itu sempurna seraya tetap berjuang mengubah masyarakat. Beliau sungguh-sungguh menciptakan opini umum di tengah-tengah umat yang terpancar dari kesadaran umum tentang kewajiban menerapkan syariah Allah secara menyeluruh di dalam Negara Islam.
Dengan pembentukan opini umum tentang syariah dan Khilafah, ahlun-nushrah yang mukhlis di tubuh militer akan berpihak pada Khilafah dan syariah.
Di sinilah letak penting dakwah membangun kesadaran politik umat untuk menegakkan syariah dan Khilafah, juga dakwah kepada ahlun-nushrah untuk mendukung perubahan politik yang sejalan dengan arah Islam. Itulah dukungan tulus yang didasarkan pada akidah Islam serta dilandaskan pada loyalitas hanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. [Farid Wadjdi]