Assalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Pembaca yang budiman, bulan Agustus tahun 2013 ini, bangsa Indonesia memperingati HUT Kemerdekaannya yang ke-68. Enam puluh delapan tahun tentu bukan waktu yang pendek. Selama 68 tahun itulah bangsa ini diklaim telah merdeka.
Jika ukurannya adalah kemerdekaan dari penjajahan fisik (militer), tentu saja bangsa ini memang telah lama merdeka. Namun, jika ukurannya adalah kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan termasuk dari penjajahan non-fisik (non-militer), sesungguhnya bangsa ini belum merdeka. Kita justru masih dijajah di semua lini: politik, hukum, pendidikan, sosial, budaya, dll. Bahkan yang paling mendasar, kita sebetulnya dijajah secara ideologi. Sebab, Pancasila sejauh ini hanyalah simbol. Ideologi yang sebenarnya berlaku di negeri ini adalah Sekularisme yang merupakan ibu kandung Kapitalisme dan Liberalisme yang justru menjadi sumber penjajahan negeri ini. Ironisnya, kenyataan ini berlangsung bahkan sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945.
Betulkah bangsa ini masih terjajah? Apa bukti-buktinya? Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa faktor penyebabnya? Apa pula akibatnya? Lalu bagaimana solusinya agar negeri ini benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan?
Beberapa pertanyaan di atas menjadi kajian utama al-waie edisi kali ini. Selain itu, karena Ramadhan belum lama kita jalani, kajian seputar memelihara spirit Ramadhan disajikan juga di sini. Suasana Perayaan Idul Fitri tahun ini juga menginspirasi kami untuk mengkaji kembali makna silaturahmi, yang memang selalu identik dengan Hari Lebaran. Menengok ke luar negeri, analisis di seputar krisis Mesir pasca kudeta tentu penting pula untuk disajikan dalam al-waie edisi kali ini. Di luar itu, sejumlah tema menarik lainnya tentu sayang untuk dilewatkan.
Terakhir, masih dalam suasana Ramadhan dan Idul Fitri 1434 H, atas nama Redaksi, tentu kami tidak lupa untuk menyampaikan ucapan: “Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir-Batin.” Kami pun memohon kepada Allah SWT, “TaqaballalLâhu minnâ wa minkum, Shiyâmanâ wa Shiyâmakum, Kullu ‘âmin wa Antum bi khayrin.”
Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.