Soal:
Ada riwayat tentang tenggat waktu tiga hari sebagai batas pengangkatan Khalifah. Lalu ada instruksi dari Khalifah Umar bin al-Khaththab untuk membunuh Ahlu asy-Syura yang tidak sepakat dengan Khalifah terpilih dalam tenggat tersebut. Bukankah riwayat tersebut lemah? Mengapa riwayat tersebut masih dijadikan hujjah dalam menentukan tenggat waktu?
Jawab:
Masalah ini sebelumnya telah diajukan kepada Amir Hizb melalui akun Facebook beliau dan telah mendapatkan jawaban sebagaimana mestinya. Namun, jawaban tersebut ternyata, sebagaimana ungkapan al-Qur’an, “lâ yusminu wa lâ yughnî min jû’” (tidak membuat gemuk dan kenyang) sang penanya. Penanya dan kawan-kawannya justru menyerang ulama, ahli ushul, fikih dan syaikh yang dikenal wara’ itu dengan kata-kata yang tidak pantas.
Karena itu, saya sendiri sebenarnya tidak tertarik untuk mengulas pertanyaan dan jawaban yang diberikan kepada penanya. Ini karena mereka sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Mereka juga tidak ingin mendengarkan, apalagi mencari kebenaran; kemudian setelah itu mereka bertobat kepada Allah dan kembali ke jalan yang benar, dengan berjuang untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Mereka malah mencari-cari alasan untuk tidak berjuang dengan berbagai dalih.
Namun, karena masalah ini mereka sebarkan di media sosial dengan tujuan untuk menciptakan keraguan (tasykîk) di dalam diri pejuang yang siang-malam berjuang untuk mengembalikan kemuliaan Islam dan umatnya, serta menarik dukungan umat yang semakin hari kian meningkat, maka jawaban ini menjadi penting. Sekali lagi, penting untuk barisan pejuang dan umat yang tengah berjuang, agar tidak ada lagi keraguan sedikitpun di dalam hati mereka.
Karena itu, pertanyaan yang diajukan penanya di atas sesungguhnya menjelaskan tiga fakta. Pertama: boleh jadi memang penanya tidak tahu adanya riwayat-riwayat lain yang terkait. Kedua: boleh jadi sudah tahu, tetapi sengaja mencari dalih, agar bisa digunakan untuk menjustifikasi tindakannya meninggalkan kewajiban untuk menegakkan Khilafah. Ketiga: boleh jadi kedua-duanya sekaligus. Namun, karena kesombongannya, maka itu membuat dia buta terhadap kebenaran yang ada para orang lain.
Dalam riwayat ath-Thabari, di dalam sanad-nya memang terdapat seorang perawi bernama Abû Mikhnaf, yang disebut-sebut “laysa tsiqah” (bukan orang terpercaya). Penanya mengklaim, bahwa para perawi di dalam riwayat tersebut adalah “majhûl” (tidak dikenal). Dia juga menyatakan, para perawi lain dalam riwayat tersebut juga meriwayatkan riwayat ini dengan redaksi al-‘an’anah.1
Jika benar, penanya tersebut memang berilmu, niscaya dia tidak akan menelaah masalah ini dari satu riwayat saja. Sebab, masalah “tenggat tiga hari dan instruksi Umar untuk membunuh orang yang menyalahinya” bukan rahasia lagi. Peristiwa ini berlangsung di hadapan para sahabat; mereka ketahui dan mereka dengar. Selain itu, terdapat banyak riwayat, bukan hanya satu atau dua riwayat. Karena itu, kedudukannya sebagai Ijmak Sahabat jelas tidak bisa lagi diperselisihkan.
Mengenai tuduhan bahwa “sebagian perawinya majhûl”, harus didudukkan. Jika mereka majhûl (tidak dikenal) oleh si penanya, maka status ke-majhûl-an perawi tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk melemahkannya. Sebab, ketidaktahuan penanya, boleh jadi karena dia tidak pernah membaca biografi perawi yang dia tuduh majhûl itu. Jika ke-majhûl-an perawi tersebut dinyatakan oleh sebagian ulama, tidak serta-merta riwayat perawi tersebut langsung ditolak.
Demikian juga dengan redaksi al-‘an’anah dalam riwayat ath-Thabari yang digunakan untuk menolak riwayat tersebut. Penolakan ini juga menunjukkan kebodohan penanya. Sebab, tidak selamanya hadis mu’an’an itu lemah. Syaratnya, riwayat mu’an’an ini tidak termasuk mudallas, dan ada kemungkinan para perawi yang disebutkan dalam rangkaian ‘an’anah tersebut bertemu satu sama lain. Jika dua syarat ini terpenuhi, status riwayat ‘an’anah tersebut dihukumi muttashil (bersambung). Ini adalah pendapat jumhur.2 Karena itu, baik dalam kitab Shahîh al-Bukhârî maupun Shahîh Muslim banyak terhadap hadis seperti ini, namun statusnya tetap sahih.
Mengenai komentarnya terhadap riwayat ath-Thabari, penanya hanya melihat Abû Mikhnaf. Perawi lain yang meriwayatkan bersama Abû Mikhnaf, yaitu Syahr bin Hausyab, sengaja dia abaikan. Padahal keduanya sama-sama meriwayatkan riwayat tersebut. Ath-Thabari mengatakan:
Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Syabah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad dari Waki’, dari al-A’masy, dari Ibrahim dan Muhammad bin ‘Abdullah al-Anshari, dari Ibn Abi ‘Arubah, dari Qatadah dari Syahr bin Hawsyab dan Abû Mikhnaf, dari Yusuf bin Yazid dari ‘Abbas bin Sahlin dan Mubarak bin Fadhalah, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar dan Yunus bin Abi Ishaq, dari Amru bin Maymun al-Awdi, bahwa Umar bin al-Khaththab ketika ditikam…. maka ia berkata… Selesai.
Jadi, Qatadah jelas meriwayatkan dari Abû Mikhnaf dan Syahr bin Hawsyab. Keduanya meriwayatkan dari Yusuf bin Yazid. Namun, si penanya hanya menyebut Abû Mikhnaf, dengan meninggalkan Syahr bin Hawsyab. Padahal Syahr bin Hawsyab telah dinilai tsiqah oleh jamaah. Al-‘Ajali (w. 261 H), dalam kitabnya, Ats-Tsiqât, mengatakan, “Syahr bin Hawsyab: Syâmiy [berasal dari Syam], seorang tabi’un, tsiqah [terpercaya].”
Al-Haytsami (w. 807 H), dalam bukunya, Majma’ az-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, mengomentari lebih dari satu tempat tentang Syahr bin Hawsyab, “Syahr bin Hawsyab, dia telah dinilai tsiqah [terpercaya]”; “Syahr bin Hawsyab telah diperselisihkan, tetapi dia telah dinilai tsiqah oleh Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Zar’ah dan Ya’qub bin Syaibah”; “Syahr bin Hawsyab dan pandangan tentangnya ada beberapa pendapat, dan dia telah dinilai tsiqah oleh bukan hanya satu orang”; “Syahr bin Hawsyab, tentangnya ada pandangan, tetapi ia telah dinilai tsiqah oleh jamaah”.
Ibn Syahin (w. 385 H) dalam bukunya, Târîkh Asmâ’ ats-Tsiqât berkata, “Yahya berkata, Syahr bin Hawsyab tsabata [telah ditetapkan riwayatnya] dan dalam riwayat lain tentangnya dinyatakan, ia [Syahr bin Hawsyab] berasal dari Syam, tinggal di Bashrah dan termasuk al-Asy’ariyîn… dia tsiqah [terpercaya].”
Nah, ini tentang riwayat ath-Thabari. Selain mengkritik riwayat ath-Thabari, penanya juga menyebutkan riwayat lain, yang dinukil oleh Ibn Saad dalam kitabnya, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, yang lagi-lagi dia katakan, bahwa di dalam sanadnya ada seorang perawi bernama Simâk bin Harb, yang dia sebut “shudûq wa qad taghayyara” (orang yang jujur dan telah berubah).
Mengenai Simâk bin Harb, al-Bazzâr memberikan komentar, “Kâna rajul[an] masyhûr[an] la a’lamu ahad[an] yatrukuhu (Dia adalah orang terkenal yang tidak ada satu orang pun yang saya tahu meninggalkannya).”3
Ibn ‘Adi juga memberikan komentar, “Li Simâk hadîts[un] katsîr[un] mustaqîm[un] in syâ’a-Llâh. Wahuwa min kibâri tâbi’î ahl al-Kûfah wa ahâdîtsuhu hassân, wa huwa shaddûq lâ ba’sa bihi” (Simâk mempunyai banyak hadis yang insya Allah lurus. Dia termasuk tabi’in senior penduduk Kufah. Hadis-hadisnya hasan. Dia juga orang yang jujur dan tidak ada masalah dengannya).”4
Abû Hâtim dan Imam Ahmad juga mengatakan, “Shadûq tsiqqat.” (Jujur dan terpercaya).5
Memang, al-Bazzâr juga berkomentar, “Wa kâna qad taghayyara qabla mautihi.” (Dia telah berubah sebelum meninggal).6 Karena itu, sebagian ulama, seperti Ibn Hibbân, menyebutnya, “Yukhthi’ katsîr[an] (Banyak kesalahannya).” Adapun ats-Tsaurî menyatakan, hadisnya lemah. Adapun orang-orang yang mendengarkan riwayat dari dia sebelum akhir hayatnya, seperti Syu’bah dan Sufyân, dikomentari oleh Ibn Hajar, bahwa hadis mereka dari Simâk adalah sahih dan lurus.7
Dengan demikian, Simâk jelas bukanlah orang yang berstatus majhûl. Tentang kredibilitasnya, memang ada perselisihan di kalangan ulama. Ini pun bisa dipilah menjadi dua periode. Pertama: periode awal. Dalam hal ini tidak ada perselisihan, bahwa Simâk adalah seorang perawi yang jujur dan terpercaya. Karena itu, hadisnya pun bisa diterima. Kedua: periode akhir hayatnya. Di sinilah sebenarnya masalah itu terjadi. Namun, tidak berarti, karena periode kedua ini, maka seluruh riwayat Simâk menjadi tidak boleh diterima.
Dalam kitab ats-Tsiqât, Ibn Hibbân (w. 354 H) menjelaskan tentang Simâk bin Harb: Hamad bin Salamah berkata, “Aku mendengar Simâk bin Harb mengatakan, ‘Saya berjumpa dengan 80 sahabat Nabi saw.’ Dia meninggal pada akhir pemerintahan Hisyâm bin Abd al-Mâlik ketika Yusuf bin ‘Umar diangkat menjadi wali di Irak. Dia adalah Simâk bin Harb bin Aws bin Khâlid bin Nizâr bin Mu’âwiyah bin Amir bin Dzahlin.”
Demikian juga dalam buku Târikh Asmâ’ ats-Tsiqât, Ibn Syahin menyatakan: Simâk bin Harb adalah orang yang tsiqah (terpercaya). Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad al-Baghawi, yang berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muamil dari Hamad bin Salamah dari Simâk bin Harb, yang berkata, ‘Aku telah berjumpa dengan 80 sahabat Nabi saw.’”
Ini menunjukkan bahwa Simâk telah bertemu dengan 80 sahabat Nabi saw. Ini adalah jumlah yang tidak ada masalah baginya, jika dia tidak berjumpa dengan ‘Umar. Ini karena dia bertemu dengan sahabat yang menukil dari ‘Umar. Tidak disebutkannya seorang sahabat, misalnya, tentu tidak akan mempengaruhi kesahihan sanad-nya karena semua sahabat adalah adil.
Meski begitu, ternyata Ibn Saad dalam masalah ini tidak hanya menyebutkan satu riwayat, tetapi juga menukil riwayat-riwayat lain di luar jalur Simâk bin Harb. Ibn Saad berkata, “Telah memberitahukan kepada kami Muawiyah bin Amru al-Azadi, al-Hasan bin Musa al-Asyyab dan Ahmad bin Abdullah bin Yunus. Mereka berkata: telah memberitahu kami Zuhair bin Mu’awiyah Abu Khaytsamah; telah memberitahu kami Abu Ishaq dari Amru bin Maymun, ia berkata: Aku menyaksikan Umar ketika ditikam…”
Perhatikan sanad dalam riwayat tersebut. Jelas ini bukan satu orang dari satu orang, tetapi tiga orang dari satu orang. Amru bin Maymun al-Azdi telah masuk Islam pada zaman Nabi saw, berhaji sebanyak seratus kali, dan ada yang mengatakan tujuh puluh kali. Dia juga membayar zakat kepada Nabi saw., seperti dinyatakan di Asad al-Ghâbah. Karena itu, dia menyaksikan ‘Umar ra. pada hari ketika beliau ditikam.
Jelas, Ibn Saad tidak hanya mempunyai satu riwayat, tetapi lebih dari satu riwayat. Namun tampaknya, penanya lebih tertarik pada syubhat, yang dia temukan pada satu riwayat saja. Ini membuktikan, bahwa dia sebenarnya tidak sungguh-sungguh mencari kebenaran. Ia justru berusaha untuk membingungkan para pengikut dan pejuang kebenaran.
Tampaknya kesombongan intelekualnya telah membuat dirinya buta. Namun, justru itu hanya membuktikan kelemahan akalnya, seperti ungkapan Sayyidina ‘Ali:
إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ دَلِيْلٌ عَلَى ضَعْفِ عَقْلِهِ
Kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri membuktikan bahwa akalnya lemah.
WalLahu a’lam.[KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat, Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., V/223.
2 Lihat, Dr. Muhammad ‘Ajâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts: Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, hlm. 356.
3 Lihat, Ibn Hajar al-Asqalâni, Tahdzîb at- Tahdzîb, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., IV/205.
4 Lihat, Ibid.
5 Lihat, Ibid, IV/204.
6 Lihat, Ibid, IV/205.
7 Lihat, Ibid, IV/205.
Jazakallahu khayran katsiran. Smoga Allah mmberi kmuliaan kpdmu dan amir hizb dan mneguhkn prjuangan pr pngmban syari’ah&khilafah.
Alkhamdulillah ana hari ana tmbah ilmu lg..syukron..