Di antara banyak gerakan Islam politik Indonesia, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) adalah dua organisasi yang cukup fenomenal. HTI sangat aktif dan progresif menyosialisasikan gagasan utopisnya tentang penegakan Khilafah Islamiyah sebagai solusi total terhadap krisis multidimensional. Keduanya merupakan tipikal kelompok politik identitas yang mengusung label Islam. Jika HTI banyak bermain di level masyarakat dan menolak untuk berpartisipasi dalam demokrasi, maka PKS bermain pada level kekuasaan dan aktif dalam pemerintahan.
HTI dan PKS adalah dua gerakan politik Islam di Indonesia yang penuh dengan kontroversi sekaligus penuh dengan sensasi politik. HTI yang menolak sistem politik demokrasi ternyata menikmati demokrasi di Indonesia sebagai berkah politik. HTI demikian keras mengkritik sistem demokrasi di Indonesia, tetapi HTI bisa bergerak bebas; bebas berbicara dan bebas berkampanye karena Indonesia menganut sistem demokrasi.
Dalam mengembangkan gerakannya, tak jarang kelompok Islam politik ini sering menciptakan konflik dengan organisasi-organisasi keagamaan moderat di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah. Konflik ini, selain terjadi di tingkat elit, juga terjadi di akar rumput. Kasus perebutan masjid, ajakan mendirikan kelompok pengajian sendiri, perebutan aset organisasi, serta pelabelan kelompok tertentu sebagai liberal dan sesat adalah di antara penyebab konflik antara HTI dan PKS dengan organisasi Islam mainstream (arus utama) seperti Muhammadiyah dan NU.
Tidak heran jika PP Muhammadiyah mengeluarkan sikap tegasnya terhadap gerakan Islam politik ini melalui SK PP Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.O/B/2006 tentang “Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah”. Pada tahun 2007/1428H, dalam Konferensi Wilayah Nahdhatul Ulama Jawa Timur di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, mereka juga mengeluarkan Keputusan Majelis Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama tentang Khilafah dan Formalisasi Syariah.
Fakta di atas menunjukkan bahwa kehadiran HTI dan PKS di Indonesia justru memperkeruh suasana dakwah. HTI dan PKS telah kehilangan akhlak dalam berpolitik sebab telah merugikan Muhammadiyah dan NU di Indonesia. HTI dan PKS jelas-jelas telah mendapatkan reaksi keras dari kedua ormas Islam itu dan menyebabkan tejadinya konflik di tingkat bawah.
Pada saat yang sama, publik gagal untuk memahami perilaku mereka dalam menjunjung nilai-nilai universal Islam tentang keadilan, keberpihakan terhadap kelompok tertindas, kesejahteraan rakyat, toleransi dan anti-diskriminasi, yang sepatutnya menjadi bagian integral dari perjuangan politik mereka. “Kita sangat sulit menemukan realitas keberpihakan mereka terhadap kelompok-kelompok minoritas tertindas di Indonesia, seperti yang menimpa kaum Syiah di Sampang dan jemaah Ahmadiyah, serta kepedulian mereka pada kondisi ekonomi rakyat kecil semakin sulit. Lalu dimana kita temukan moral Islam politik di Indonesia?
++++
Bingung? Kaget? Apapun reaksi Anda, kenyataannya tulisan kayak gitu itu memang ada. Bukan tertulis dalam selebaran gelap, tetapi merupakan bagian dari pers rilis resmi yang dikeluarkan oleh Ma’arif Institute—sebuah LSM bentukan mantan ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif. Rilis yang ditandatangani Ahmad Fuad Fanani, Direktur Riset Maarif Institute itu, diterima sekretariat DPP HTI pada 26 Juli 2013 lalu, terkait dengan diskusi buku karya Zuly Qodir (Peneliti Maarif Institute dan Dosen Sosiologi UMY) berjudul HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik di Indonesia? pada tengah bulan Ramadhan lalu di Jakarta.
Meski buku itu berbicara tentang HTI, juga PKS, tidak satu pun dari keduanya diundang dalam acara itu. Tentu, hak mereka mau mengundang siapa. Hanya jadi tampak sangat lucu. Mereka yang selama ini gencar sekali menyerukan dialog dan acap mengajari kita untuk gemar berdialog, malah seolah menutup pintu dialog: mengkritik, tetapi orang yang dikritik tak diberi kesempatan untuk menjawab atau menjelaskan. Mungkin dengan tidak mengundang HTI dan PKS, mereka merasa lebih nyaman untuk ngomong apa saja tentang HTI dan PKS, termasuk memfitnah HTI tanpa sungkan.
Dari sisi isi, kita juga tidak mengerti dengan semua tuduhan-tuduhan yang ditulis dalam buku itu, seperti bahwa HTI terlibat dalam perebutan masjid dan aset milik NU dan Muhammadiyah. Tudingan seperti itu memang sering kita dengar, tetapi hingga sekarang tidak pernah sekalipun disebutkan secara kongkrit kasus itu terjadi di mana dan kapan. Memang, banyak anggota HTI ikut memakmurkan masjid, dan di antaranya mungkin ada masjid yang didirikan oleh Muhammadiyah atau NU, tentu ndak masalah to? Bukankah tiap masjid, meski itu didirikan oleh sebuah lembaga, hakikatnya adalah untuk seluruh umat Islam, dan setiap umat Islam memang berkewajiban untuk memakmurkan masjid itu.
Bila soal perebutan masjid saja tidak terbukti, apalagi soal perebutan aset yang dari aspek legal tentu lebih definitif siapa pemiliknya; juga tudingan bahwa kehadiran HTI memperkeruh suasana dakwah dan menimbulkan konflik di akar rumput maupun di tingkat elit. Bagaimana bisa tudingan seperti ini meluncur ringan dari mulut orang-orang yang selama ini mengusung jargon toleransi dan pluralisme? Faktanya, selama ini HTI berdakwah di berbagai tempat di Indonesia, baik di wilayah yang notebene adalah basis Muhammadiyah, NU ataupun organisasi lain, tidak pernah terjadi apa yang disebut konflik, apalagi menimbulkan suasana keruh. Yang ada, justru dakwah HTI mendapatkan respon yang sangat baik. Memang, ada perbedaan pendapat di sana-sini, itu wajar. Toh, setelah dijelaskan kemudian terjadi saling pengertian.
Di tingkat elit, hubungan antara HTI dan Muhamaddiyah, juga pimpinan pusat NU, berlangsung sangat bagus. Komunikasi HTI dengan mereka berjalan sangat lancar. Dalam banyak isu, seperti soal RUU Ormas baru lalu, kemudian soal UU Migas, juga soal kezaliman Densus 88 dan isu lainnya, HTI dan Muhammadiyah serta Ormas Islam lain bahu-membahu untuk memberikan respon secara lugas. Bahkan setelah melalui dialog yang matang di antara ormas Islam, termasuk di dalamnya HTI, UU Migas khususnya pasal mengenai BP Migas akhirnya bisa dibatalkan melalui MK. Jadi siapa bilang ada konflik antara HTI dan Muhammadiyah?
Jadi, jelas sekali ini buku ini bukan berisi kritik, tetapi fitnah. Berbagai tuduhan meluncur tanpa dasar. Kalau memang mereka pernah mendapat info tentang soal-soal yang dituduhkan itu, tetap itu bersifat kasuistis sehingga tidak bisa digeneralisasi, dan mestinya mereka melakukan tabayun atau konfirmasi dulu. Sayang, hal itu tidak pernah mereka lakukan. Tahu-tahu berbagai tuduhan itu sudah disebar; seolah-oleh benar bahwa HTI merebut masjid, merebut aset dan telah menimbulkan konflik di sana-sini. Jadi siapa sebenarnya yang tidak berakhlak dan memperkeruh suasana?
++++
Kalau begitu, apa kira-kira kepentingan penulis buku ini? Tidak jelas. Kalau disebut untuk kepentingan akademis, apakah tulisan yang lebih mirip gosip provokatif itu bisa disebut tulisan ilmiah? Kalau disebut untuk kepentingan umat Islam, tulisan itu malah justru cenderung mengadu domba antarkomponen umat yang sejatinya selama ini telah terjalin hubungan yang sangat bagus. Melalui SOLI (Silaturahim Organisasi dan Lembaga Islam), misalnya; HTI, Muhammadiyah dan berbagai Ormas dan Organisasi Islam lain bisa duduk bersama membicarakan banyak hal menyangkut kemaslahatan umat. Dalam SOLI itu, HTI malah diminta untuk mengkoordinasi dalam menanggapi masalah-masalah keumatan aktual. Dari sini terlihat, penulis sesungguhnya adalah orang yang tidak tahu persis dimanika hubungan antar Ormas Islam, khususnya antara HTI dan Muhammadiyah, tetapi memaksakan diri menulis tentang soal ini. Jadi, hasilnya ngawur.
Namun, kalau buku ini ditujukan untuk menggembirakan pihak-pihak yang menginginkan adu domba dan perpecahan di tubuh umat, kiranya cukup berhasil. Mungkinkah itu yang dimaui Penulis? AlLahu’alam. []