Suatu saat, seorang penduduk Bashrah memasuki suatu daerah. Ia lalu bertanya kepada penduduk setempat, “Siapa pemimpin di daerah ini?”
“Hasan al-Bashri,” jawab mereka.
“Mengapa ia jadi pemimpin kalian?”
“Karena kita semua membutuhkan ilmunya, sedangkan ia tidak membutuhkan harta kekayaan kita,” jawab mereka lagi.
Dalam kisah lain, Abu Thufail menuturkan bahwa Nafi’ bin al-Harits pernah mendatangi Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. di Asfan. Nafi adalah penguasa Makkah yang diangkat oleh Khalifah Umar ra. Saat itu Khalifah Umar ra. bertanya, “Siapakah pemimpin daerah al-Wadi.”
Nafi menjawab, “Ibnu Abza.”
“Siapa Ibn Abza?” tanya Khalifah Umar ra. lagi.
“Ia adalah seorang qari’ KitabulLah dan seorang alim di bidang fara’idh (ilmu waris).”
Khalifah Umar ra. lalu berkata, “Sesungguhnya dengan ilmu ini Allah mengangkat beberapa kaum dan menghinakan beberapa kaum lainnya.” (HR Muslim).
Sementara itu, Ibrahim al-Harbi menuturkan fragmen berikut:
Ada seorang bernama ‘Atha bin Abi Rabbah. Ia adalah seorang budak hitam legam milik seorang wanita di Makkah. Suatu saat, Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik bersama kedua putranya mendatangi ‘Atha. ‘Atha sedang shalat. Mereka duduk lama sekali di samping ‘Atha yang sedang shalat. Usai shalat, ‘Atha baru menoleh kepada Amirul Mukminin dan kedua putranya itu. Mereka lalu bertanya banyak hal kepada ‘Atha terkait manasik haji. Setelah itu, Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik berkata kepada kedua putranya, “Anakku, berdirilah!”
Mereka pun berdiri. Amirul Mukminin lalu melanjutkan, “Jangan pernah bosan kalian belajar ilmu. Sesungguhnya aku tidak akan pernah melupakan kehinaan dan kerendahan kita di hadapan budak hitam legam ini.”
Ibrahim al-Harbi menuturkan fragmen lain. Kali ini ia mengisahkan Muhammad bin Abdurrahman. Ia seorang yang cacat: hidungnya menjorok ke dalam dan dua pundaknya yang lebar. Suatu saat, ibunya berkata kepada dia, “Anakku, boleh saja dalam setiap pertemuan orang banyak kamu menjadi bahan tertawaan. Namun, kamu juga harus menjadi kebanggaan mereka. Karena itu kamu harus belajar dan mencari ilmu. Ilmu itulah yang bakal mengangkat derajatmu.”
Pada akhirnya, karena keilmuannya yang mumpuni, Muhammad bin Abdurrahman menjadi penguasa Makkah selama 20 tahun. Jika lawan debatnya sudah duduk di hadapannya, sang lawan debat itu seketika gemetar.
Imam Muslim juga pernah berkisah. Kali ini tentang Imam al-Bukhari saat beliau tiba di Naisabur, “Aku tidak pernah menyaksikan seorang gubernur dan seorang alim yang begitu dihormati oleh orang-orang Naisabur, sebagaimana Muhammad bin Ismail. Mereka menyambut kedatangannya dua atau tiga mil dari Naisabur.”
Beliau melanjutkan, “Saat al-Bukhari kembali dari perjalanan ilmiahnya, didirikanlah sebuah tenda besar di lapangan di daerah itu. Saat itu, hampir semua penduduk menyambut kedatangannya.” (Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam as-Salaf, XVIII)
*****
Fragmen di atas hanyalah secuil kisah dari ribuan bahkan puluhan ribu kisah tentang kedudukan dan keutamaan ahli ilmu sepanjang sejarah kegemilangan Islam. Namun, dari sedikit kisah di atas, beberapa pelajaran bisa kita petik. Pertama: Generasi Islam masa lalu adalah generasi yang selalu serius dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Banyak dikisahkan, para ulama dulu belajar ilmu dengan menempuh jarak perjalanan ratusan kilo meter, melintasi banyak negeri, tentu dengan alat transportasi yang mengandalkan hewan tunggangan. Bahkan banyak ulama besar dulunya berguru kepada puluhan bahkan ratusan ulama. Wajar jika kemudian mereka menguasai banyak disiplin ilmu, tidak hanya satu atau dua cabang ilmu. Tentu berbeda dengan saat ini. Kini, sebagian besar waktu generasi umat Islam habiskan bukan untuk mencari ilmu, tetapi mencari dunia; atau untuk hal-hal yang tidak berguna, semata-mata mencari kesenangan.
Kedua: penghormatan dan penghargaan masyarakat kepada ahli ilmu yang amat luar biasa. Tentu berbeda pula dengan hari ini. Sekarang, masyarakat lebih menghormati dan memuja para selebritis seperti para penyanyi dan pemain senetron atau para bintang sepak bola internasional ketimbang para ulama.
Ketiga: Penghormatan masyarakat, bahkan penguasa, terhadap ulama, bukan semata-mata karena keilmuan mereka; tetapi karena kewibawaan mereka. Ini karena mereka—seperti Hasan al-Bashri dan yang lainnya—adalah orang-orang zuhud, tidak mencintai dunia, apalagi ‘menjual’ ilmunya (termasuk dakwahnya) untuk menumpuk harta.
Keempat: Yang sering dilupakan oleh banyak orang, kelahiran para ulama besar dan mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu itu terjadi pada masa Khilafah Islam. Khilafahlah yang menciptakan iklim kondusif bagi para pencari ilmu. Hal itu sudah banyak diceritakan dalam buku-buku sejarah Islam yang otentik yang ditulis oleh para sejarahwan yang jujur. Anehnya, selalu ada upaya—sengaja ataupun tidak—untuk melepaskan kegemilangan Islam (yang antara lain dibuktikan dengan bejibunnya para ulama besar) dari peran penting Kekhilafahan Islam dan para khalifahnya dalam menghargai dan memuliakan para ahli ilmu.
Penghargaan para khalifah terhadap para ulama/ilmuwan juga sangat tinggi. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para ulama penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang mereka tulis. Bisa dibayangkan makmurnya seorang ulama jika menulis lebih dari satu judul buku. Faktanya, para ulama/ilmuwan Muslim pada masa lalu adalah orang-orang yang produktif dalam menghasilkan karya berupa buku. Di antara mereka bahkan ada yang menulis puluhan atau ratusan judul buku, berjilid-jilid pula.
Dengan selintas paparan di atas, pertanyaannya adalah: Bagaimana dengan kita; sudah sungguh-sungguh dan seriuskah dalam mencari ilmu? Bagaimana pula penghargaan dan penghormatan masyarakat saat ini kepada para ahli ilmu? Yang paling penting: bagaimana sistem pemerintahan kapitalis sekular dan para rezimnya saat ini dalam meneghargai dan memuliakan terhadap para ahli ilmu?
Silakan jawab sendiri! [Arief B. Iskandar]