Barat telah mengeksploitasi kisah Malala dan perjuangannya untuk pendidikan remaja putri demi kepentingan politik kolonial. Khilafah-lah yang akan mengembalikan sistem pendidikan kelas satu bagi kaum wanita.
Penembakan terhadap remaja Pakistan berusia lima belas Oktober lalu, Malala Yusufzai, mengejutkan dan membuat ngeri banyak orang di seluruh dunia,
Pada tanggal 12 Juli 2013, Malala diundang berpidato pada pertemuan pemuda di kantor pusat PBB di New York. Saat itu Malala menganjurkan perlunya pendidikan wajib dan gratis bagi setiap anak.
Alasan untuk meningkatkan hak pendidikan bagi anak perempuan di Pakistan dan dunia adalah hal yang mulia. Namun, yang jauh dari mulia adalah upaya yang tidak tahu malu oleh pemerintahan Barat, lembaga-lembaga dan para politisi yang mengeksploitasi gadis muda itu dan perjuangannya. Barat pun mengeksploitasi serangan mengerikan terhadap Malala untuk tujuan-tujuan politik mereka sendiri dengan mengintensifkan penyebaran nilai-nilai liberal Barat yang sekular untuk kaum perempuan dan anak perempuan di dunia Muslim melalui pendidikan, dan untuk melemahkan identitas dan nilai-nilai Islam mereka.
Sifat dukungan mereka terhadap Malala dan kurangnya perhatian yang benar atas hak pendidikan bagi kaum perempuan Muslim ditunjukkan oleh sikap munafik dan diamnya mereka atas larangan jilbab dan niqab di negara-negara sekular seperti Prancis, Belgia, Turki dan Uzbekistan yang telah merampas hak gadis-gadis dan perempuan Muslimah untuk mendapatkan sekolah yang baik karena mematuhi busana islami.
Kisah Malala juga telah digunakan sebagai bahan bakar dan digunakan kembali sebagai mitos kuno bahwa Islam dan pemerintahan Islam menindas kaum perempuan dan bahwa mereka membutuhkan pembebasan gaya Barat. Ini adalah suatu narasi yang telah digunakan secara historis selama puluhan tahun hingga terus dipakai di zaman modern. Narasi ini digunakan tidak lain untuk mempertahankan hegemoni sekular Barat atas wilayah kaum Muslim. Caranya adalah dengan mencegah kebangkitan Islam internasional dan mencegah pendirian kembali sistem Islam di dunia Muslim yang akan mengancam kepentingan politik dan ekonomi Barat.
Pada kenyataannya, kebijakan luar negeri kolonial Baratlah yang telah melucuti hak-hak kaum perempuan dan anak perempuan di Pakistan dan banyak negara Muslim lainnya untuk mendapatkan pendidikan yang berharga. ‘Perang Melawan Teror’ dan pendudukan Afganistan telah menciptakan iklim ketidakamanan dan ketidakstabilan yang terus-menerus di Pakistan, Afganistan dan wilayah lainnya. Itu ditandai dengan seringnya serangan pesawat tak berawak dan serangan bom yang telah menewaskan ribuan orang selama bertahun-tahun termasuk banyak kaum perempuan, anak perempuan, dan anak-anak.
Laporan dari Komite PBB tentang Hak-hak Anak menyatakan ratusan anak-anak dilaporkan telah tewas “karena serangan darat dan udara oleh pasukan militer AS di Afganistan” antara tahun 2008 hingga 2012; juga karena penggunaan “kekuatan serampangan”. Di manakah hak-hak anak-anak itu?
Semua hal ini telah menyebabkan banyak orangtua yang mencegah anak perempuan mereka untuk bepergian jauh dari rumah mereka, termasuk ke sekolah-sekolah. Selanjutnya, bagaimana negara-negara itu menjadi terganggu dengan ketidakstabilan, kehancuran dan ketidakamanan yang pernah memberikan kualitas pendidikan yang baik kepada warganya? Setelah lebih dari 10 tahun pendudukan, hampir 9 dari 10 perempuan di Afganistan tetap buta huruf. Oleh karena itu, kebijakan destruktif asing dari kolonial Baratlah yang tidak hanya merampok para gadis untuk mendapatkan pendidikan, namun juga merampok kehidupan dan martabat mereka, dan merupakan salah satu hambatan utama untuk mendapatkan sekolah yang efektif.
Bersamaan dengan hal ini, para rezim sekular yang didukung Barat di negeri-negeri Muslim telah memberikan jalan masuknya budaya liberal ke negara mereka melalui hiburan dan iklan industri mereka serta melalui penerapan sistem pendidikan sekular. Budaya ini mengkuduskan kebebasan seksual, perzinaan, objektifasi dan degradasi kaum perempuan, dan mendorong kaum pria untuk memperlakukan kaum perempuan sesuai dengan keinginan mereka. Semua ini telah memberikan kontribusi terhadap tingginya tingkat pelecehan seksual, intimidasi dan perkosaan di sekolah-sekolah dan jalan-jalan di negara-negara seperti Pakistan, Bangladesh dan Mesir. Semua ini menyebabkan banyak gadis dan perempuan merasa enggan untuk pergi ke luar rumah mereka untuk mencari pendidikan.
Sistem kapitalis Barat yang cacat juga telah menghancurkan perekonomian negara-negara di dunia Muslim, membebani mereka dengan utang yang besar karena pinjaman berbasis bunga yang berat dan kebijakan ekonomi yang gagal. Akibatnya, kemajuan ekonomi lebih banyak digunakan untuk pembayaran kembali utang dibandingkan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan layanan publik lainnya. Hasilnya adalah sekolah-sekolah yang nyaris ambruk, buruknya pelatihan kaum guru serta kurangnya buku-buku dan peralatan sekolah yang diperlukan.
Pemiskinan rakyat melalui kebijakan-kebijakan kapitalis yang dipaksakan kepada negeri-negeri Muslim oleh negara-negara Barat dan lembaga-lembaga mereka seperti IMF serta kurangnya sekolah-sekolah gratis juga telah menyebabkan banyak orangtua mengutamakan pendidikan bagi anak-anak laki-laki dibandingkan anak-anak perempuan mereka. Tidak mengherankan lebih dari 60% kaum perempuan di Pakistan dan sekitar 50% kaum perempuan di Bangladesh dan Mesir buta huruf.
Oleh karena itu kebijakan luar negeri Barat dan sistem sekular kapitalis yang telah dipaksakan atas negeri-negeri Muslim telah terbukti menjadi hambatan terbesar untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada kaum perempuan dan anak perempuan di dunia Muslim.
Islam telah jelas tentang pendidikan kepada kaum perempuan. Islam tidak hanya memandang perlunya mencari pengetahuan tentang Islam dan solusi-solusinya untuk perkara hidup sebagai suatu kewajiban atas kaum perempuan. Islam juga mengarahkan kaum Muslimah untuk mempelajari dunia di sekelilingnya.
Istri Rasulullah Saw. Aisyah ra. tidak hanya seorang ulama besar Islam, namun juga seorang cendekiawan besar bidang kedokteran, sastra dan pengetahuan umum. Islam juga mewajibkan umat Islam untuk menjadi bangsa yang terkemuka di dunia, yang mendorong kaum pria dan wanita untuk berkontribusi pada perbaikan masyarakat dan untuk menjadi unggul dalam berbagai bidang kehidupan; termasuk dalam dunia akademis, ilmu pengetahuan, kedokteran, teknologi dan industri.
Hanya saja, semua kewajiban pendidikan dan hak-hak perempuan ini hanya dapat dijamin oleh sistem yang benar-benar menghargai keyakinan Islam dan penekanannya pada pentingnya bagi kaum perempuan. Sistem itu adalah Negara Khilafah yang konstitusinya murni didasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, sesuai dengan Islam, Khilafah wajib berinvestasi dalam bidang pendidikan serta menyediakan pendidikan dasar dan menengah secara gratis bagi anak-anak perempuan dan anak laki-laki dengan setara. Khilafah wajib menyediakan dana bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Khilafah menjamin sekolah-sekolah khusus perempuan dan independen yang mematuhi peraturan Islam dalam hal pemisahan berdasarkan jenis kelamin, yang dikelola oleh guru-guru perempuan yang digaji tinggi dan berkualitas.
Khilafah harus mendorong dan memfasilitasi kaum perempuan untuk mengkhususkan diri dalam berbagai bidang seperti menjadi ulama, dokter, ilmuwan, matematikawan, arsitek, hakim, dosen, insinyur, atau spesialis IT yang Islami. Semua ini didanai oleh sistem ekonomi Islam yang baik, yang mewujudkan sarana untuk membangkitkan ekonomi yang stabil dan kemakmuran ekonomi. Sistem ekonomi ini dilaksanakan oleh sistem pemerintahan Islam yang mengutamakan pendidikan dan memandang pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara.
Khilafah akan berusaha—melalui pendidikan, media, dan sistem peradilan—memberantas segala sikap budaya dalam masyarakatnya yang mencegah wanita untuk mendapatkan akses atas pendidikan. Akhirnya, sistem sosial Islam dan hukum syariah lainnya akan memastikan bahwa status kaum perempuan yang tinggi akan selalu terjaga, bahwa mereka tidak pernah turun derajatnya; bahwa laki-laki memperlakukan mereka dengan hormat dan bukan sesuai dengan kemauan mereka; dan bahwa hukuman keras dikenakan untuk pelanggaran martabat kaum perempuan, memastikan lingkungan yang aman di mana kaum perempuan dapat melakukan perjalanan ke sekolah-sekolah dan melanjutkan studi mereka. Semua ini akan mengarah pada pemberantasan buta huruf di kalangan kaum perempuan dan pemenuhan aspirasi pendidikan kaum perempuan.
Di bawah sistem Khilafahlah pendidikan kaum perempuan berkembang secara historis sehingga menghasilkan banyak penemu perempuan yang cemerlang. Contohnya adalah Marium al-Istirlabi yang mempelopori pengembangan astrolabe di abad ke-10 untuk menghitung posisi matahari dan bintang-bintang. Banyak insinyur perempuan yang sangat baik seperti Fatima Al-Fihri yang membangun universitas pertama di dunia di Qarawayyin, Morocco dan ribuan ulama perempuan. Hal ini tercantum dalam 40 jilid buku yang ditulis oleh cendekiawan Mohamed Akram an-Nadwi. Dalam buku ini juga tercatat biografi 8000 ulama perempuan yang hidup pada masa peradaban Islam.
Di bawah sistem Islam yang benar inilah, Universitas Al-Azhar di Kairo yang bergengsi memberikan akses terhadap kaum perempuan sebagai mahasiswa dan dosen—suatu hak yang hanya diperoleh kaum perempuan di Barat dalam universitas-universitas beberapa abad setelahnya. Proporsi dosen kaum perempuan di banyak perguruan tinggi Islam klasik lebih tinggi daripada proporsi kaum perempuan di banyak universitas Barat pada hari ini. Semua ini adalah akibat kaum Muslim yang menjadikan Islam sebagai faktor sentral dan satu-satunya motivator bagi perkembangan mereka.
Karena itu, Khilafahlah negara yang benar-benar menjadi perintis di dunia dalam bidang pendidikan perempuan dan—insya Allah sekali lagi—akan menghasilkan sistem pendidikan kelas satu bagi kaum perempuan dan anak perempuan setelah Khilafah berdiri kembali! [Riza Aulia. Sumber: Muslimah Hizbut Tahrir Inggris 20 Ramadhan 1434 H/29 Juli 2013]