Tahun 2013 ini, hingga H+7 Idul Fitri tercatat 719 orang meninggal dunia, 1184 orang luka berat dan 4326 orang luka ringan akibat 3.279 kecelakaan transportasi selama arus “eksodus” mudik Lebaran di Indonesia. Lebih dari 40 juta penduduk kota-kota besar di Indonesia melakukan eksodus mudik menuju kampung halamannya melalui berbagai moda transportasi. Ini terjadi setiap tahun di negeri Muslim terbesar di dunia ini.
Keluarga Muslim di berbagai negeri khusus-nya di Indonesia memiliki tradisi kuat tahunan yang diisi dengan kunjung-mengunjungi, silaturahmi dan saling bermaaf-maafan setiap menjelang perayaan Idul Fitri atau lebaran. Tradisi ini lahir dari pemahaman Islam. Rasulullah saw. bersabda:
زُرْ غِبًّا تَزْدَدْ حُبًّا
Berkunjunglah sesekali saja, niscaya bertambah kuatlah cinta (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi).
Namun sayangnya tradisi yang baik ini justru memakan ratusan korban nyawa setiap tahunnya. Inilah akibat dari kebijakan politik ekonomi yang kapitalistik oleh pemerintah negeri-negeri Muslim. Fenomena kecelakaan transportasi yang massif ini sesungguhnya merupakan indikasi kesenjangan ekonomi yang terlalu ‘telanjang’ antara desa dan kota. Ini sekaligus merupakan bukti inkompetensi rezim penguasa Muslim dalam melakukan investasi pembangunan infrastruktur yang berorientasi rakyat.
Miskin Visi
Dalam konteks fenomena mudik ini, ada dua indikasi kuat bahwa pemerintahan negeri-negeri Muslim tidak memiliki visi untuk menyejahterakan rakyatnya:
1. Kesenjangan pembangunan kota dan desa.
Model pembangunan kapitalistik hanya berorientasi pada pertumbuhan. Investasi ekonomi lebih banyak diarahkan untuk melayani daerah perkotaan yang relatif memiliki pertumbuhan cepat. Apalagi negara berkembang seperti Indonesia yang menelan bulat-bulat doktrin ekonomi Kapitalisme. Indonesia hanya mengkonsentrasikan pembangunan ekonomi pada sektor industri yang membutuhkan investasi yang mahal untuk mengejar pertumbuhan. Sektor lain seperti sektor pertanian dikorbankan. Akhirnya pembangunan hanya terpusat di kota-kota, tanpa memperhatikan bagaimana perencanaan wilayah yang berbasis pada pemerataan kesejahteraan rakyatnya.
2. Investasi negara minim dalam pembangunan infrastruktur transportasi.
Menurut pandangan kapitalis, dalam pelaksanaan pelayanan publik seperti transportasi, negara hanya berfungsi sebagai fasilitator saja. Operator atau pelaksananya diserahkan kepada mekanisme pasar alias dikelola dan diserahkan pada pihak swasta. Akibatnya, harga tiket transportasi publik mahal, sementara layanannya buruk. Demi mengejar untung tidak jarang angkutan umum yang sudah tidak layak jalan tetap beroperasi, mengabaikan keselamatan penumpang karena rawan kecelakaan. Dengan alasan keterbatasan dana, infrastruktur dibiarkan tidak terurus. Ribuan kilo meter jalan rusak dan berlubang dibiarkan bertahun-tahun.
Prinsip pembangunan seperti ini dengan mudah mengundang penjajahan ekonomi oleh pihak asing, terutama di negara-negara berkembang di Dunia Ketiga. Dengan berkedok utang dan bantuan pembangunan, semua investasi strategis termasuk di bidang sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, diserahkan pengelolaannya kepada para kapitalis pemilik modal termasuk pihak asing. Walhasil, umat Islam terjajah di negerinya sendiri.
Keluarga Muslim Menjadi Korban
Tradisi mudik lebaran di Indonesia dan Bangladesh sesungguhnya merupakan cermin dari kesenjangan ekonomi dan kemiskinan massal bentukan dari pembangunan kapitalistik yang berdampak pada bangunan keluarga Muslim. Keluarga Muslim yang hidup menjadi masyarakat urban berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya dan saling terpisah dengan keluarga besarnya. Fenomena ini terjadi secara sistemik karena fasilitas kehidupan dan lapangan pekerjaan terkonsentrasi hanya di kota-kota besar. Akibatnya, sebagian besar penduduk harus menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mereka bertaruh nyawa hanya untuk memenuhi segala kebutuhan pokoknya. Mereka bahkan bermigrasi ratusan kilometer meninggalkan keluarga hanya demi sesuap nasi.
Perpindahan penduduk terjadi dari desa ke kota, dari daerah satu ke daerah lainnya, bahkan melintasi perbatasan nasional suatu negara dalam konteks tumbuhnya “kota-kota global” atau daerah urban baru, ataupun wilayah penyangga perkotaan untuk mendukung pesatnya perindustrian. Semua ini adalah ciri khas dari pembangunan kapitalistik. Model pembangunan seperti ini tentu menimbulkan dampak buruk yang signifikan pada struktur keluarga Muslim di negeri-negeri Islam. Ini karena Kapitalisme secara inheren menempatkan nilai-nilai materialistik liberal di atas keharmonisan bangunan keluarga.
Di antara dampak itu adalah: Pertama, memisahkan anggota keluarga dari keluarga intinya. Yang paling krusial ialah jika anak-anak harus terpisah dari ibunya. Ini tampak dari bentuk-bentuk keluarga urban seperti suami-istri bekerjadi kota besar, sementara anak tinggal bersama kakek-nenek ataupun kerabatnya di desa. Akibat yang paling menakutkan adalah rusaknya generasi. Pasalnya, perhatian kaum ibu terfokus pada pekerjaan yang sering menuntut dirinya terpisah jauh dari anak-anaknya.
Kedua, melemahnya bangunan keluarga Muslim yang terlihat dari meningkatnya perceraian, bergesernya peran ibu sebagai pencari nafkah, fenomena suami-istri tinggal terpisah, maraknya keluarga single parent, dan sebagainya.
Model Pembangunan Ekonomi yang Mensejahterakan
Islam membangun masyarakatnya dengan landasan tauhid. Konsep kehidupannya berjalan untuk menaati perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Makna kebahagiaannya adalah ridha Allah SWT. Sistem nilai Islam menciptakan identitas khas dalam masyarakatnya. Islam memandang kemuliaan manusia itu dari ketakwaannya, bukan dari materi ataupun atribut fisik lainnya.
Islam juga bertolak belakang dengan sistem kapitalis yang meminimalisasi peran negara dan mengutamakan peran pasar dalam melakukan pembangunan ekonomi. Dalam Islam, peran negara justru sangat vital. Tugas utamanya adalah melayani dan mengurusi rakyat, melindungi kaum lemah dan mencegah kezaliman. Ini karena Negara Islam, yakni Khilafah, adalah pelayan umat, sebagai mana ditegaskan Rasulullah saw:
فَاْلإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin (Khalifah) manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas manusia yang dia urus (HR al-Bukhari).
Khilafah adalah negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat. Khilafah menolak model keuangan cacat kapitalis yang berbasis bunga; melarang penimbunan kekayaan atau privatisasi sumberdaya alam; juga melarang asing berinvestasi besar dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, industri dan teknologi. Pondasi kebijakannya diarahkan untuk mengupayakan distribusi kekayaan yang efektif dalam menjamin kebutuhan pokok semua warga negaranya. Khilafah juga serius melakukan proses pembangunan yang merata dan terjangkau di semua wilayah. Dengan begitu rakyat tidak perlu bepergian jauh hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pembangunan yang berkah, adil, mandiri dan sejahtera ada di pundak Khalifah. Namun, kebijakan ekonomi Khilafah ini harus diikuti oleh penerapan Islam secara kaffah. Ini karena tujuan pembangunan ekonomi Islam dalam Khilafah adalah:
1. Menjaga hak syar’i manusia seperti agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-dharuriyat al-khamsu (lima perkara darurat dalam kehidupan manusia).
2. Membentuk masyarakat Islam.
3. Mewujudkan kesejahteraan setiap individu rakyat. Indikator kesejahteraan dalam Islam adalah pemenuhan kebutuhan pokok orang-perorang. Jika ada satu orang saja yang miskin, maka pembangunan ekonomi dianggap gagal.
Investasi Infrastruktur Strategis
Bayangkan mentalitas yang dimiliki oleh seorang Umar bin al-Khaththab ra. tatkala beliau menjadi kepala negara. Beliau pernah berujar, “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti.”
Mindset seperti inilah yang mendasari Khilafah dalam menjalankan kebijakan investasinya dalam infrastruktur strategis, yang bisa di urai dalam 3 poin berikut (seperti yang ditulis Dr. Fahmi Amhar dalam Teknologi Mudik Negara Khilafah):
1. Prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara; bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta.
2. Prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad dibangun sebagai ibukota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu. Di situ dibangun masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja. Semua sudah dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
3. Negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi mutakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Berikut adalah gambaran bagaimana Khilafah dulu serius berinvestasi dengan teknologi mutakhir:
• Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman dan orang tidak tersesat. Untuk itulah kaum Muslim belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
• Teknologi dan manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru dua ratus tahun kemudian, yakni 1185, Paris memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.
• Yang menarik, hingga abad, 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengem-bangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Musim haji adalah musim ritual terbesar pergerakan manusia, baik yang untuk pergi haji ke Makkah maupun mudik ke kampung halaman. Di negeri-negeri Timur Tengah, libur saat lebaran haji lebih lama dan lebih meriah dari Idul Fitri (karena ada Hari Tasyrik). Karena itu situasi mudik terjadi pada musim ini. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, Ibukota Khilafah, hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Dengan proyek ini, dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari! Masya Allah!
Khilafah akan memberikan jaminan pembangunan ekonomi yang berkah, adil dan sejahtera yang akan meminimalisir kesenjangan ekonomi dan menjauhkan kerusakan pada masyarakat. Khilafah juga mengokohkan bangunan keluarga Muslim dan mensejahterakan rakyat. Khilafah pun akan menyediakan infrastruktur transportasi yang aman, memadai dengan teknologi terkini. Dengan begitu ribuan Muslim tidak akan lagi menjadi korban dari kecelakaan transportasi akibat abainya pemerintah. WalLahu a’lam. [Fika Komara, M.Si ; Member of Central Media Office Hizb ut Tahrir]