Samuel Huntington mengatakan bahwa peradaban Barat sedang menuju kehancuran. Penyebab utamanya adalah masalah moral hazard, budaya bunuh diri dan konflik politik. Dalam masalah moral hazard, Huntington menyoroti perilaku asosial yang terus meningkat seperti tindak kriminal, konsumsi narkoba dan kekerasan sosial; fenomena broken home, angka perceraian, anak-anak hasil zina; remaja hamil di luar nikah dan fenomena singgle parent. Khusus Amerika, kata Huntington, lebih parah lagi, telah mengalami penurunan modal sosial, lemahnya semangat belajar, kegiatan intelektual, hingga lemahnya etos kerja, dan meningkatnya pemujaan personal. Yang perlu dicatat, bangkrutnya AS dan negara-negara Barat ini sekaligus mengakhiri era Kapitalisme dan demokrasi.
Saat ini para pemikir Barat mulai gamang. Para pemikir, pemimpin dan pemuka agama di Barat mulai mencari akar masalah dan solusi dari krisis yang mendera mereka. Meski tidak secara terbuka, mereka jelas sekali mengakui bahwa solusi itu ada pada Islam. Hanya saja, solusi Islam itu tidak bisa mereka adopsi sepotong-sepotong; sebagaimana ketika mereka menambal kebobrokan Kapitalisme dengan Sosialisme dalam bentuk Welfare State, atau Social Justice, dan sebagainya di era 50-an abad lalu.
Pada saat yang sama, gelombang perubahan di Dunia Islam, khususnya Timur Tengah, telah mengembalikan kesadaran umat Islam pada agama mereka, Islam. Mereka pun mulai sadar, bahwa berbagai musibah yang menimpa mereka selama ini bersumber pada para penguasa boneka yang didukung oleh Barat. Mereka pun beramai-ramai menumbangkan rezim boneka itu; di mulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Bahrain kemudian Suriah. Sayang, kesadaran umat Islam yang belum sempurna di beberapa wilayah itu telah berhasil dimanfaatkan oleh Barat, khususnya AS, Inggris, Prancis dan Rusia. Akibatnya, perubahan yang terjadi di beberapa wilayah tersebut hanya berhasil mengganti boneka yang satu dengan boneka yang lain, sementara sistemnya tetap.
Namun, pada saat yang sama pula, Allah SWT membuktikan kebenaran sabda Nabi-Nnya, “Ina-Llaha takaffala bi Syam wa ahlihi (Allah telah menjamin Syam dan penduduknya).”
Kondisi tersebut tampak dari terus berkobarnya api Revolusi Syam hingga kini. Selain itu, Revolusi Syam juga berbeda dengan Revolusi Mesir, Tunisia, Libya maupun Yaman. Revolusi Syam adalah Revolusi Islam, yang tidak hanya bertujuan menumbangkan rezim kufur, Bashar Assad, tetapi bertujuan untuk menegakkan Khilafah yang menerapkan sistem Islam.
Karena itu AS, Rusia, Cina dan negara-negara Barat lainnya, berikut para penguasa boneka di sekitarnya seperti Iran, Irak, Turki, Mesir, Yordania, Libanon, Qatar dan Saudi saling bahu-membahu untuk membendung tegaknya Khilafah di Suriah. Mereka paham betul, bahwa “Uqru Dar al-Islam bi as-Syam (Pusat/ibukota Negara Islam ada di Syam).”
Jika ini terbukti, ini jelas akan menjadi mimpi buruk bagi mereka. Mimpi buruk itu terus menghantui mereka. Berbagai upaya pun mereka lakukan, mulai dari pembentukan Koalisi Nasional, Pemerintahan Transisi dan berbagai upaya lain untuk membendungnya. Namun, dengan izin dan pertolongan Allah, semuanya gagal. Pada saat yang sama, hampir seluruh wilayah Suriah, termasuk Damaskus, telah berhasil dikuasai oleh para pejuang Islam yang mukhlis itu.
Maka dari itu, “Bukankah waktu Subuh itu telah dekat? (QS Hud [11]: 81),” tanya Allah. Fajar Khilafah itu kini hampir tiba. Umat Islam kini pun menanti detik-detik berkumandangnya “Azan Fajar”: berdirinya Khilafah! Pada hari itu orang-orang Mukmin penuh sukacita akan pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Mahaperkasa lagi Maha Penyayang (TQS ar-Rum [30]: 4-5).
Masihkah kita pesimis dalam upaya penegakkan Khilafah? [Alauddin; Pengusaha, Madonga Kendari.]