Ekonomi Mesir Masa Mubarak dan Mursi
Kondisi ekonomi Mesir pada masa Hosni Mubarak dapat dikatakan cukup baik. Menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF), PDB perkapita Mesir berdasarkan paritas daya beli (PPP) meningkat empat kali lipat antara 1981-2006; dari US$1.355 pada 1981 menjadi US$ 2.525 pada 1991, US$ 3.686 pada 2001 dan menjadi US$ 4.535 pada 2006. Dalam seperempat abad terakhir, setidaknya perekonomian Mesir mengalami pertumbuhan sekitar 4-5 persen, termasuk pada 2009, yang tumbuh 4,7 persen (Suprapto, 2011).
Akibat diversifikasi yang sukses, produk domestik bruto (PDB) meningkat 7 persen pertahun. Menurut catatan Bank Dunia, PDB Mesir pada 2009 tercatat sebesar US$188 miliar, dengan penduduk 83 juta. Jumlah penduduk miskin di Mesir juga terus menurun. Pada 2009, populasi warga miskin terus turun dari 22,9 persen pada 1996 menjadi 16,7 persen pada 2000 dan 14 persen pada 2009. Angka pengangguran pada 2008 tercatat 8,7 persen. Angka pengangguran terendah pernah dicapai pada 1999, yaitu 8,1 persen. Dalam 10 tahun terakhir, angka pengangguran tertinggi pada 1995, yaitu sebanyak 11,3 persen. Utang luar negeri Mesir mencapai 17,6 persen dari Pendapatan Nasional Bruto (GNI). Angka ini terus turun dari 89,1 persen pada 1991 (Suprapto, 2011).
Keadaan itu menjadi berubah ketika Muhammad Mursi berkuasa. PBB mengumum-kan pada Mei 2013, bahwa angka kemiskinan dan keamanan pangan di Mesir melonjak tajam dalam 3 tahun terakhir. PBB memperkirakan pada tahun ini 17% dari populasi Mesir harus berjuang untuk mendapatkan makanan yang cukup. Padahal pada tahun lalu, kemiskinan hanya mencapai 14%. Angka kekurangan gizi juga melesat menjadi 31%, khususnya bagi anak-anak di bawah 5 tahun. Jumlah tersebut naik sebanyak 23% dari 2005. Lebih dari 1 juta warga Mesir kehilangan mata pencarian sejak 2010. Sebanyak 80% dari penganggur di negara tersebut berusia di bawah 30 tahun. Selain itu, 2 dari setiap 5 warga Mesir terus hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 per hari (Herlinda, 2013).
Pada masa pemerintahan Mursi, indikator ekonomi makro juga terus mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi turun hingga 2,2 persen pada tahun fiskal 2012, turun dari 5.1% pada tahun 2009/2010. Mata uang Pound Mesir juga telah kehilangan 12,5 persen nilainya terhadap dollar Amerika. Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut juga telah memperburuk tingkat pengangguran dan kemiskinan. Lebih dari 3,3 juta orang, yaitu 13% menganggur; 46,4% dari populasi yang berusia 20-24 tahun tidak dapat menemukan pekerjaan. Rakyat Mesir hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 43%, yaitu yang berpendapatan di bawah dua dollar perhari. Hal yang memperparah keadaan adalah defisit anggaran pemerintah membengkak, naik hingga 10,8% dari PDB. Defisit ini membuat pemerintah Mesir makin kesulitan untuk membantu mereka yang paling miskin dalam kondisi yang sulit (El Harmouzi & Massoud, 2013).
Yang Sudah Dilakukan Mursi
Sebelum Mursi berkuasa, pariwisata merupakan andalan utama ekonomi Mesir. Sebagian besar pendapatan ekonomi Mesir mengandalkan sektor ini. Pada 2010, 14,7 juta pengunjung datang, menghasilkan US$ 12,5 miliar pemasukan. Namun, setelah Mubarak tumbang, kedatangan turis terus menurun menjadi 9.8 juta dan pemasukan sektor menjadi US$ 8,8 miliar.
Oleh karena itu, pemerintahan Mursi mencoba untuk melakukan pemulihan pariwisata pada 2012. Salah satu langkahnya adalah dengan membuka diri terhadap pengunjung yang ingin minum alkohol dan menggunakan bikini. Mursi ingin menjadikan pembangunan sektor pariwisata merupakan prioritas nasional. Target yang ingin dicapai adalah meningkatnya jumlah turis sebesar 20 persen pada tahun 2013.
Kementerian Pariwisata Mesir telah memasang kamera-kamera di resor-resor besar yang mengunggah video langsung ke dalam laman mereka. Pemerintah Mesir ingin menunjukkan bahwa Mesir aman. Hal terbaik untuk memperlihatkannya adalah dengan melalui live streaming. Langkah berikutnya adalah dengan menampilkan gambar-gambar tersebut di layar-layar besar di tempat-tempat publik di Paris atau New York. Pemerintahan Mursi juga telah mencoba mencari akses ke pasar-pasar baru, yaitu mencoba membuka pintunya untuk turis-turis dari Iran, setelah hubungan diplomatik terputus selama 34 tahun (Bakr, 2013).
Namun, segala upaya yang dilakukan Pemerintahan Mursi banyak mengalami kegagalan. Bahkan perekonomian semakin memburuk karena pendapatan negara dari sektor pariwisata merosot tajam. Ini adalah akibat jumlah pelancong menurun drastis sejak negara itu dilanda Arab Spring. Para wisatawan merasa tak aman mengunjungi Mesir, karena hampir setiap hari di negara itu terjadi demonstrasi yang akhirnya ini berimbas pada berkurangnya pemasukan negara (Pikiran Rakyat Online, 2013).
Untuk menyelamatkan ekonominya, pemerintahan Mursi tidak punya pilihan lain selain menerapkan program pengetatan ekonomi, menaikkan harga sebagian barang dan meningkatkan pajak terhadap pelayanan dan jasa. Kemungkinan lain, pemerintah Mursi juga mengambil langkah pintas, yaitu dengan mencetak uang kertas tanpa sandaran (IRIB Indonesia, 2013). Padahal kebijakan ini justru dapat mempercepat kehancuran ekonomi Mesir. Solusi lain adalah mengandalkan utang dari IMF sebesar 4,8 miliar dolar AS. Namun, utang ini tidak kunjung cair hingga tumbangnya Mursi dari tampuk pemerintahan.
Problem Ekonomi Mesir
Mesir dulunya adalah salah satu negara yang ekonominya cukup besar di kawasan Timur Tengah. Dulu pendapatan utama Mesir adalah dari Terusan Suez, pariwisata dan perdagangan. Pariwisata adalah peyumbang pendapatan yang sangat besar. Dengan adanya Terusan Suez, Mesir juga telah menjadi pintu besar ke Afrika dan beberapa negara. Namun, dengan munculnya Dubai dan Jeddah, peran Mesir akhirnya menjadi tidak terlalu dominan lagi.
Selain ketergantungannya terhadap sektor pariwisata, sesungguhnya kehidupan ekonomi rakyat Mesir sejak dulu sudah sangat bergantung pada subsidi luar negeri.
Mesir adalah negara kedua di dunia yang mendapatkan bantuan Amerika setelah Israel.
Sesungguhnya apa yang terjadi pada Camp David dulu adalah peace againts money. Artinya, Mesir mau berdamai dengan Israel asalkan dapat sumbangan dan bantuan yang jumlahnya bisa mencapai ratusan juta dolar. Angkanya ada yang terekspos dan ada yang rahasia. Dengan demikian, ketika ekonominya sangat bergantung pada subsidi, maka masyarakatnya tidak akan mampu membeli roti dan gandum kecuali disubsisdi (Antonio, 2013).
Selain itu, Mesir juga tidak punya sumber minyak yang banyak sehingga untuk untuk kebutuhan negaranya sendiri-pun tidak cukup. Jumlah penduduk yang sekitar 80 juta, ternyata sekitar 20 juta-nya ada di Kairo. Kairo itu adalah kota perdagangan, pendidikan dan pariwisata. Adapun masyarakat di luar Kairo ternyata lebih banyak mengandalkan sektor pertanian, sedikit perdagangan dan pegawai negeri. Daya beli mereka sangat rendah (Antonio, 2013).
Keadaan ekonomi seperti ini tentu sangat rawan terhadap gejolak politik dan keamanan. Ketika negeri ini dilanda pergolakan politik, maka akan langsung berdampak pada hancurnya sektor pariwisata dan perdagangan; juga langsung berdampak pada naiknya harga-harga. Dengan demikian, bagi sebagian besar rakyat Mesir yang daya belinya rendah, situasi ini tentu akan langsung memukul ekonominya.
Solusi atas Krisis Ekonomi Mesir
Sebuah negara yang baru saja mengalami pergolakan dan revolusi, tentu memerlukan langkah-langkah yang konstruktif guna menanggulangi krisis ekonominya. Menilik kondisi sosial ekonomi Mesir sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka langkah untuk membangun ekonomi Mesir adalah dengan mewujudkan kemandirian ekonomi.
Ekonomi suatu negara dikatakan mandiri, paling tidak, dapat dilihat dari dua aspek. Pertama: dilihat dari aspek sumberdaya alamnya (SDA), khususnya SDA strategis, yaitu dari sektor pertambangan dan energi. Untuk kebutuhan penyelenggaraan suatu pemerintahan, tentu diperlukan biaya yang besar. Bagi negara yang memiliki SDA strategis yang besar, terjadinya perubahan politik yang drastis tidak akan banyak berpengaruh, karena miliki SDA besar untuk diekspor ke luar negeri. Contoh negara dengan SDA strategis yang besar adalah negara-negara di kawasan Teluk.
Kedua: bagi negara yang tidak memiliki SDA strategis yang besar, ukuran kemandirian ekonomi dapat dilihat pada kekuatan industrinya, khususnya pada industri-industri berat. Walaupun suatu negara tidak memiliki SDA strategis yang besar, bila memiliki industri berat, negara tersebut akan mampu mengekspor produk manufaktur yang memiliki nilai tambah yang tinggi sehingga pendapatan negara tersebut menjadi besar (Zain, 1988). Contoh negara seperti ini adalah Jepang dan negara-negara di Eropa Barat.
Sayang, dua prasyarat di atas tidak dimiliki oleh Mesir. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi penguasa di Mesir sangat rawan menjadi “permainan” politik dan ekonomi dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Ini karena Mesir bukanlah negara yang mandiri secara ekonomi.
Untuk mengatasi keadaan tersebut, Mesir seharusnya memilih alternatif kedua, yaitu segera mewujudkan dirinya untuk menjadi negara yang mandiri dengan memiliki industri besar dan kuat; bukan dengan jalan memperbaiki dan membangun kembali sektor pariwisatanya. Untuk mewujudkan impian ini memang tidak mudah, sebab dibutuhkan dua syarat utama, yaitu biaya yang besar dan kemauan politik ekonomi Islam yang kuat dari pemerintah dan rakyatnya (Al-Maliki, 2001).
Untuk syarat pertama, bagaimana pemerintahan yang baru bisa mendapatkan biaya yang besar untuk membangun industrinya? Untuk mewujudkan itu bisa dengan dua jalan. Pertama: yaitu dengan menyeru seluruh rakyatnya untuk bahu-membahu menyumbangkan harta kekayaannya kepada negara agar negara segera memiliki sumber pendapatan yang besar. Hal inilah yang dulu pernah dilakukan Rasul saw. pada awal masa-masa pemerintahannya (Abdurrahman & Adhiningrat, 2013).
Kedua (jika sumbangan rakyat masih kurang): bisa dengan utang ke negara lain, asalkan dengan syarat dan ketentuan yang tidak melanggar aturan syariah Islam dalam utang-piutang. Misalnya, dengan adanya syarat riba (bunga) atau adanya ketentuan yang dapat membuka peluang dominansi politik dan ekonomi dari negara pengutang kepada yang negara dihutangi, tentu hal ini tidak diperbolehkan syariah Islam (Abdurrahman & Adhiningrat, 2013).
Untuk syarat kedua, adalah adanya kemauan politik ekonomi Islam yang kuat dari penguasa dan rakyatnya. Dorongan yang besar dan kuat memang tidak akan pernah bisa muncul, kecuali berasal dari dorongan iman yang besar dan kuat pula. Dorongan iman itu juga tidak akan pernah bisa muncul dari penguasa dan rakyatnya, kecuali negara yang didirikan adalah negara yang berlandaskan pada iman kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan negara yang berlandaskan sekularisme. Negara yang memenuhi syarat itu memang hanya satu, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Bukan yang lain! WalLahu a’lam bish-shawab. [Dwi Condro Triono, Ph.D; Lajnah Mashlahiyah DPP HTI]
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Hafid & Arif Adhiningrat, 2013. “Kebijakan Khilafah Mengatasi Krisis Keuangan,” Hizbut-tahrir.or.id, 6 Juli 2013.
Al-Maliki, Abdurrahman, 2001, Politik Ekonomi Islam.Terjemahan: Ibnu Sholah, Al-Izzah, Bangil.
Antonio, Syafi’i, 2013, dalam Babak Baru Politik Ekonomi Mesir. Sejarawan.blogspot.com. 25 Mei 2011.
Bakr, Amena, 2013. “Menteri Pariwisata Mesir: Alkohol dan Bikini Tidak Dilarang,” Voaindonesia.com. Kamis, 01 Agustus 2013.
El Harmouzi, Nouh & Ali Massoud, 2013. “Sebab-Sebab Krisis Mesir,” Akademimerdeka.org, 4 Juli 2013.
Herlinda, Wike Dita, 2013. “Kudeta Mursi Hentikan Pemulihan Ekonomi Mesir,” Bisnis.com, Kamis, 04 Juli 2013.
IRIB Indonesia, 2013. “Ketika Arab Mulai Menekan Ekonomi Mesir,” Indonesian.irib.ir. Senin, 8 April 2013.
Pikiran Rakyat Online, 2013. “Menurunnya Kunjungan Turis Bikin Ekonomi Mesir Morat-marit,” Pikiran-rakyat.com, Kamis, 11 Juli 2013.
Suprapto, Hadi, 2013. “Mesir, Calon Raksasa Ekonomi dari Sungai Nil,” VIVAnews. Rabu, 2 Februari 2011.
Zain, Samih Athif, 1988. Syariat Islam dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Hussaini, Bandung, Cet I.