Meski menuai banyak penolakan, sudah bisa dipastikan Grand Final Kontes Miss World ke-63 akan tetap dihelat di Indonesia 28 September 2013 mendatang. Situs missindonesia.co.id bahkan menyebut, setidaknya 140 negara dipastikan akan menyiarkan acara tersebut secara live. Di Indonesia sendiri, dua stasiun tv, yakni RCTI dan MNC, siap meraup untung besar karena telah berhasil mengantongi hak siar secara penuh dari Miss World Organization yang berpusat di London Inggris.
Yang menjadi persoalan, mengapa Pemerintah dan berbagai pihak yang pro seolah tak acuh dengan suara umat Islam yang keras memberikan penolakan? Bukankah sangat jelas bahwa acara semacam ini akan membahayakan kehidupan umat Islam dan bangsa secara keseluruhan?
Propaganda Menyesatkan
Setidaknya ada dua hal yang membuat Pemerintah tetap mengizinkan dan pihak yang pro tetap abai terhadap suara penolakan. Pertama: ajang Miss World diklaim sebagai wujud pemberdayaan perempuan. Kedua: perhelatan Miss World di Indonesia juga diklaim akan berdampak positif bagi perekonomian karena pariwisata Indonesia terpromosikan.
Kedua alasan tersebut sejatinya merupakan propaganda menyesatkan. Terkait yang pertama, faktanya tak satupun sesi kompetisi yang menunjukkan aspek pemberdayaan, kecuali dalam pengertian mengeksploitasi perempuan. Dalam situs missworld.com jelas disebutkan bahwa setiap peserta setidaknya harus melewati 6 event tantangan (challenge event), yakni sesi Beach Fashion, Beauty With a Purpose, Sport and Fitness, Talent Competition, Top Model dan World Fashion Designer Award.
Memang, di sesi beach fashion penggunaan bikini dihapuskan, digantikan dengan sarung Bali dengan dalih “untuk menghormati nilai-nilai budaya Indonesia yang mayoritas Muslim”. Inilah yang menjadi tagline di beberapa situs ternama dunia. Namun, ini hanyalah cara untuk meredam suara pihak yang kontra. Faktanya, tetap saja semua sesi menunjukkan bahwa Miss World realitasnya dipilih karena penampilan melalui tahapan yang jelas-jelas mengabaikan nilai-nilai akhlak dan menodai kehormatan perempuan itu sendiri. Tentu, ini memang sesuai dengan jatidiri kontes Miss World yang sejatinya lahir sebagai kontes bikini dan kecantikan.
Adapun 3 B—yakni Brain (kecerdasan), Beauty (kecantikan), dan Behaviour (kepribadian)—yang katanya dijadikan dasar penilaian, faktanya hanyalah kedok belaka. Sebab, bagaimana bisa mengukur kecerdasan dan kepribadian hanya dalam waktu singkat saat kompetisi dilakukan? Apakah dengan kepiawaian menjawab pertanyaan seputar wawasan kekinian atau dengan menunjukkan kemampuan menyanyi dan bakat lainnya dalam tallent event, kecerdasan seseorang bisa dinilai? Apakah dengan kerja sosial dalam sesi Beauty With a Purpose yang cuma dadakan, kepribadian sang ratu bisa ditentukan? Lantas apa definisi cerdas dan kepribadian yang mereka maksudkan? Yang pasti, tidak mungkin mereka bisa terpilih menjadi kontestan jika secara penampilan fisik tidak memungkinkan. Jadi, wajarlah jika ada yang menyebut bahwa konsep 3 B sejatinya hanya bermakna Beauty, Beauty, and Beauty.
Terkait alasan kedua, yakni untuk promosi pariwisata Indonesia ke seluruh dunia, juga terkesan mengada-ada. Benar, nama Indonesia akan disebut-sebut dalam pemberitaan dunia, dan 28 september nanti akan banyak mata tertuju ke Indonesia. Namun, tak ada jaminan bahwa dengan ‘iklan gratis’ ini serta-merta membuat masyarakat dunia ingin berbondong-bondong datang melancong ke Indonesia dan menghabiskan uang mereka di Indonesia.
Jika seperti ini cara berpikir mereka, alangkah naifnya. Hanya demi iklan gratis, mereka mengabaikan biaya sosial yang harus dikorbankan akibat penyebaran virus liberalisme dan hedonisme yang mengiringi perhelatan penuh kemunkaran bernama Miss World. Bukankah masih banyak cara halal, cerdas dan elegan yang bisa digunakan untuk menunjukkan ‘kehebatan’ Indonesia dan menggenjot perekonomian bangsa? Apalagi pada faktanya, yang jelas-jelas ‘diuntungkan’ dari penyelenggaraan ajang ini adalah pihak penyelenggara (EO) dan para sponsor. Merekalah yang menjadikan para kontestan ratu dunia sebagai kapstok atau etalase berjalan bagi produk-produk industri mereka!
Cermin Kebusukan Kapitalisme
Maraknya kontes ratu-ratuan semacam Miss World sesungguhnya menggambarkan bagaimana posisi kaum perempuan dalam masyarakat sekular dengan ideologi Kapitalismenya yang imperialistik dan eksploitatif. Dalam sistem rusak ini, perempuan memang dinilai dengan harga sangat rendah dan terhina. Perempuan diperlakukan tak lebih dari benda/komoditas yang diperalat untuk memutar mesin industri kapitalis baik sebagai faktor produksi maupun sebagai objek pasar bagi produk yang dihasilkan. Bahkan dalam sistem ini, kaum perempuan menjadi alat penjajahan dan alat untuk melanggengkan penjajahan itu sendiri.
Keberadaan tenaga kerja industri di berbagai bidang yang mayoritas berjenis kelamin perempuan membuktikan hal ini. Upah yang murah dan karakter perempuan yang cenderung pasrah menjadi alasan para kapitalis lebih suka menggunakan tenaga mereka. Kemiskinan struktural yang diciptakan sistem ekonomi Kapitalisme pun turut memaksa kaum perempuan terjun dalam dunia kerja yang keras tersebut dan menjadi para budak kapitalis. Padahal pada saat sama, mereka tak bisa melepas peran kodrati mereka sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anak mereka. Dampaknya bisa dibayangkan. Kaum perempu-an banyak yang terjebak dalam dilema peran ganda. Kualitas keluarga sebagai basis masyarakat pun dipaksa menjadi taruhannya.
Hal ini kemudian diperparah dengan penyebarluasan pemikiran keadilan dan kesetaraan gender (KKG) di tengah masyarakat untuk mendukung suksesnya agenda penjajahan Kapitalisme. Bagaimana tidak, selain alasan kebutuhan, pemikiran inilah yang berhasil memprovokasi kaum perempuan untuk keluar dari rumah-rumah mereka, menanggalkan kemuliaan dan ke-’iffah-an mereka serta menanggalkan kebanggaan menjadi ibu dan pengatur rumah tangga.
Bahkan pemikiran KKG telah berhasil menebar fitnah dan memprovokasi kaum Muslimah untuk membeci Islam yang ditampilkan sebagai penghambat kemajuan dan mendiskriminasi kehidupan mereka. Mereka pun termakan propaganda sesat para pengusung KKG tentang konsep perempuan modern, dan berbagai jargon pemberdayaan semu yang ditawarkan. Akibatnya, mereka berpikir bahwa dengan berdaya secara ekonomi, dan lebih jauh berdaya secara politik dalam makna sempit, maka martabat mereka akan menjadi lebih tinggi dan punya daya tawar tinggi, terutama di hadapan laki-laki.
Selain paham KKG, Kapitalisme juga menebar paham liberalisme dan materialisme yang memudahkan berbagai industri kapitalis berkembang lebih pesat. Paham inilah yang berhasil meracuni masyarakat, terutama kaum perempuan. Akibatnya, mereka bersikap konsumtif dan mengutamakan nilai-nilai yang bersifat materi, termasuk ketika mereka memaknai kebahagiaan dengan sesuatu yang jasadi. Pada akhirnya, dengan mudah mereka menjadi sasaran empuk iklan-iklan produk kapitalis; mulai dari produk makanan, mode pakaian, produk kosmetik hingga produk-produk hiburan semacam film dan lain-lain. Bahkan dengan paham ini pula, sebagian kaum perempuan rela menjerumuskan diri dalam berbagai bisnis kotor. Akibatnya, dalam masyarakat kapitalistik, industri prostitusi, trafficking, pornografi pornoaksi dan industri hiburan (termasuk kontes ratu-ratuan yang merusak akhlak), justru berkembang pesat. Semua itu bahkan diangap sebagai penggerak ekonomi bayangan (shaddow economic) yang bisa menghasilkan untung besar, baik bagi para pengusaha maupun sebagai sumber pajak yang besar bagi negara.
Semua ini menunjukkan, bahwa Kapitalisme memang tak pernah menempatkan kaum perempuan dalam posisi sepantasnya. Semua prinsip kebebasan yang ditawarkan hanyalah racun berbalut madu yang membunuh keperempuanan bahkan kemanusiaan secara perlahan. Potensi mereka sebagai pencetak generasi unggul yang berpotensi melakukan perlawanan ditumpulkan, baik melalui penjajahan ekonomi yang memiskinkan, maupun melalui serangan budaya dan pemikiran sebagaimana paham kesetaraan jender yang mengikis fitrah kewanitaan.
Peran Strategis Perempuan
Berbeda dengan Kapitalisme, Islam datang benar-benar untuk memuliakan dan memberdayakan kaum perempuan secara hakiki.
Sesungguhnya Islam telah menetapkan bahwa peran utama kaum perempuan adalah penjaga generasi, yakni sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Peran ini sangat strategis dan politis bagi sebuah bangsa atau umat. Untuk itu, Allah SWT menetapkan berbagai aturan yang menjaga kaum perempuan dan menjaga kehormatan mereka. Dengan begitu posisi strategis itu bisa berjalan sebagaimana seharusnya.
Islam menetapkan aturan bahwa ada dua kehidupan bagi manusia, yakni kehidupan umum di luar rumah dan kehidupan khusus di dalam rumah. Di dalam rumah, kaum perempuan hidup sehari-hari bersama mahram dan kaum mereka. Siapapun yang hendak memasuki kehidupan khusus orang lain, wajib meminta izin kepada pemilik rumah demi menjaga aurat dan kehormatan mereka, terutama kaum perempuan.
Islam juga membuka ruang bagi kaum perempuan untuk masuk dalam kehidupan umum, berkiprah dalam aktivitas-aktivitas yang dibolehkan semacam berjual-beli, maupun untuk melaksanakan aktivitas yang diwajibkan syariah, seperti menuntut ilmu dan berdakwah untuk turut mewarnai dan mengarahkan masyarakat ke arah yang maju dan berperadaban tinggi. Namun, dalam kehidupan umum ini, Islam mewajibkan kaum perempuan menggunakan pakaian khusus yang menutup semua aurat mereka, yakni jilbab dan kerudung (khimar); melarang tabarruj; memerintahkan laki-laki dan perempuan menjaga pandangan mereka; melarang mereka ber-khalwat; memerintahkan kaum perempuan yang hendak bepergian jauh untuk disertai mahram-nya. Dengan aturan-aturan ini, kehormatan keduanya akan selalu terjaga dan terhindar dari kerusakan moral semacam pergaulan bebas dan tindak kejahatan seksual, sebagaimana yang kerap terjadi dalam masyarakat kapitalistik sekarang ini berikut segala dampaknya yang rusak dan merusak.
Agar tugas utamanya sebagai pencetak dan penjaga generasi, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, berjalan dengan baik dan sempurna, Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagi kepala keluarga ada pada pundak suami, bukan pada dirinya. Perempuan tidak usah bersusah-payah bekerja ke luar rumah dengan menghadapi berbagai risiko sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan bekerja dalam sistem kapitalis sekarang ini. Bahkan negara akan memfasilitasi para suami untuk mendapatkan kemudahan mencari nafkah dan menindak mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Negara juga mewajibkan para wali perempuan untuk menafkahi, jika suami tidak ada. Bahkan jika pihak-pihak yang berkewajiban menafkahi memang tidak ada, negaralah yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan para ibu.
Demi suksesnya peran strategis tersebut, Islam pun tak membebani perempuan dengan tugas-tugas berat yang menyita tenaga, pikiran dan waktunya seperti dengan menjadi penguasa. Islam hanya mewajibkan mereka mengontrol penguasa dan menjaga pelaksanaan syariah di tengah umat dengan aktivitas dakwah dan muhasabah, baik secara individu maupun secara jamaah. Islam bahkan mewajibkan para penguasa menyediakan seluruh fasilitas yang menjamin pelaksanaan tugas mereka sebagai ibu generasi, yang mencetak generasi pemimpin, seperti halnya fasilitas pendidikan dan kesehatan. Dengan begitu kaum perempuan memiliki kecerdasan sebagai pendidik, dan kualitas kesehatan yang mumpuni. Negara juga wajib menjamin keamanan bagi rakyat yang memungkinkan kaum perempuan bisa berkiprah di ruang publik sesuai batasan syariah yang diberikan.
Islam tak memandang posisi kepala keluarga lebih tinggi dari ibu rumah tangga, atau posisi penguasa lebih mulia dari rakyat jelata, sebagaimana dalam pandangan Kapitalisme. Yang dilihat dalam Islam justru seberapa jauh kepatuhan dan keoptimalan masing-masing dalam menjalankan peran-peran yang Allah SWT berikan itu.
Sejarah Agung
Perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan perempuan bahkan rakyat secara keseluruhan oleh negara telah banyak dibuktikan dalam sejarah pemerintahan Islam. Bukti-bukti tentang tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat di bawah naungan Islam pun telah banyak dituliskan. Salah satu contohnya adalah peristiwa pengepungan entitas Yahudi Bani Qainuqa selama 15 hari hingga menyerah kalah oleh pasukan Rasulullah saw. Itulah jawaban atas keberanian mereka melakukan pelecehan terhadap seorang Muslimah di pasar mereka. Begitu pun peristiwa penaklukkan wilayah Amuria oleh tentara Khalifah Mu’tashim Billah. Penaklukan itu awalnya dipicu oleh peristiwa pelecehan seorang Muslimah oleh penduduk Amuria di wilayah perbatasan.
Apa yang dilakukan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. juga menunjukkan bagaimana Islam melindungi dan menjamin kesejahteraan perempuan, bahkan rakyat secara keseluruhan. Beliau yang kekuasaannya sudah melewati batas-batas Semenanjung Arabia telah terbiasa melakukan patroli untuk memastikan semua penduduk terpenuhi kebutuhannya. Beliau bahkan tak ragu memanggul karung berisi gandum demi memenuhi kebutuhan seorang ibu dan anaknya karena kesadaran penuh akan tanggung jawab sebagai kepala negara di sisi Allah SWT. Beliaupun pernah menetapkan kebijakan menggilir pasukan jihad per empat bulan demi mendengar keluhan seorang istri tentara yang merindukan suaminya.
Sungguh, telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa Islam yang direpresenta-sikan oleh Negara Islam (Khilafah Islamiyah) begitu memuliakan perempuan, mensejahtera-kan kehidupan mereka, bahkan umat secara keseluruhan.
Namun sayang, hari ini umat Islam tak memiliki negara yang bisa menerapkan hukum-hukum tersebut. Khilafah Islam telah lebih dari 89 tahun yang lalu dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.
Sesungguhnya kehinaan yang menimpa kaum perempuan dan umat Islam secara keseluruhan pada hari ini tidak perlu terjadi. Mereka punya potensi untuk bangkit kembali menjadi umat yang mulia sebagaimana yang seharusnya. Mereka memiliki potensi geologis dan geografis, yakni berupa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang melimpah ruah. Mereka pun memiliki potensi ideologis, yakni ideologi Islam yang tegak di atas asas yang sahih. Ideologi Islam memiliki seperangkat aturan yang dipastikan mampu menyelesaikan seluruh problem manusia dengan sempurna dan memuaskan.
Inilah yang seharusnya menjadi agenda perjuangan umat Islam, termasuk para Muslimah. Intinya, bagaimana agar Islam kembali diterapkan sebagai aturan kehidupan melalui penegakkan institusi Khilafah yang mendunia. Jika ideologi Islam ini tegak, dipastikan hegemoni Kapitalisme yang memiskinkan dan menghinakan perempuan akan bisa ditumbangkan. Dengan itu kemuliaan umat termasuk kaum perempuan akan kembali diwujudkan. Insya Allah. [Siti Nafidah Anshory; Ketua MHTI Jawa Barat]