Dalam beberapa kesempatan, saya ditanya, mengapa dalam melakukan perubahan besar kok kelihatannya hanya ‘ngomong’ doang alias hanya ‘omdo’. Saya menyampaikan kepada mereka, bicara atau ngomong itu harus dilihat realitasnya. Bila seorang tukang bangunan pekerjaannya ngomong terus maka dijamin pekerjaannya tidak akan selesai. Sebab, pekerjaan dia menuntut pekerjaan fisik, bukan omongan. Berbeda dengan guru atau ustadz, misalnya. Bayangkan apa yang terjadi apabila sang guru atau ustadz tersebut tidak banyak bicara? Murid tidak mengerti. Masyarakat tidak paham akan hukum syariah Islam. Kemungkaran merajalela. Kezaliman terus berlangsung. Penguasa fajir pun tenang dalam melakukan kemaksiatannya.
Tidak aneh, Rasulullah saw. menyatakan, “Katakan kebenaran itu sekalipun pahit!”
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan sabda Nabi saw., “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan orang yang tegak berdiri di hadapan penguasa lalim, ia menasihati penguasa itu, lalu penguasa itu pun membunuh dirinya.”
Beliau memerintahkan kita untuk terus bicara selama apa yang disampaikan tersebut benar, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka bicaralah yang baik atau diam.” (HR al-Bukhari).
Bahkan Adh-Dhahak mengatakan, ‘As-Sâkitu ‘an al-haq syaythan akhras (Orang yang diam dari mengatakan kebenaran adalah setan yang bisu).”
Sekadar contoh, Kontes Miss World disenggarakan di Indonesia, mulai 8 sampai dengan 28 September 2013. Rencana awal, tempatnya di Bali, Jakarta dan Sentul Bogor. Persiapan sudah matang. Ketika itu tidak ada suara penentangan. Tidak ada yang bicara melawannya. Situasi berubah ketika para tokoh umat mulai bicara.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bersama dengan para tokoh dari berbagai organisasi Islam mengadakan temu tokoh sekaligus konferensi pers dua kali. Seruannya tegas, “Hentikan Kontes Miss World!”
Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mashadi, mengatakan, “Kontes Miss World ini hanyalah sebagian dari upaya menghancurkan umat Islam. Di belakangnya ada Cina perantauan yang berupaya untuk menguasai Indonesia, bukan sekadar politik melainkan juga budaya. Ini bukan sekadar masalah bikini.”
Sabili Raun dari al-Ittihadiyah berkata dengan geram, “Kontes kecantikan ini merupakan penghinaan terhadap perempuan. Ini merupakan upaya menciptakan manusia yang tidak beradab. Karenanya, wajib ditolak!”
Bahkan dengan nada keras, Eggi Sudjana menuding ajang Miss World ini berlangsung karena Presiden SBY diam. Presiden SIRI (Suara Indenden Rakyat Indonesia) ini menegaskan, “Secara hukum Miss World ini melanggar hukum. Yang harus bertanggung jawab adalah SBY. Dulu saja, ketika zaman Orde Baru, Presiden Soeharto menolak dengan alasan tidak sesuai dengan budaya Indonesia.”
Kaidah ‘Al-Muslim mir’ah al-muslim’ (Muslim adalah cermin bagi Muslim yang lain) berlaku. Saat penentangan mulai muncul, berba-gai kalangan dari umat Islam ini pun bereaksi dengan keras. Berbagai demonstrasi dilakukan. Istana Presiden, Menkokesra, dan kantor MNC Group sebagai pelaksana kontes ini menjadi sasarannya. Di berbagai daerah, kantor gubernur dan DPRD pun didatangi massa. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan berbagai organisasi lain, termasuk organisasi perempuan bersuara lantang. Statemen penolakan dan berbagai aksi penentangan muncul di mana-mana. Bukan hanya di Jakarta sebagai pusat pemerintahan melainkan juga di daerah. Aceh, Medan, Pekanbaru, Padang, Bandung, Semarang, Yogja, Surabaya, Kendari, Menado, Makassar, Ternate, hingga Papua. Bahkan, di Bali sendiri penentangan itu terdengar.
Hasilnya memang acara tersebut tidak batal. Namun, ada beberapa hal yang terjadi. Pertama, acara tersebut difokuskan di Bali. Acara di Jakarta batal. Puncak acara di Sentul Bogor dibatalkan. Hal ini diumumkan langsung oleh Menkokesra Agung Laksono. Sekalipun demikian, penentangan terus terjadi. Persoalannya bukan Bali, melainkan kontes itu harus batal di mana pun dilaksanakan.
Kedua, masyarakat menjadi mengerti apa sebenarnya hakikat dari Miss World tersebut. Ternyata kontes perempuan ini merupakan perbuatan haram di samping penjajahan budaya. Ketua DPP HTI, Rohmat S. Labib menegaskan: ‘Kontes Miss World ini merupakan penjajahan budaya. Secara ekonomi, kita dijajah. Secara politik, kita dijajah. Dan, secara budaya terus dijajah, termasuk dengan Miss World ini. Kalau ingin meningkatkan devisa tidak perlu ajang eksploitasi perempuan dengan dalih pariwisata. Ambil saja Freeport dan Newmont, kita akan memiliki uang yang banyak untuk rakyat. Tidak perlu kontes Miss World’. Dengan bicara, masyarakat juga menjadi mengerti bahwa kontes perempuan merapuhkan identitas Indonesia. Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj menulis dalam sebuah koran nasional bahwa konters ini tidak sesuai dengan identitas bangsa. Masyarakat pun menjadi tahu bahwa kontes yang dibalut dengan acara lomba bakiyak itu merupakan bisnis kotor. ‘Itu hanya upaya kotor para pebisnis agar dagangannya bisa laku, bisa laris. Maka dipakailah perempuan-perempuan cantik. Bahkan mereka juga suka memperdagangkan perempuan’, ujar Ketua Dewan Pakar PP Aisyiyah Nurdiati Akma. Bukan hanya itu, masyarakat menjadi paham bahwa hakikatnya ajang Miss World ini bertentangan dengan HAM. Komisioner Komnas HAM, Manager Nasution menegaskan: ‘Kontes Miss World bertentangan dengan HAM’. Hal senada disampaikan Mantan Komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming. Beliau menyatakan, ‘Yang namanya HAM harus meningkatkan derajat manusia. Tapi ini, justru menghinakan harkat dan martabat perempuan. Karenanya, ajang Miss World wajib dilarang.’ Dengan bicara, masyarakat yang sebelumnya tidak mengerti menjadi tahu bahwa pelaksanaan Miss World merupakan pelecehan terhadap para ulama. ‘Miss World jalan terus di tengah penentangan para ulama merupakan pelecehan terhadap para ulama,’ tegas Ketua MUI KH Muhyiddin Junaidi.
Selain itu, dengan bicara, rakyat tercerahkan bahwa acara ini merupakan contoh buruk bagi negeri Muslim lainnya. Dari 129 peserta, yang berasal dari negeri Muslim hanya 7 saja. Ketika Indonesia yang merupakan negeri Muslim terbesar ini menyelenggarakan Miss World maka akan menjadi dalih bagi negeri Muslim lain untuk mengikutinya. Padahal, Miss World Organization pemiliknya orang kafir. Penyelenggara di Indonesia pun orang kafir. Bahkan, peserta dari Indonesia pun nonMuslim. Namun, suara yang menggema di dunia atas nama negeri Muslim terbesar, Indonesia.
Jelaslah, dengan bicara, masyarakat menjadi paham. Dengan bicara, opini tentang Islam menjadi terbentuk. Dengan bicara, kemungkaran dilawan. Dengan bicara, kebenaran dapat diungkapkan. Dengan bicara, rakyat terdorong untuk menentang kemaksiatan. Jadi, bicaralah![]