Haji merupakan ibadah penyempurna rukun Islam yang dinantikan jutaan kaum Muslim sedunia. Tak jarang sebagian kaum Muslim rela menjual sawah atau harta apapun yang dimiliki demi ‘gelar’ haji. Lamanya masa penantian pergi ke tanah suci tidak membuat kuota jamaah haji surut.
Ibadah haji mengajari umat Islam untuk senantiasa taat kepada Allah, apapun latar belakangnya. Pakaian ihram mensejajarkan posisi umat Islam di hadapan Allah. Berdesakannya tawaf di Ka’bah, jauhnya perjalanan sa’i, teriknya wukuf di Arafah telah mendidik individu agar ikhlas, sabar dan tawakal. Jamaah yang ingin menjaga kemabrurannya selayaknya terus meningkatkan kualitas ketakwaannya di segala sisi kehidupan (Lihat: QS al-Hajj: 37).
Jika ibadah haji mampu mengubah kepribadian seseorang untuk bertakwa, maka sudah saatnya ibadah di Tanah Suci ini juga bisa mengubah wajah peradaban dunia dengan Islam sebagaimana yang telah Rasulullah contohkan. Ketika Rasulullah berhaji, beliau menjelaskan Islam sekaligus meminta dukungan kepada para kabilah seperti Bani Kilab, Bani Nadhir, Bani Amr Bin Sha’sha’ah dll. Demikianlah hingga datang perwakilan Suku Aus dan Khazraj untuk menerima Islam. Melalui Mush’ab bin Umair Islam cepat menyebar di Madinah. Pembesar Aus dan Khazraj sebagai ahlul quwwah pun memberikan nushrah (pertolongan) kepada Rasulullah lalu tegaklah Daulah Islam di Madinah.
Mengubah masyarakat berarti mengubah paradigma berpikir mereka, menyadarkan umat tentang hakikat hidup di dunia hanyalah dipersembahkan untuk terikat dengan aturan Allah, dan mencampakkan demokrasi sekaligus mengubahnya dengan sistem Islam. Tentu cara mengubahnya bukan dengan people power seperti masa reformasi di Indonesia yang miskin konsep, mengubah ‘casing’ penguasa lama dengan topeng baru mengikuti ‘dalang’ Amerika seperti di Tunisia dan Libya; bukan pula dengan memenangkan parlemen seperti Hamas di Palestina, FIS di Aljazair, Partai Refah di Turki, bahkan yang terbaru Ikhwanul Muslimin di Mesir. Semua revolusi tersebut telah dibajak oleh agressor Amerika. Kemenangan ini hanyalah semu belaka. Faktanya, kemenangan dalam demokrasi akan dikebiri jika keberadaannya mengganggu stabilitas kepentingan Amerika sebagai ‘ndoro’.
Jika tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan, maka perubahan menuju kebaikan menjadi harga mati, yaitu perubahan menuju penerapan syariah Islam secara kaffah. Hal tersebut hanya akan terwujud dalam institusi pemersatu umat berupa Khilafah.
Mengikuti metode kenabian merupakan cara jitu mengawal perubahan revolusioner. Ini meniscayakan adanya ahlul quwwah sebagai pemilik kekuasaan riil yang ikhlas memberikan nushrah demi tegaknya Khilafah. Semangat berjuang! [Teguh Afriyanto; Guru SDIT Insantama Bogor]