Walaupun Pemerintah telah mengeluarkan 4 paket kebijakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terus melemah. Senin (16/09/2013), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih melemah di posisi Rp 11.423. Melemahnya nilai rupiah dan nilai mata uang Asia lainnya seperti ruppe (India) terhadap dolar telah mengingatkan kita pada krisis finansial Tahun 1997. Dampak penurunan nilai rupiah juga menyebabkan gejolak pada sektor lain di antaranya harga kedelai. Dalam seminggu terakhir ini harga kedelai melambung tak terkendali. Harga kedelai telah menembus Rp 10 ribu perkilogram. Para produsen tahu dan tempe sempat melakukan aksi mogok karena tidak lagi mampu berproduksi dengan harga kedelai semahal itu.
Empat Paket Kebijakan
Menyikapi penurunan nilai rupiah, Pemerintah telah mengeluarkan 4 paket kebijakan baru. Pertama: memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar dengan mendorong ekspor dan keringanan pajak kepada industri tertentu. Kedua: menjaga pertumbuhan ekonomi. Pemerintah memastikan defisit APBN-2013 tetap sebesar 2,38% dan pembiayaan aman. Ketiga: menjaga daya beli. Keempat: mempercepat investasi. (Detikfinance, 26/08/2013) .
Kebijakan tersebut jelas tidak akan mampu menyelesaikan krisis sampai tuntas. Pasalnya, yang dilakukan Pemerintah hanya memberikan obat untuk menyembuhkan sementara waktu. Kebijakan memperbaiki defisit transaksi salah satunya dilakukan dengan melakukan revisi sementara terhadap Permen ESDM No. 7 tahun 2012 tentang larangan ekspor bahan baku mineral, Konsekuensinya, perusahaan-perusahaan mineral kembali bebas mengekspor bahan mentah ke luar negeri. Kebijakan ini dalam jangka pendek mungkin bisa mengurangi defisit transaski berjalan, tetapi dampak yang ditimbulkan justru lebih berbahaya dalam bentuk hilangnya jaminan ketersediaan bahan baku untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan dampak negatifnya terhadap lingkungan. Hal ini pernah menimpa industri rotan. Industri pengolahan rotan ini hampir bangkrut dan tentunya menyebabkan bertambahnya pengangguran karena kebijakan Pemerintah yang membebaskan ekspor langsung rotan.
Kebijakan ekonomi yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ala kapitalis sebenarnya juga telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Terbukti, walaupun Indonesia pernah mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang luar biasa—bahkan IMF dan Bank Dunia sempat memuji dengan menganggap calon macan Asia dan diramalkan bakal memindahkan arus ekonomi di Eropa ke Asian Tenggara, dengan pertumbuhan pada tahun 1996 sebesar 6%—hasilnya jauh dari harapan. Rakyat miskin tiap tahun terus bertambah di tengah pertumbuhan ekonomi yang selalu tinggi.
Kebijakan Pemerintah menjaga daya beli juga sulit diwujudkan. Pasalnya, banyak kebijakan Pemerintah justru mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakt seperti menaikan BBM, TDL dll. Adapun peningkatan investasi yang selama ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, faktanya lebih banyak merugikan dan menyengsarakan rakyat. Pasalnya, investasi asing pada hakikatnya adalah kedok baru bagi imperialisme di bidang ekonomi.
Ekonomi Kapitalis: Biang Krisis
Wapres Boediono menyatakan, “Jangan sebut rupiah melemah, tetapi dolar menguat.” Pernyataan ini sebenarnya bisa menyesatkan seolah-olah melemahnya nilai rupiah bukan akibat kebijakan ekonomi Indonesia. Padahal melemahnya nilai rupiah sebagai awal krisis moneter ini disebabkan oleh kebijakan ekonomi yang makin liberal. Bahkan kebijakan ekonomi Indonesia lebih liberal dibandingkan dengan negara kapitalis sekalipun.
Sistem ekonomi kapitalis ini dirancang sedemikian rupa oleh egara-negara Barat dengan tujuan untuk mempertahankan hegemoninya terhadap negara-negara berkembang. Di antara prinsip dan pola sistem kapitalis yang menyebabkan terjadinya krisis ini adalah: sistem perbankan dengan suku bunga; berkembangnya sektor non riil; utang luar negeri yang menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan; penggunaan sistem moneter yang tidak disandarkan pada emas dan perak; dan liberalisasi atau swastanisasi sumberdaya alam. Praktik ribawi, sejak masa Yunani Kuno, sebenarnya tidak disukai dan dikecam habis-habisan. Aristoteles mengutuk sistem pembungaan ini dengan mengatakan riba sebagai ayam betina yang mandul dan tidak bisa bertelur. Begitu juga ekonom modern, J.M. Keyness, mengkritik habis-habisan teori klasik mengenai bunga uang ini. Keynes beranggapan, perkembangan modal tertahan oleh adanya suku bunga uang. Jika saja hambatan ini dihilangkan, lanjut Keynes, maka pertumbuhan modal di dunia modern akan berkembang cepat.
Pada sektor non riil diperdagangkan mata uang dan surat-surat berharga. Sektor ini terus membesar dan segala transaksinya tidak berpengaruh langsung pada sektor riil (sektor barang dan jasa). Pertumbuhan yang ditopang dengan sektor ini akhirnya menjadi pertumbuhan semu. Secara angka ekonomi tumbuh tetapi tidak berdampak pada perekonomian secara riil dan perbaikan taraf ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, satu tahun terakhir, sekitar US$ 50 miliar hot money masuk ke pasar finansial lokal. Ini terjadi sejak Amerika Serikat menggelontorkan dana stimulus (quantitave easing) hingga sekitar US$ 2 triliun. Rezim devisa bebas yang dianut Indonesia membuat dana asing begitu mudah keluar masuk investasi Indonesia. PT Kustodian Sentral Efek Indonesia mencatat aset asing di Indonesia pada Juli lalu mencapai Rp 1.640 triliun atau US$ 164 miliar. Dana asing di Surat Berharga Negara (SBN) per 22 Agustus 2013 mencapai Rp 287,5 triliun atau setara US$ 28 miliar. Jika investasi di luar negeri lebih menarik, dalam waktu singkat bisa terjadi aliran modal ke luar negeri (capital outflow) yang bisa menyebabkan melemahnya nilai rupiah. Itulah di antaranya yang terjadi akhir-akhir ini. Selama tiga bulan terakhir, dana asing yang keluar US$ 23,5 miliar atau sekitar Rp 235 Trilyun. (http://fokus.kontan.co.id/news/ekonomi-indonesia-memang-rapuh) Adapun utang luar negeri, oleh para penjajah dijadikan sebagai salah satu alat penjajahan baru. Dengan utang, negara-negara berkembang terjebak dalam perangkap utang atau debt trape. Mereka terus dieksploitasi dan kebijakannya dikendalikan. Negeri ini, dari tahun 2000-2011, telah membayar pokok dan bunga utang yang totalnya lebih dari 1800 triliun rupiah. Namun nyatanya, total utang negeri ini tidak pernah berkurang, bahkan terus meningkat hingga lebih dari 2000 triliun rupiah pada saat ini. Ketika banyak utang luar negeri yang jatuh tempo secara bersamaan, mereka pun ramai-ramai mencari mata uang asing terutama dolar, dengan menjual rupiah. Akibatnya, kurs rupiah pun melemah. Semua itu diperparah oleh sistem moneter yang diterapkan di seluruh dunia saat ini yang tidak disandarkan pada emas dan perak. Uang akhirnya tidak memiliki nilai instrinsik yang bisa menjaga nilainya. Nilai nominal yang tertera ternyata sangat jauh berbeda dengan nilai intrinsiknya. Ketika terjadi penambahan uang baru melalui pencetakan uang baru atau penambahan total nominal uang melalui sistem bunga dan reserve banking, maka total nominal uang dan jumlah uang yang beredar bertambah lebih banyak, tak sebanding dengan pertambahan jumlah barang. Akibatnya, nilai mata uang turun dan terjadilah inflasi. Inflasi otomatis ini diperparah dengan kegagalan pemerintah memenej produksi dan pasokan barang, terutama bahan pangan, seperti yang terjadi saat ini.
Sementara itu, sumberdaya alam dikelola dengan cara diliberaliasasi dan privatisasi. Akibatnya, hampir sebagian besar SDA dikuasai oleh swasta, terutama asing, khususnya sumber energi. Menurut BPK, perusahaan asing menguasai 70 persen pertambangan migas; 75 persen tambang batu bara, bauksit, nikel, dan timah; 85 persen tambang tembaga dan emas; serta 50 persen perkebunan sawit (http://www.tempo.co/read/news/2013/07/31).
Liberalisasi juga terjadi pada sektor pangan. Selama 20 tahun terakhir, Pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Beberapa bentuk kebijakan yang telah diambil di antaranya: penghapusan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pokok. Hasil dari kebijakan itu adalah ketergantungan ketersediaan pangan terhadap pasar luar negeri, ketika rupiah melemah otomatis barang-barang impor juga mengalami kenaikan.
Solusi Tuntas Mengatasi Krisis
Satu-satunya cara untuk menyelesaikan krisis ekonomi ini secara tuntas adalah dengan mengembalikan penerapan sistem ekonomi Islam di tengah-tengah kehidupan kaum Muslim. Terkait faktor penyebab krisis di atas, sistem ekonomi Islam telah memberikan solusi dan pernah diterapkan selama kurang lebih tiga belas abad lamanya. Hasilnya adalah kemakmuran dan kesejahteraan yang dirasakan; bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh seluruh umat manusia yang ada pada saat itu.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan menghasilkan perekonomian yang stabil, jauh dari krisis, tumbuh secara hakiki dan berpengaruh riil pada taraf hidup masyarakat. Sistem ekonomi Islam menghilangkan dan mengatasai lima faktor utama krisis dan ketidakstabilan sistem ekonomi kapitalis itu.
Islam dengan tegas mengharamkan riba dengan segela bentuknya (QS al-Baqarah [2]: 275). Al-Quran menyebutkan, orang yang makan riba tidak bisa berdiri tegak. Hal itu mengisyaratkan sistem ekonomi yang dibangun berasaskan riba tidak akan tegak stabil; sebaliknya akan terus goyah bahkan diguncang krisis. Dengan menghilangkan riba, perekonomian akan stabil. Tanpa riba, perekonomian akan berjalan adil, fair dan jauh dari kezaliman, eksploitasi dan penjajahan.
Selain menghilangkan riba, sistem ekonomi Islam juga meniadakan sektor non riil. Dengan begitu, semua perputaran uang akan berdampak langsung pada berputarnya roda ekonomi riil. Pada gilirannya, ini akan berdampak langsung dalam kehidupan ekonomi riil masyarakat. Pertumbuhan yang dihasilkan pun akan menjadi pertumbuhan yang riil dan hakiki, tidak lagi semu. Pertumbuhan akan bisa dilihat pada peningkatan kemakmuran rakyat.
Kestabilan ekonomi ini akan diperkokoh lagi dengan sistem moneter Islam dengan pemberlakuan mata uang yang berbasis emas dan perak, atau dinar dan dirham. Mata uang ini memiliki nilai instrinsik sehingga nilainya stabil. Selain itu, mata uang difungsikan benar-benar sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi yang bisa menjadi bulan-bulanan para spekulan. Dengan demikian nilai tukarnya akan stabil.
Semua itu akan menghasilkan kemakmuran bagi masyarakat. Kemakmuran ini akan makin besar dengan pengelolaan SDA sesuai syariah. SDA yang menjadi kebutuhan bersama masyarakat seperti air, padang rumput, hutan, barang tambang dan energi—serta SDA yang tabiat pembentukannya tidak bisa dimiliki secara pribadi seperti sungai, laut, selat, danau, dsb—semua itu ditetapkan sebagai milik umum. Karena itu tidak boleh diprivatisasi dan harus dikelola negara. Hasilnya secara keseluruhan dikembalikan kepada rakyat. Jadi, penerapan sistem ekonomi Islam secara total akan memberikan kestabilan dan kemakmuran bagi semua rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. []