Membaca sejarah perkembangan Islam di tanah Minang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan peran strategis Masjid Raya Ganting. Masjid yang terletak di Jalan Ganting 3, Kelurahan Ganting Pasra Gadang, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang, merupakan bangunan ibadah tertua di wilayah Sumatra Barat. Masjid ini didirikan pada tahun 1810 atas kerjasama tiga ulama dan saudagar di Padang (Gapuak, Syaikh Haji Uma, Syaikh Kepala Kota), pemerintah Belanda serta saudagar China. Gapuak merupakan saudagar di Pasar Gadang, Syaikh Haji Uma berfungsi sebagai pimpinan kampung, sementara Kepala Kota merupakan ulama yang sangat berpengaruh.1
Peran strategis masjid ini, selain dipakai tempat peribadatan sebagaimana umumnya masjid, juga menjadi basis perjuangan umat Islam dalam mengembangkan syiar Islam dan melawan penjajah. Sebelum Perang Padri, tepatnya pada 1918, para ulama Minangkabau menggelar pertemuan di Masjid Raya Ganting. Mereka membahas langkah-langkah yang akan ditempuh untuk memurnikan ajaran Islam dari pemahaman mistik dan khurofat. 2
Pada 1921, Syaikh H. Karim Amarullah (1879-1945), ayah Prof. Haji Abdul Karim Amarullah (Hamka), tokoh pembaruan Islam, mendirikan Madrasah Sumatera Thawalib di Padangpanjang. Sebagaimana di kota lain, tahun berikutnya, madrasah serupa berdiri di Masjid Raya Ganting. Alumni sekolah inilah yang kemudian mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia, yang menjadi cikal-bakal Partai Masyumi.3
Pada perkembangannya, Masjid Raya Ganting tidak hanya dijadikan sebagai pusat syiar Islam di Minang. Masjid tersebut juga pernah menjadi markas besar Gyugun (perwira militer yang anggotanya terdiri dari alim ulama) dan Heiho (pasukan pembela tanah air yang prajuritnya berasal dari santri) untuk wilayah Sumatera Barat dan Tengah. Selama pendudukan Jepang (1942-1945), Masjid Raya Ganting menjadi basis pembinaan prajurit Gyugun dan Hei Ho. Kala Jepang kalah, Sekutu masuk membawa Gurka, tentara sewaan Inggris, dan bermarkas di Balai Kota Padang. Terjadi perkelahian antara Gurka India yang Muslim dan non-Muslim. Yang Muslim tewas. Para pemuda Ganting menerobos masuk ke kamp Sekutu, membawa jenazah korban ke masjid. Jenazah dimandikan dan disalatkan, lalu dimakamkan di halaman belakang masjid. Simpati pada aksi itu, seluruh Gurka dari India Muslim membelot. Menggunakan truk militer, mereka bergabung ke markas Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Masjid Raya Ganting. Atas bantuan mereka pula, TRI melumpuhkan serangan Sekutu di Ulugadut, dekat pabrik semen Indarung.4
Dari masjid tersebut mereka mengatur strategi penyerangan mempertahankan kemerdekan. Peristiwa penyerangan ke Tangsi (barak, asrama) militer Inggris dari Kesatuan Gurkha juga diatur dari masjid Ganting.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, saat itu Soekarno yang ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan oleh Belanda ke Kota Cane (Aceh). Namun, ketika rombongan pasukan Belanda baru sampai di Painan, tentara Jepang sudah sampai di Bukittinggi. Belanda mengubah rencana semula dengan mengungsi ke Barus dan meninggalkan Bung Karno di Painan.
Selanjutnya oleh Hizbul Wathan yang bermarkas di Masjid Raya Ganting saat iru, Bung Karno dijemput ke Painan untuk dibawa ke Padang dengan menggunakan kendaraan pedati. Selama beberapa hari Soekarno menginap di rumah Pengurus Masjid Raya Ganting. Beberapa hari kemudian Bung Karno dibawa ke Padang. Jepang menemui Syaikh Abbas Abdullah, pimpinan Madrasah Darul Funuun El-Abbasyi di Kabupaten 50 Kota untuk membahas dasar-dasar negara Indonesia sebagai langkah persiapan untuk kemerdekaan negara Indonesia.5
Selain peran penting di atas, Masjid Ganting juga berperan dalam pemberangkatan jama’ah haji di jaman penjajahan Belanda. Masjid Raya Ganting pernah menjadi tempat embarkasi haji, tepatnya embarkasi haji pertama untuk wilayah Sumatra bagian tengah. Fungsi sebagai embarkasi haji mulai dijalankan masjid ini pada 1885. Di sini, para calon jamaah haji mendapat bimbingan manasik haji sebelum diberangkatkan ke Tanah Suci melalui pelabuhan Emmahaven atau yang kini dikenal sebagai Teluk Bayur. 6
Orang pertama yang memberikan bimbingan manasik haji di masjid Raya Ganting adalah Syaikh Abdul Hadi. Beliau berasal dari Arab Saudi. Konon, Syaikh Abdul Hadi sempat bermukim di Minang dalam waktu lama dan menikah dengan wanita Minang.
Pengangkutan jamaah haji melalui pelabuhan Teluk Bayur memang sangat tinggi saat itu. Begitu juga pengangkutan batubara, hasil perkebunan dan barang dagangan lainnya. Bagi Belanda, pelabuhan ini tak kalah penting dengan Tanjung Priok untuk menghubungkan daratan Hindia Belanda dengan berbagai tempat tujuan dagang di sekitar Samudra Hindia, Laut Merah dan Teluk Persia. []
Catatan kaki:
1 http://ramadan.okezone.com/read/2008/09/04/67/142884/redirect
2 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/10/29/mcnn7s-masjid-raya-ganting-embarkasi-pertama-di-sumatra-tengah-2
3 http://arsip.gatra.com/2005-10-31/majalah/artikel.php?pil=23&id=89794
4 Ibidem.
5 http://www.padangtourism.info/index.php?tourism=destinations&id=59
6 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/10/29/mcnm25-masjid-raya-ganting-embarkasi-pertama-di-sumatra-tengah-1