HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Tarik-ulur Intervensi AS Di Suriah

Semestinya intervensi militer Amerika Serikat (AS) di Suriah tinggal menunggu waktu. Namun, alotnya persetujuan baik dari Senat dan Kongres di dalam negeri maupun persetujuan dari sekutu-sekutunya untuk mendukung serangan, menjadikan rencana serangan ini masih menunggu waktu dan momen yang tepat.

Politik “pembiaran” yang selama ini dilakukan AS sepertinya tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan kepentingan AS di Suriah. Awalnya AS memiliki alasan kuat untuk memulai serangan dengan adanya dugaan penggunaan senjata kimia oleh rezim Bashar Assad. Alasan ini sebetulnya sangat absurd. Pasalnya, semestinya kematian korban dari penggunaan senjata kimia ini diletakkan pada porsi yang sama dengan kematian para korban akibat drum-drum bahan peledak, rudal Scud, artileri atau tank, juga alat-alat pembunuhan dan penyiksaan yang lainnya yang digunakan oleh pasukan Bashar dan sekutu-sekutunya yang terjadi sebelumnya.

Namun, memulai agresi militer ke Suriah ternyata menjadi dilema bagi Amerika Serikat. Bisa jadi hal ini disebabkan karena pengaruh politik riil sejak masa Hafezh Assad dan kini anaknya, Bashar, adalah pengaruh Amerika Serikat. Rezim ini telah sedemikian rupa selalu merealisasi kepentingan-kepentingan Amerika di kawasan Timur Tengah, menjaga keamanan entitas Yahudi, bukan hanya pada batas pendudukan 1948, bahkan begitu juga di Golan yang diduduki tahun 1967. Ketika terjadi revolusi rakyat di Suriah dan terus meningkat eskalasinya, dan kemudian Bashar tidak mampu mengembalikan keadaan seperti dulu, akhirnya Amerika paham bahwa diktator Syam, anteknya, telah jatuh. Maka dari itu, perhatian Amerika berikutnya adalah menjamin antek pengganti setelah Bashar. Amerika pun sungguh-sungguh dan mendirikan Dewan dan Koalisi Nasional. Akan tetapi, Amerika belum mampu membentuk akar di dalam negeri bagi Dewan dan Koalisi Nasional. Amerika khawatir orang-orang revolusioner bisa menjungkalkan diktator sebelum penggantinya siap dan posisinya ditempati oleh kekuatan yang tidak bisa dikendalikan oleh Amerika.

Amerika telah memberikan tenggat demi tenggat kepada Bashar dengan berbagai rencana melalui Liga Arab dan PBB. Amerika membentuk para pengamat, mengadakan pertemuan di sana-sini tanpa keputusan, tidak lain untuk mengulur waktu supaya bisa memasarkan ‘boneka’-nya yang tinggal di luar negeri, sehingga masyarakat menerima mereka sebagai penguasa di dalam negeri.

Apalagi, yang mengejutkan Amerika adalah bahwa yang dominan di dalam negeri Suriah pada revolusi ini adalah kuatnya sentimen keislaman. Propaganda AS seolah hancur oleh seruan-seruan dan teriakan-teriakan masyarakat yang menyerukan Islam dan Khilafah. Slogan sekular dan pro ide kebebasan Barat pun tenggelam meski selalu mendapat fokus peliputan secara luas di media massa. Inilah yang menyebabkan mengapa pertimbangan agresi militer Amerika Serikat ke Suriah seolah terus-menerus mengalami tarik-ulur.

Serangan Terbatas Terhadap Suriah

Agresi militer suatu negara ke negara lain adalah terlarang berdasarkan prinsip yang dibangun dalam Piagam PBB. Kalaupun akhirnya dilakukan, harus ada alasan kuat yang dapat dijadikan justifikasi serangan tersebut. Biasanya alasan yang ‘dibenarkan’ adalah alasan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan (crimes against humanity), kemudian serangan dilakukan secara bersama-sama (serangan multilateral) dengan mandat setidaknya dari Dewan Keamanan PBB.

Sebelumnya, peristiwa serangan senjata kimia di Ghouta seolah-olah menjadi blessing in disguise bagi AS untuk memulainya sebagai belli case dalam intervensi militernya di Suriah. Seperti dulu terhadap Irak, walau tanpa mandat PBB dan terbukti keliru, AS seolah mendapat justifikasi untuk dapat melakukan agresi militer terhadap Suriah.

Namun demikian, dengan skala serangan yang belum tergambar dengan matang, juga karena AS masih memiliki dua daerah perang yang belum tuntas (di Afganistan dan di Irak), maka pilihan intervensi langsung dengan mengerahkan pasukan daratnya adalah pilihan yang berat dan penuh risiko. Apalagi bila dukungan dari sekutunya minim. Pilihan rasionalnya adalah melakukan serangan terbatas, serangan via udara, melumpuhkan kekuatan inti penghancur dari Bashar Assad sembari menyiapkan langkah-langkah politik diplomatis melalui antek-anteknya untuk membangun rezim baru yang tetap menjaga kepentingan politik Amerika Serikat di negeri jendela Arab ini.

Serangan terbatas juga terlihat lebih “manusiawi” dan dapat diterima dunia internasional dengan alasan menghentikan kebiadaban Bashar Assad yang telah merusak nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak menimbulkan korban yang lebih besar.

Serangan udara terbatas ini mungkin akan dilakukan melalui aliansinya dengan NATO. Fakta ini jelas diucapkan oleh Jenderal Dempsey, Kepala Pasukan Gabungan Amerika Serikat, “Ini adalah keyakinan saya bahwa [pihak oposisi] yang kita pilih harus siap mempromosikan berbagai kepentingan mereka dan kepentingan-kepentingan kita ketika keseimbangan menguntungkan mereka. Saat ini, mereka tidak siap.”

Washington Post 28 Agustus mengungkap bahwa aksi serangan itu penentuan waktunya bersandar pada tiga faktor. Pertama: analisis intelijen tentang sejauh mana kekuatan pemerintah Suriah. Kedua: konsultasi yang sedang berlangsung dengan sekutu dan Kongres. Ketiga: penentuan justifikasi serangan di bawah Hukum Internasional.

Tentang tujuan serangan, AS mengumumkan bahwa serangan itu sebagai sanksi pendisiplinan akibat penggunaan senjata kimia oleh Bashar, bukan untuk mengubah rezim. Pejabat senior di kementerian luar negeri Amerika mengatakan bahwa serangan senjata kimia memperlihatkan perlunya “solusi politis yang menyeluruh dan permanen” untuk menghentikan krisis Suriah.

Baik AS maupun Inggris telah berusaha keras untuk menjelaskan bahwa setiap rencana serangan terhadap Suriah adalah terbatas dan tidak akan mencakup pergantian rezim. Jay Carney, Sekretaris Pers Gedung Putih pada tanggal 27 Agustus mengatakan, “Saya ingin memperjelas bahwa opsi yang kita sedang pertimbangkan bukanlah tentang pergantian rezim. melainkan tentang tanggapan atas pelanggaran yang jelas atas standar internasional yang melarang penggunaan senjata kimia.”

David Cameron, Perdana Menteri Inggris, membuka perdebatan mengenai intervensi itu dengan mempertegas tujuan-tujuan Inggris. Dia mengatakan, “Hal ini bukanlah tentang mendukung salah satu pihak yang berkonflik, bukan tentang invasi, bukan tentang pergantian rezim atau bekerja lebih erat dengan pihak oposisi. Hal ini adalah tentang penggunaan senjata kimia berskala besar dan bagaimana tanggapan kita terhadap kejahatan perang, bukan yang lain.”

Karena itu, bisa diprediksi bahwa serangan itu akan bersifat terbatas yang sudah diperhitungkan, yang bisa mengantarkan pada lumpuhnya infrastruktur militer utama agar terbentuk Suriah baru yang sesuai dengan keinginan Amerika Serikat dan sekutunya.

Mendorong Bashar Assad dan Oposisi ke Jalan Perundingan (Konferensi Jenewa II)

Tentu, serangan militer harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah politis. Ketika kekuatan Bashar Assad melemah, atau setidaknya ada keseimbangan kekuatan antara Bashar Assad dan pihak oposisi, maka mesti ada upaya ‘rekonsiliasi’ yang dapat meredakan konflik dengan tetap menjaga kepentingan Amerika Serikat di Suriah. Perundingan adalah langkah ‘elegan’ dan ‘terhormat’ untuk dapat menyelesaikan konflik. Persoalannya adalah apa kesepakatan-kesepakatan yang dapat memuaskan semua pihak?

Konflik Suriah lahir dari Arab Spring yang ‘sejiwa’ dengan revolusi lainnya di kawasan Timur Tengah. Inti persoalannya adalah rezim diktator yang berkuasa yang menzalimi rakyat, dan rakyat ingin rezim ini digulingkan, digantikan dengan penguasa baru yang dapat menjamin kesejahteraan dan partisipasi politik rakyat. Konferensi Jenewa II telah melahirkan berbagai ‘tawaran’ untuk dapat menyelesaikan konflik.

Konferensi ini bertujuan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sementara di Suriah terlepas “pihak mana yang memiliki kendali besar di medan perang”. Apalagi dalam pandangan Khawla Mattar, Juru Bicara Akhdar Ibrahimi dalam sebuah jumpa pers di Jenewa, bahwa ia percaya serangan kimia yang diduga terjadi di Suriah harus mempercepat persiapan untuk mengadakan konferensi perdamaian internasional di Jenewa, “dan harus membuktikan kepada dunia bahwa tidak ada solusi militer”.

Agresi militer ini pastinya tidak akan menghancurkan rezim Bashar al-Assad, tetapi akan menariknya ke meja perundingan Jenewa II secara paksa. Diduga kuat akan terjadi “pengunduran diri presiden Suriah di akhir perundingan dan sebagai hasil dari perundingan itu”.

Bashar Mundur, Terbentuk Pemerintah Baru yang Menjaga Kepentingan AS

Serangan terbatas dalam skala tertentu dapat mendorong Bashar Assad untuk mundur. Hal ini terjadi bila Bashar Assad benar-benar kehilangan kekuatannya, atau melalui serangan tersebut Bashar dapat ditangkap dan dikriminalisasi seperti Saddam Husein baik oleh Amerika Serikat secara langsung atau melalui anteknya yang menjadi pihak oposisi di Suriah.

Post power di Suriah pastinya akan diisi dengan pola demokratisasi melalui proses Pemilu yang diharapkan dapat memunculkan penguasa baru yang ‘demokratis’ pilihan rakyat. Tentu, AS tidak ingin, munculnya penguasa baru di Suriah dibayar dengan hilangnya pengaruh AS di sana. Harus dapat dijamin bahwa penguasa baru yang terpilih nantinya adalah penguasa yang dapat dikontrol AS untuk dapat menjaga segala kepentingannya. Model Afganistan dan Irak bisa diberlakukan di Suriah.

Semua memahami AS berupaya sekuat mungkin mempertahankan rezim al-Assad (termasuk Bashar Assad jika mungkin) dengan beberapa wajah baru dalam kepemimpinan. Menteri Pertahanan AS Leon Panetta mengakui hal ini pada tahun 2012, “Saya pikir itu penting pada saat Assad hengkang—dan  dia akan heng-kang—untuk mencoba menjaga stabilitas negara itu. Cara terbaik untuk mempertahankan stabilitas adalah dengan mempertahankan sebanyak mungkin militer, polisi, sebanyak yang bisa Anda lakukan, bersama dengan pasukan keamanan, dan berharap bahwa mereka akan melakukan transisi ke suatu bentuk pemerin-tahan yang demokratis. Itulah kuncinya. “

Rezim Assad telah mengamankan berbagai kepentingan AS selama 43 tahun terakhir. AS masih memerlukan rezim Assad. Pasalnya, sudah sangat sulit bagi AS untuk menemukan sekutu di dalam pasukan oposisi Suriah yang dapat mengamankan kepentingannya sebagai pengganti rezim Assad.

Penggantian rezim telah berulang diupayakan. Dewan Nasional, lalu Koalisi Nasional, telah dibentuk dengan memunculkan tokoh yang pro Barat. Dalam pertemuan di Qatar, kelompok-kelompok oposisi Suriah mengangkat ulama Islam moderat, Ahmad Muadz al-Khatib, sebagai pemimpin, yang didampingi oleh dua wakil presiden. Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, membahasakan bahwa pembentukan koalisi adalah langkah penting untuk mewujudkan kekuatan oposisi yang mencerminkan keberagaman masyarakat Suriah. Pemerintah AS di Washington mendukung organisasi tersebut dan menegaskan kesiapan untuk bekerjasama. “Kita mendukung keinginan Koalisi Nasional mengakhiri kekuasaan berdarah dari pemerintah Assad di Suriah. Kami ingin melihat upaya untuk mewujudkan Suriah yang damai, adil dan demokratis segera dimulai,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Mark Tonner, dalam pernyataan tertulis.

Namun demikian, Dewan Nasional Suriah (SNC) telah kehilangan banyak popularitasnya di dalam internal Suriah. Banyak pula terjadi perbedaan di antara anggotanya. Qadmani adalah salah satu tokoh yang menimbulkan perdebatan akibat dari sikap dan pernyataannya. Akibatnya, sejumlah aktivis, para pejuang revolusi Suriah dan Syaikh Adnan Ara’ur benar-benar menyerangnya dengan keras karena perkataannya, “Kita membutuhkan Israel.”

Menjadikan Pejuang Islam Musuh Bersama

Patut dipertanyakan dari rencana serangan AS ke Suriah adalah mengapa baru sekarang rencana itu mau dilakukan? Mengapa tidak sedari dulu? Apakah jumlah korban yang hampir mencapai 100.000 orang tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan intervensi terhadap Suriah; untuk menggulingkan rezim Bashar Assad yang sedemikian kejam itu? Mengapa harus menunggu alasan adanya senjata kimia yang korbannya ‘hanya’ 1700-an saja?

Fakta yang terungkap adalah saat ini kondisi Bashar Assad sudah semakin melemah. Kekuasaannya sudah sampai di ujung tanduk. Padahal Bashar Assad sudah melibatkan Hizbullah untuk turut membantu dia melawan para pejuang revolusi. Bahkan dukungan Iran sudah semakin kentara dengan bantuan militernya. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa rezim Bashar Assad sudah sampai di penghujungnya.

Dalam kondisi seperti ini, tidak ada cara lain bagi semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap Suriah, terutama AS, untuk segera mencari berbagai cara untuk ‘membajak’ revolusi rakyat Suriah. Pasalnya, bila rakyat benar-benar dibiarkan mencapai tujuan revolusinya maka hal ini akan sangat membahayakan AS.

Masuknya Hizbullah dalam konflik dalam 6 bulan terakhir dan intervensi Iran memastikan rezim al-Assad tidak runtuh. Namun, meskipun rezim mendapat keuntungan di Damaskus, kekuatan-kekuatan oposisi telah melancarkan serangan besar, yang memasuki banyak wilayah yang dikuasai pemerintah dan mendapatkan tanah baru. Banyak wilayah di Timur Damaskus berada di bawah kendali pasukan pejuang. Pertempuran untuk memperebutkan Damaskus Selatan pun terus berlanjut. Dengan pertempuran yang sedang terjadi di ibukota negara, rasa putus asa al-Assad diungkapkan dengan serangan kimia baru-baru ini yang ditargetkan pada wilayah Ghoutia, yang merupakan pinggiran Damaskus Timur.

Kelompok pejuang saat ini menguasai lebih banyak wilayah dari tangan al-Assad, namun wilayah kritis tetap dalam tangan rezim. Sungguh ironis bahwa saat pasukan pejuang membuat kemajuan di Damaskus, pembicaraan intervensi Barat berpusat pada pertanyaan kapan al-Assad hengkang.

Inilah yang mengindikasikan bahwa kemungkinan intervensi oleh Barat akan dilakukan ketika kelompok-kelompok pejuang Islam sudah hampir menggulingkan rezim Bashar. [Dari berbagai sumber; Budi Mulyana, S.IP, M.Si; (Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Unikom Bandung)].

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*