Menjelang perhelatan puncak APEC CEO Summit 5-7 Oktober 2013 di Nusa Dua, Bali, di tempat yang sama telah digelar APEC Women and The Economic Forum 2013 pada 6-8 September 2013 lalu. Acara yang dihadiri 820 anggota delegasi dari 20 negara ekonomi APEC bertema sangat provokatif, ‘Women as Economic Drivers’. Dalam forum itu Cathy Russell, Duta Besar Amerika Serikat untuk Global Women’s Issues memaparkan bahwa penelitian membuktikan, ketika perempuan berpartisipasi secara ekonomi—baik sebagai pekerja atau pengusaha—maka ekonomi akan tumbuh dan kemiskinan akan berkurang. Ini karena perempuan biasa menginvestasikan pendapatan mereka untuk meningkatkan standar hidup anak-anak mereka dalam pendidikan dan kesehatan.
Menteri Perempuan, Perlindungan Pemberdayaan dan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, pada pidato pembuka acara tersebut menegaskan keikutsertaan Indonesia dalam Equal Future Partnership, sebagai media untuk mempercepat pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, politik nasional dan global. Hal ini selaras dengan salah satu bahasan dalam pertemuan pemimpin negara dalam APEC 2010 yang menyebut kaum perempuan sebagai pemegang kunci strategis dalam pembangunan. Singkatnya, kemajuan dan kesejahteraan bangsa amat bergantung pada kontribusi total perempuan.
Arah Pemberdayaan Perempuan Indonesia
Barat amat menyadari potensi perempuan. Dua tahun lalu Hillary Clinton—saat mengawali pertemuan APEC High-Level Policy Dialogue on Women and the Economy di San Francisco, California 16 September 2011—memaparkan bahwa membuka potensi perempuan dengan mempersempit kesenjangan gender dapat menyebabkan kenaikan 14 persen pendapatan perkapita pada tahun 2020 di negara APEC, termasuk Cina, Rusia, Indonesia, Filipina, Vietnam dan Korea. Karena itu pada 24 September 2012, Hillary Clinton meluncurkan the Equal Futures Partnership (EFP) bersama 12 negara pendiri termasuk Indonesia. “Women are integral part of Indonesian success,” demikian pujian mantan Direktur Eksekutif UNWomen, Michelle Bachelet di hadapan publik Jakarta, 3 Desember 2012. Dia menyatakan, dengan membuka potensi ekonomi perempuan melalui kesempatan dan kesetaraan, diproyeksikan ekonomi Indonesia bisa melompat ke ketujuh terbesar di dunia pada 2030.
Pemberdayaan (empowerment) perempuan Indonesia menjadi konsekuensi yang harus ditanggung Pemerintah saat meratifikasi berbagai kovenan gender yang diinisiasi PBB. Hasil permufakatan gender global dan regional juga ikut memaksa Indonesia menerapkan agenda itu. Equal Futures Partnership merupakan inisiatif global untuk mendorong pertumbuhan inklusif dengan cara meruntuhkan halangan terhadap partisipasi politik perempuan dan pemberdayaan. Dengan konsep tersebut, beberapa negara dapat bersama-sama membuat rencana aksi yang mampu menggerakkan negara-negara di seluruh dunia untuk mendorong perempuan berpartisipasi dalam bidang politik dan mendapatkan akses ekonomi.
Sesungguhnya perempuan Indonesia sedang berada pada jalur kapitalisasi dan demokratisasi. Setidaknya hal itu tercantum dalam Laporan Tahunan United Nations Development Programme (UNDP) in Indonesia tahun 2011/2012. Prakata UNDP Resident Representative, El-Mostafa Benlamlih, menyatakan bahwa Indonesia telah membuat langkah signifikan terhadap pembangunan masyarakat yang adil, makmur dan demokratis. UNDP yang mendampingi Pemerintah selama 35 tahun menilai, tahun 2011 Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang mengesankan yakni mencapai tingkat tertinggi dalam 12 tahun. Demokrasi pun terus menunjukkan kematangan dalam waktu 13 tahun setelah reformasi. Demi memastikan Indonesia tetap on the track, proyek UNDP di Indonesia terfokus pada empat program utama. Dua di antaranya adalah mempromosikan pemerintahan demokratis dan mengurangi kemiskinan.
Agenda mengentaskan kemiskinan tidak lepas dari implementasi program Millenium Development Goals (MDGs). A Roadmap to Accelerate Achievement of the MDGs in Indonesia tahun 2010 yang dikeluarkan BAPPENAS menyebutkan bahwa dalam meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang dipercepat melalui pencapaian MDGs, peran berbagai komunitas, terutama kelompok perempuan, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, penyediaan bersih air dan lingkungan hidup.
Target utama MDGs untuk memberantas kemiskinan akan dicapai dengan memfasilitasi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Hal itu sejalan dengan komitmen Indonesia dalam EFP yang akan memperluas akses keuangan dan mengembangkan kapasitas perempuan dalam UMKM, serta akan mereformasi hukum dan kebijakan khusus untuk memperluas kesempatan ekonomi yang sama bagi perempuan. Kondisi itu amat beralasan karena Menteri Linda menyampaikan bahwa lebih dari 60 persen pelaku UMKM Indonesia adalah perempuan. Bisa dibayangkan, perempuan Indonesia memang menjadi sasaran empuk untuk diberdayakan. Apalagi pada tahun 2012, ada sekitar 6 juta keluarga yang dipimpin oleh seorang perempuan sebagai kepala keluarganya. Tragisnya, jumlah itu meningkat rata-rata 14 persen pertahun.
Argumen Palsu Pegiat Gender
Para pegiat kesetaraan gender selalu berdalih bahwa pemberdayaan perempuan akan menempatkan perempuan dalam posisi mandiri sekaligus menghilangkan diskriminasi atas dirinya. Perempuan diposisikan sebagai pejuang keluarga karena menggunakan pendapatannya demi mensejahterakan keluarganya, termasuk berperan sebagai pencari nafkah utama (breadwinner). Bahkan perempuan memiliki kontribusi penting dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara. Demi tujuan itu, mereka menciptakan definisi ‘kekerasan ekonomi ringan’. Seseorang terkena delik itu bila dia melakukan upaya-upaya sengaja sehingga menjadikan korban (perempuan) bergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya. Bukankah hal ini menjadi legalitas bagi perempuan untuk memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri?
Sayang, perjuangan pembebasan perempuan dari himpitan ekonomi dan diskriminasi hanyalah argumen palsu yang dijajakan para feminis. Sejarawan Bernard Lewis dalam bukunya, The Middle East, menyingkap faktor utama dalam program emansipasi perempuan adalah kebutuhan ekonomi, yakni kebutuhan akan tenaga kerja perempuan. Melalui parameter pencapaian MDGs, khususnya tujuan pencapaian pendidikan dasar serta mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, negara diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja perempuan sesuai tuntutan pasar. Realitasnya, memperkerjakan perempuan bukan sekadar mengakomodir jargon kesetaraan gender. Hitung-hitungan ekonomilah yang dijadikan sebagai alasan utama pemanfaatan jasa mereka.
Indonesia dianggap oleh Barat sebagai kekuatan ekonomi baru. White Paper 2012—dokumen Pemerintah Australia yang dirilis 28 Oktober 2012—bertajuk Australia in the Asian Century membuktikan hal itu. Alasan utama strategi kebijakan luar negeri Australia yang ingin merapat ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia, tak lain terletak pada perkiraan dalam 20 tahun ke depan Asia menjadi rumah bagi mayoritas kelas menengah dunia. Pemilihan Indonesia sebagai salah satu anggota G-20—bukan Malaysia atau Singapura—jelas memperhitungkan aspek strategis yang dimiliki Indonesia. Setidaknya faktor pasar raksasa menjadi jaminan aliran uang bagi bisnis korporasi Barat, selain ketersediaan tenaga kerja—termasuk perempuan—yang murah-meriah.
Di sisi lain, Nicholas Rockefeller—seorang penasihat RAND—menyatakan tujuan kesetaraan gender adalah untuk mengumpulkan pajak publik 50% lebih dalam rangka mendukung kepentingan bisnis. Survei Boston Consulting Grup (BCG) menyimpulkan bahwa secara global perempuan akan mengontrol 15 triliun dolar untuk belanja pada tahun 2014. Pada tahun 2028, BCG mengatakan perempuan akan bertanggung jawab bagi dua-pertiga belanja konsumen di seluruh dunia. Di Indonesia, perempuan memegang 65 persen keputusan konsumsi sehingga sedikitnya 300 miliar dolar AS konsumsi diputuskan oleh kaum perempuan.
Hasil survei Economist Intelligence Unit dalam laporan berjudul, “Women’s Economic Opportunity 2012,” menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-85 dari 128 negara yang disurvei menyangkut peluang ekonomi bagi perempuan. Perempuan menjadi pasar potensial bagi komoditas Barat jika mereka memiliki usaha sendiri. Karena itulah semua pihak berkepetingan menyukseskan pemberdayaan UMKM perempuan.
Makin terungkap nyata bahwa tujuan semua permufakatan bisnis yang disokong implementasi ide-ide gender adalah demi kepentingan Blok Barat yang ingin menguatkan liberalisasi perdagangan. Peran serta UMKM hanya dibutuhkan dalam rantai supply bisnis mereka, bukan memakmurkan perempuan, apalagi segenap bangsa. Realitas yang terjadi sesungguhnya adalah upaya massif eksploitasi perempuan sebagai obyek ekonomi dan finansial.
Esensi Peran Perempuan
Perempuan memang memiliki peran penting dalam kehidupan suatu bangsa. Namun, dalam bingkai ideologi Kapitalisme, peningkatan peran perempuan justru fokus pada peran publik dan peran ekonominya. Padahal sesungguhnya peran perempuan yang utama adalah sebagai ibu dan pendidik generasi. Saat ini justru peran alami inilah yang tergeser dan teralihkan melalui pemberdayaan ekonomi perempuan. Padahal penghapusan kemiskinan tak cukup dengan memberdayakan perempuan saja. Pasalnya, kemiskinan adalah masalah global akibat ketimpangan akses ekonomi yang dihadapi si lemah versus si kuat, baik dalam tataran negara, masyarakat ataupun individu.
Parahnya, arus pemberdayaan yang dikembangkan lembaga global, pemerintah dan pegiat genser justru menarik para ibu untuk ikut mencari nafkah; baik karena keterpaksaan akibat kemiskinan maupun terpikat dengan isu pemberdayaan perempuan. Akibatnya, ibu tidak optimal menjalankan fungsinya dalam pembentukan karakter positif. Fatalnya, negara pun abai dalam fungsi ini. Negara justru sibuk memperhatikan kepentingan para kapitalis untuk meraih keuntungan materi dan duniawi semata, yang ternyata makin melemahkan fungsi keluarga.
Boleh saja perempuan memiliki penghasilan sendiri, namun bukan diposisikan sebagai pencari nafkah utama. Pendek kata, pemberda-yaan perempuan tak mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi secara tuntas, apalagi mensejahterakan. Alasannya, karena masyara-kat, termasuk kaum perempuan, akan tetap berhadapan dengan problem klasik kapitalistik: pendidikan mahal, biaya kesehatan yang tak terjangkau, inflasi, kenaikan harga TDL dan BBM, transportasi berbiaya tinggi, ketidakadilan sistem, dan sebagainya. Penyelesaian yang akan menuntaskan problem kemiskinan hanyalah dengan menghilangkan penyebab utamanya: hapus sistem kapitalis, lalu ganti dengan sistem Islam dalam wujud Khilafah Islamiyah. Menegakkan sitem Islam dalam institusi Khilafah, selain sebagai wujud keimanan, juga akan merealisasikan kesejahteraan bagi semua bangsa. [Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasiyah MHTI)]