Al-Jinâyât, bentuk jamak dari al-jinâyah, merupakan mashdar dari janâ–yajnî–jany[an] wa jannâ wa jinâyat[an]. Secara bahasa, menurut Ibn Faris dalam Maqâyîs al-Lughah, makna asal kata tersebut adalah mengambil buah dari pohonnya (memetik). Makna ini dinyatakan dua kali dalam al-Quran (QS Maryam [19]: 25 dan QS ar-Rahman [55]: 54).
Berikutnya, dalam penggunaannya, kata al-jinâyah ditransformasikan untuk menyebut hasil dari perbuatan buruk atau perbuatan buruk itu sendiri. Ibn Muflih al-Hanbali menyatakan, al-jinâyah adalah apa yang dipetik dari keburukan, yakni yang dihasilkan dari keburukan; disebut menggunakan mashdar dari janâ ‘alayhi syarran dan itu bersifat umum, namun dikhususkan dengan perbuatan yang haram. Asalnya dari janâ ats-tsamara, yaitu mengambilnya dari pohon. Karena itu dikatakan oleh Rawas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ`, al-jinâyah artinya ad-dzanbu wa al-jarîmah (dosa dan kejahatan).
Al-Fayyumi dalam Mishbâh al-Munîr menyebutkan, wa janâ ‘alâ qawmihi, artinya berbuat dosa yang karenanya dijatuhi hukuman. Dalam lisan para fukaha, al-jinâyah lebih dominan atas al-jurhu (luka) dan al-qath’u (pemutusan organ). Begitu juga Ibn al-Atsir dalam An-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsâr; ia menyatakan al-jinâyah adalah dosa dan kejahatan (adz-dzanbu wa al-jurmu) dan apa yang dilakukan oleh manusia yang mewajibkan adanya azab dan qishash terhadap pelakunya di dunia dan akhirat.
Makna ini di antaranya disebutkan dalam Hadis Rasul saw. saat Haji Wada’. Amru bin al-Akhwas menuturkan, Rasul saw. bersabda saat Haji Wada’:
لاَ يَجْنِى جَانٍ إِلاَّ عَلَى نَفْسِهِ لاَ يَجْ نى وَالِدٌ عَلَى وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُودٌ عَلَى وَالِدِهِ
Tidaklah seseorang berbuat dosa kecuali menjadi tanggung jawabnya sendiri, tidaklah orangtua berbuat dosa menjadi tanggung-jawab anaknya dan tidak pula anak berbuat dosa menjadi tanggung jawab orang tuanya (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Baihaqi).
Hadis ini menyatakan bahwa seseorang tidak bisa dituntut atas dosa dan kejahatan yang dilakukan orang lain, baik anak, orangtua, kerabat, orang dekat maupun orang jauhnya. Sebab, seseorang tidak menanggung dosa orang lain (QS al-An’am [6]: 164; Fathir [35]: 18; az-Zumar [39]: 7; an-Najm [53]: 38).
Selanjutnya secara ‘urf, tidak semua dosa dan kemaksiatan disebut al-jinâyah. Hanya dosa yang menyebabkan dharar terhadap jiwa dan lainnya. Di sinilah al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât mendefinisikan al-jinâyah adalah setiap perbuatan terlarang yang mengandung dharar terhadap jiwa dan lainnya. Al-Minawi juga menyatakan d alam At-Ta’ârif, al-jinâyah adalah setiap perbuatan terlarang yang mengandung dharar, dan dalam lisan pada fukaha’ dominan atas luka (al-jurhu), pembunuhan (al-qatlu) dan pemutusan organ (al-qath’u).
Dalam istilah para fukaha, al-jinâyah digunakna secara lebih khusus lagi. Di dalam Anîs al-Fuqahâ‘ dinyatakan, “Al-jinâyah adalah apa yang dipetik dari keburukan, yakni yang diadakan atau diperoleh dari keburukan. Itu pada asalnya adalah mashdar dari janâ ‘alayhi syarran jinâyatan yang bersifat umum pada apa saja yang tercela dan buruk, dan sungguh itu telah dikhususkan pada perbuatan yang haram. Akan tetapi, dalam lisan para fukaha, al-jinâyah adalah al-qishâsh dalam hal jiwa dan anggota tubuh.”
Qadhi Alauddin al-Mirdawi dalam Al-Inshaf dan Ibn Qudamah di dalam Al-Mughni menyatakan, bahwa al-jinâyah meliputi semua perbuatan permusuhan/serangan (‘udwanan) terhadap jiwa atau harta. Akan tetapi, di dalam ‘urf, al-jinâyah dikhususkan dengan apa yang di situ terjadi serangan terhadap badan. Jinâyah terhadap harta disebut ghashab, sariqah (pencurian), khiyanat, dan penilapan.
Imam as-Sarakhsi dari ulama Hanafiyah di dalam Al-Mabsûth mengartikan, al-jinâyah adalah sebutan untuk perbuatan yang diharamkan secara syar’i yang terjadi pada harta atau jiwa. Akan tetapi, dalam lisan para fukaha, yang dimaksudkan sebutan al-jinâyah adalah perbuatan pada jiwa dan anggota tubuh.
Adapun para ulama Syafiiyah memaksudkan al-jinâyah sebagai al-jarâh (luka-luka) sehingga mereka menyebutnya dengan kitâb al-jarâh, dan kadang disebut perbuatannya sendiri. Imam Zakaria al-Anshari di dalam Asnâ al-Mathâlib menyebutkan, al-jinâyah hiya al-qatlu wa al-qath’u wa al-jurhu alladzi lâ yuzhiqu wa lâ yubayyinu (al-jinâyah adalah pembunuhan, pemutusan organ dan pelukaan yang tidak membinasakan dan tidak pula memisahkan organ).
Dari semua itu dan dari elaborasi atas hukum-hukum al-jinâyah, bisa diringkas bahwa al-jinâyah itu bukan sekadar perbuatan tetapi merupakan serangan, yakni perbuatan yang tidak dibenarkan oleh syariah. Serangan itu terjadi pada badan manusia. Kemudian jenis sanksi terhadap pelaku al-jinâyah ada dua, yakni qishash dan sanksi finansial berupa diyat atau arbitrase yang adil (ganti kerugian). Dari situ bisa dirumuskan pengertian al-jinâyah—seperti yang dinyatakan di Mathâlib Ûlî an-Nuhâ fi Syarh Ghâyah al-Muntahâ, Ar-Rawdh al-Murbi’ oleh Manshur bin Yunus al-Bahuti dan Nizhâm al-‘Uqubât oleh Abdurrahman al-Maliki bahwa al-jinâyah—adalah at-ta’âdzî ‘alâ al-badani min mâ yûjibu qishâshan aw mâlan (serangan terhadap badan yang mengharuskan adanya qishash atau sanksi harta).
Selanjutnya sebutan al-jinâyah kadang untuk menyebut kejahatannya dan kadang untuk menyebut sanksinya. Sebagian fukaha menyebut al-jinâyah dengan sebutan qishash.
Karakteristik al-Jinâyah
Al-Jinâyah memiliki karakteristik yang berbeda dari al-hudûd dan at-ta’zîr. Sebagian karakteristik itu antara lain (lihat, Dr. Yusuf bin Abdullah as-Syubiliy, Fiqh al-Jinâyât):
1. Berbeda dengan ta’zîr, jenis jinâyah dan sanksinya sudah ditetapkan oleh syariah.
2. Serangan dalam al-jinâyah terjadi pada badan manusia, mulai dari yang ringan yang tidak menimbulkan luka, hingga yang berat yang menyebabkan kematian, memutuskan organ atau menghilangkan fungsinya baik secara permanen atau sebagian. Dari sini, serangan atas harta dan kehormatan tidak termasuk jinâyah.
3. Al-Jinâyah terjadi pada hak adami (sesama manusia). Ini berbeda dengan hudûd yang merupakan hak Allah. Sebagai hak adami, di dalam al-jinâyah boleh ada syafâ’ah (amnesti) dan pemaafan (al-‘afwu) dari korban atau ahli waris korban. Boleh juga terjadi al-mushâlahah (penyelesaian damai), terutama untuk sanksi pelukaan yang tidak ditentukan besaran sanksi harta (diyat)-nya.
4. Hak dalam al-jinâyah bisa diwariskan kepada ahli waris, sebab itu merupakan hak adami. Ini berbeda dengan hudûd yang tidak bisa diwariskan.
5. Jika pelaku hudûd bertobat dan belum sempat diproses hukum maka ia tidak harus menyerahkan diri kepada qadhi, dan dia boleh menutupinya, disertai dengan pengembalian hak kepada yang memiliki hak. Jika pelaku jinâyah tidak bertobat, ia harus menyerahkan diri kepada qadhi untuk dilakukan qishash atau dimintakan maaf kepada korban atau ahli warisnya. Sebab, itu menyangkut hak adami; agar bebas dari dosanya di antaranya harus ada pemaafan dari yang punya hak.
6. Dalam pengadilan al-jinâyah, jika pelaku menyerahkan diri kepada qadhi/aparat hukum, qadhi tidak boleh menawarkan kepada dia untuk menarik pengakuan. Sebaliknya, hal itu boleh dalam pengadilan hudûd.
Hikmah Pensyariatan al-Jinâyah
Setidaknya ada empat hikmah dari pensyariatan al-jinâyah atau qishash. Pertama: di dalam al-jinâyah ada kehidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia (QS al-Baqarah [2]: 179). Jika orang tahu, bahwa membunuh atau melukai, pelakunya akan di-qishash atau harus membayar diyat yang jumlahnya besar, maka ia akan tercegah dari membunuh atau menyerang badan orang lain. Dengan itu ia menghidupkan dan menyelamat-kan dirinya sendiri dengan menjauhkan diri dari qishash. Pada saat yang sama ia juga menghidupkan dan menyelamatkan orang lain (As-Sarakhsi, Al-Mabsûth, XXV/127).
Kedua: tegaknya keadilan di antara manusia. Sebab, balasan dari jenis yang sama dengan perbuatan bisa mencegah pelaku dari tindakan kriminal dan mencegah serangan dari orang. Dengan itu masyarakat bisa hidup aman dan diliputi rasa aman di bawah hukum-hukum syariah yang adil. Jika pelaku yakin ia akan di-qishash atau membayar diyat maka ia akan membebaskan dirinya dengan tidak jadi berbuat al-jinâyah. Jadi, semua dorongan diri ke arah kriminal dihalangi oleh sanksi qishash yang bisa memalingkan dirinya dari al-jinâyah (Abdul Qadir Audah, Tasyrî’ al-Jinâ‘î, i/575).
Ketiga: sanksi al-jinâyah menjadi kafarah (penebus) dosa sehingga pelakunya tidak lagi dijatuhi azab di akhirat jika sudah dijatuhi sanksi al-jinâyah secara syar’i di dunia (lihat Hadis Nabi saw. dari penuturan Ubadah bin ash-Shamit tentang baiat).
Keempat: qishash mengobati kemarahan dan menghilangkan dendam dari diri korban, wali dan keluarganya (Tafsîr al-Qurthûbî, II/256). Allah SWT mensyariatkan qishash sebagai pencegah jiwa, dan dimungkinkan untuk diwajibkan diyat. Apa yang disyariatkan Allah lebih sempurna dan lebih baik untuk hamba, lebih mengobati kemarahan dan dendam korban, serta lebih menjaga jiwa (Ibn al-Qayim al-Jauziyah, I’lâm al-Muwâqi’în, III/328).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]