HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

APEC: Menguatkan Penjajahan Ekonomi

KTT APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang berlangsung di Bali 1-8 Oktober lalu dengan tema Resilient Asia Pacific-Engine of Global Growth telah menghasilkan tujuh kesepakatan. Presiden SBY yang didampingi 21 pemimpin negara APEC membacakan kesepakatan tersebut. Pada dasarnya kesepakatan itu mencakup dua hal pokok, yaitu komitmen untuk pelaksanaan Deklarasi Bogor dan perluasan kesepakatan perdagangan multilateral yang akan diangkat dalam pertemuan WTO di Bali pada Desember 2013 mendatang.

Deklarasi Bogor yang dimaksud adalah kesepakatan yang dihasilkan dalam KTT APEC di Bogor tahun 1994 yang kemudian dikenal dengan nama Bogor Goals. Inti dari Bogor Goals adalah proses liberalisasi perdagangan dan investasi melalui penurunan dan penghapusan berbagai tarif impor (free and open trade investment). Jadi sebenarnya, tidak ada yang baru dari hasil APEC ini, karena lebih sebagai penguatan komitmen pada isu utama, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi. Komitmen seperti itu pulalah yang dihasilkan pada KTT APEC sebelumnya di Vladivostok Rusia pada tahun 2012.

 

Sarana Penjajahan

Hasil kesepakatan APEC 2013 di Bali semakin menunjukkan bahwa APEC merupakan sarana penjajahan negara-negara maju khususnya Amerika Serikat terhadap negara berkembang. Senjata utamanya adalah perwujudan pasar bebas di kawasan Asia Pasifik melalui liberalisasi perdagangan dan investasi yang menjadi agenda utama WTO (World Trade Organization). Pasar bebas tersebut akan menyebabkan negara berkembang seperti Indonesia tercekik dalam perdagangan internasional. Sebagaimana diketahui, WTO dipelopori oleh negara-negara maju khususnya Amerika Serikat, Rusia dan Eropa untuk memuluskan rencana mereka memasarkan produk-produknya di negara berkembang sekaligus menguasai berbagai potensi ekonomi negara berkembang melalui investasi.

Faktanya, selama menjadi anggota APEC Indonesia lebih banyak menanggung kerugian dari berbagai aktivitas hubungan perekonomian internasionalnya. Bahkan liberalisasi itulah sebenarnya penyebab utama berbagai problem perekonomian Indonesia. Indikatornya di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, akibat liberalisasi perdagangan, Indonesia tercekik oleh serbuan produk impor. Liberalisasi perdagangan mengharuskan tarif impor berbagai komoditas diturunkan, bahkan dinolkan. Sejak APEC didirikan terjadi penurunan tarif rata-rata dari 16.8 persen pada tahun 1989 menjadi rata-rata 5.7 persen pada tahun 2012. Ketika hambatan itu makin tipis dan mengarah pada dihilangkan secara total, konsekuensinya barang dari luar pun masuk mengalir deras membanjiri pasar dalam negeri. Ini ditunjukkan oleh terus meningkatnya angka impor, sementara kinerja ekspor tidak membaik hingga menimbulkan defisit perdagangan.

Di dalam Booklet Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS, bps.go.id) pada Agustus 2013 disebutkan total impor Indonesia tahun 2009 sebesar USD 96.83 miliar melonjak drastis menjadi USD 191.69 miliar pada tahun 2012 (Lihat Tabel 1). Artinya, hanya dalam kurun waktu 3 tahun tersebut terjadi peningkatan volume impor sebesar USD 94.86 miliar atau setara dengan Rp 924.89 triliun (asumsi rata-rata 1 USD = Rp 9.750).

 

Tabel 1: Nilai Total Impor Indonesia 2009-2012

No

Tahun

Nilai Impor

 

 

(USD Miliar)

1.

2009

96.83

2.

2010

135.66

3.

2011

177.44

4.

2012

191.69

 

Nilai impor tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan total ekspor. Misalnya, pada tahun 2012, total ekspor Indonesia sebesar USD 190.02 miliar, sedangkan nilai impornya sebesar USD 191.69 miliar. Dengan demikian terjadi defisit neraca perdagangan sebesar USD 1.67 miliar atau Rp 16.28 triliun. Lalu pada tahun 2013 sampai Agustus menurut BPS juga terjadi defisit neraca perdagangan mencapai USD 5.5 miliar atau Rp 53.6 triliun.

Selain itu, pilar utama yang menopang nilai ekspor Indonesia tersebut adalah minyak mentah, gas, batubara, minyak kelapa sawit (CPO dan KPO), bahan mentah produk pertanian seperti kakao, kopi, teh. Menurut data BPS, sumbangan keempat komoditi itu selama empat tahun terakhir (2009-2012) mencapai dua pertiga dari total nilai ekspor Indonesia. Data terebut menunjukkan bahwa ekspor Indonesia didominasi oleh sumber energi dan bahan mentah. Artinya, Indonesia dalam aktivitas ekspor lebih berposisi sebagai pemasok sumber energi dan bahan mentah yang sangat diperlukan oleh industri negara maju. Dengan demikian, liberalisasi perdagangan hanya menjadikan Indonesia sebagai penopang kebutuhan bahan mentah negara maju sekaligus sebagai pasar bagi produk-produk mereka melalui impor.

Kedua, akibat liberalisi di sektor pertanian dan pangan, pertanian Indonesia saat ini semakin terpuruk. Padahal sektor tersebut merupakan andalan utama Indonesia. Kondisi tersebut berdampak langsung terhadap terpuruknya sebagian besar rakyat yang memang hidupnya tergantung pada sektor pertanian. Misalnya, pada bulan lalu harga kedelai melambung tak terkendali hingga menembus Rp 10 ribu per kilogram. Para produsen tahu dan tempe menjerit dan selama tiga hari melakukan aksi mogok karena tidak lagi mampu berproduksi dengan harga kedelai semahal itu.

Problem ini tentu tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Pemerintah yang tidak pro-rakyat khususnya petani. Padahal potensi pertanian Indonesia termasuk kedelai, ditinjau dari luas dan kesuburan lahan, termasuk yang terbaik di dunia. Kenyataannya, saat ini Indonesia justru jatuh sebagai pengimpor produk pangan utama. Tidak hanya beras, ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan nasional utama lainnya terhadap impor cukup besar seperti kedelai 70 persen, garam 50 persen, daging sapi 23 persen, dan jagung 11 persen. Menurut data Kementerian Pertanian, nilai impor pertanian pada 2004 sekitar USD 5 miliar, naik menjadi USD 5.2 miliar pada 2005, lalu naik lagi menjadi USD 8.6 miliar pada 2007, dan melonjak menjadi USD 20.6 miliar pada 2011. Artinya, selama 2004-2011 nilai impor pertanian naik empat kali lipat.

Pada kasus tingginya harga kedelai tersebut, Pemerintah melalui Kemendag menambah volume izin impor kedelai hingga akhir tahun 2013 ini menjadi 1.1 juta ton dari sebelumnya 580 ribu ton. Penambahan kuota volume izin impor kedelai ini dilakukan terkait kebijakan relaksasi impor kedelai sesuai arahan Wakil Presiden Boediono (Kompas.com, 18/9).

Memang, sesaat impor dapat menjadi solusi terhadap tingginya harga kedelai. Dengan teori sederhana price-supply-demand, impor tersebut akan menambah volume supply kedelai di pasaran yang akibatnya akan menurunkan harga kedelai. Namun sejatinya, impor tersebut bukanlah solusi, tetapi bukti kegagalan Pemerintah dalam pengelolaan ekonomi di negeri ini. Krisis kedelai bukan terjadi tiba-tiba, tetapi terjadi secara sistematik akibat kebijakan ekonomi kapitalistik yang diterapkan di negeri ini. Akibatnya, negeri dengan lahan pertanian terluas di dunia ini setiap tahun mengonsumsi kedelai impor asal AS sebanyak 1.2 juta ton atau mencapai lebih dari 75 persen total konsumsi kedelai nasional. Anggaran Pemerintah untuk kedelai ini jauh lebih besar dianggarkan untuk importir daripada terhadap petani lokal.

Pihak yang paling diuntungkan tentu saja para importir dan jejaringnya serta negara asal kedelai impor tersebut, yakni AS. Sebaliknya, petani dan masyarakat di negeri ini tidak hanya gagal meningkatkan kesejahteraannya, bahkan semakin terpuruk dalam himpitan kebijakan ekonomi yang kapitalistik tersebut.

Tingginya impor pangan ini juga menjadi bukti keberhasilan penjajahan ekonomi di negeri ini. Pasalnya, krisis pangan ini tidak dapat dipisahkan dari keikutsertaan Indonesia meratifikasi WTO sejak tahun 1999. Sebalumnya, Indonesia melakukan penandatanganan letter of intent dengan IMF pada tahun 1998 yang secara ‘resmi’ meliberalisasi sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Kesepakatan APEC 2013 di Bali itu pada dasarnya sebagai penegasan kembali terhadap agenda liberalisasi yang telah dirancang oleh negara-negara kapitalis melalui WTO dan IMF tersebut.

Mungkin sebagai hadiah karena ‘sukses’ meliberalisasi sektor pertanian dan pangan tersebut, Indonesia dipilih sebagai tuan rumah APEC 2013 sekaligus sebagai tuan rumah penyelenggaraan Ministerial Meeting WTO yang rencananya akan diselenggarakan pada Desember 2013 mendatang. Kalau acara WTO tersebut terjadi, maka inilah comedy meeting berikutnya yang tidak hanya tidak lucu, namun juga menyakitkan.

Ketiga, akibat liberalisi investasi, berbagai potensi sumber ekonomi Indonesia dikuasai asing. Liberalisasi investasi mengharuskan pintu investasi asing dibuka selebar-lebarnya. Kepemilikan asing atas usaha di dalam negeri dan bidang usaha untuk investasi asing tidak boleh dibatasi. Penjajahan melalui investasi ini telah disiapkan payung hukumnya oleh Pemerintah, yakni UU Penananam Modal No. 25/2007, yang mengharuskan modal asing dan modal dalam negeri diperlakukan sama. UU ini menfasilitasi penguasaan lahan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun. Lalu berdasarkan Perpres No. 36 Tahun 2010, hampir seluruh sektor ekonomi seperti pertanian, pertambangan, migas, keuangan dan perbankan boleh dikuasai oleh modal asing secara mayoritas bahkan hingga 95 persen.

Akibatnya, perekonomian negeri ini sebagian besar dikuasai asing. Perusahaan-perusahaan AS menguasai sektor migas (Cevron, Conocophillips, Exxon Mobile), pertambangan (Newmont Mining dan Freeport-Mcmoran), pertanian (Monsanto, Dupon, dan Chargill). Air minum dalam kemasan dikuasai oleh Nestle Swiss dan Danone Prancis. Produk kebutuhan rumah tangga seperti sabun, shampo, pasta gigi, dll dikuasai oleh Unilever Inggris. Motor dan mobil dikuasai Jepang, Amerika dan Eropa. Perusahaan ritel super market dikuasai oleh Carrefour Prancis. Alfamart mayoritas sahamnya dipegang Carrefour. Giant dan Hero dikuasai Dairy Farm International. Circle K dari Amerika dan Lotte dari Korsel. Bahan utama bangunan, yaitu semen, juga dikuasai asing; misalnya Semen Tiga Roda Indocement dikuasai Heidelberg Jerman, Semen Gresik dikuasai Cemex Meksiko dan Semen Cibinong dikuasai Holcim Swiss.

 

Penutup

Berdasarkan paparan di atas, kesepakatan APEC 2013 di Bali tersebut pada dasarnya adalah kesepakatan ekonomi dan politik untuk memperluas agenda liberalisasi serta fasilitasi perdagangan dan investasi di Indonesia. Kesepakatan tersebut akan ‘memaksa’ Pemerintah Indonesia untuk membuka pasar bebas seluas-luasnya sebagai wujud liberalisasi perdagangan dan investasi. Indonesia akan menjadi pasar ekspansi bagi produk impor dari negara-negara anggota APEC khususnya AS. Kesepakatan tersebut juga akan diletakkan sebagai dasar perjanjian yang lebih luas dan mengikat melalui perdagangan multilateral yang akan dirumuskan pada pertemuan tingkat menteri (ministerial meeting) WTO pada bulan Desember mendatang.

Secara politik, liberalisasi melalui APEC dan WTO tersebut sangat berbahaya bagi negeri-negeri Muslim yang notabene sebagai negara berkembang. Melalui liberalisasi tersebut negara-negara berkembang diharuskan membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS, Eropa, Rusia dan negara-negara maju lainnya yang superior dalam keanggotaan APEC dan WTO. Akibatnya, negeri-negeri Muslim akan terus menjadi konsumen utama (baca: jajahan) dari komoditas dan investasi mereka. Struktur perekonomian negeri-negeri Muslim akan terus dirancang agar tetap bergantung pada negara-negara kapitalis tersebut baik ekonomi maupun politik. Jadi akhirnya, memang tidak ada kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikan APEC dan WTO selain kata penjajahan, yang tentu wajib ditolak oleh setiap negeri Muslim.

WalLahu a’lam bi ash shawab.  []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*