HTI

Analisis (Al Waie)

Iran-AS: ‘Kemesraan di Balik Layar’

Timur Tengah pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmani awalnya menjadi ‘tempat bermain’ Inggris dan Prancis. Namun, keberhasilan AS memenangkan perang dalam Perang Dunia II memungkinkan bagi dirinya mengambil peranan di kawasan ini, bahkan melakukan hegemoni dengan kebijakan “Twin Pillars”-nya. AS menjadikan Iran dan Arab Saudi sebagai ‘negara satelit’ untuk memuluskan berbagai kepentingannya di Dunia Arab.

 

Harmonisasi AS-Iran di Dunia Islam

Iran adalah negara middle power di kawasan Timur Tengah. Pengaruh utama Iran terhadap negara lain dilatarbelakangi  oleh kesamaan mazhab. Di antara negara-negara di Dunia Arab, Iran memiliki hubungan yang erat dengan negara-negara yang setidaknya memiliki penduduk yang bermazhab sama dengan rakyat Iran seperti Irak, Libanon, Suriah dan Yaman. Faktor lainnya,  letak geografis yang berdekatan—seperti dengan Irak, Pakistan dan Afganistan—membuat Iran harus memberikan perhatian lebih terhadap negara tersebut.

 

Jejak Iran di Kawasan

 

1.         Libanon.

Libanon adalah negeri kecil di kawasan fertile cressent yang tak pernah luput dari perhatian Iran. Di Libanon Iran mendorong berdirinya partai yang memiliki basis mazhab yang sama dengan Iran, Syiah, yaitu Hizbullah. Iran bahkan diam-diam mempersenjatai mereka sehingga menjadi paramiliter yang terpisah dari militer Libanon.

Pengakuan terhadap Hizbullah sebagai paramiliter yang beraktivitas di Libanon menunjukkan adanya harmonisasi antara penguasa Libanon dan Iran beserta AS yang telah menjadikan Libanon sebagai negara penyokong eksistensi Israel di Timur Tengah.

 

2.         Irak.

Di Irak, ketika pendudukan AS, mendapatkan perlawanan yang sengit, Iran membantu AS dengan cara mempengaruhi orang-orang yang berafiliasi ke mazhab Syiah untuk menghalangi pergerakan mereka melawan pendudukan AS. Iran bahkan turut memperkuat legalisasi pendudukan AS dan rezim yang didirikan di Irak. 

Lebih khusus adalah setelah tahun 2005 ketika AS mengizinkan koalisi partai yang mendukung Iran untuk turut dalam pemerintahan pimpinan Ibrahim al-Ja’fari dan berikutnya al-Maliki. Pemerintahan ini ‘didirikan’ oleh—dan terikat dengan—AS. Pemerintahan al-Maliki yang didukung Iran menandatangani sejumlah perjanjian keamanan dan perjanjian strategis dengan AS untuk menjaga kendali AS sampai pasca berakhirnya secara resmi pendudukan AS di Irak. Pejabat Iran sendiri mengakui kerjasama dengan AS dalam pendudukan Irak dan dalam menjamin stabilitas pengaruh Amerika di Irak.

Bukti yang sangat nyata adalah bahwa Iran segera membuka kedutaan besar di Irak segera setelah pendudukan Irak oleh AS. Bukti lain adalah ketika al-Ja’fari terpilih, Menteri Luar Negeri Iran waktu itu, Kamal Kharazi, langsung mengunjungi Baghdad pada tahun 2005. Hal ini terjadi saat puncak pendudukan AS di Irak. Irak dan Iran mengecam aksi-aksi perlawanan terhadap pendudukan AS di Irak dengan mengatasnamakan kecaman terhadap terorisme. Al-Ja’fari pun berkunjung ke Iran dan melakukan penandatanganan sejumlah perjanjian. 

Memang, Presiden Iran Mahmod Ahmadinejad dikenal banyak memicu kegaduhan politik internasional dengan pernyataan-pernyataannya menentang AS dan entitas Yahudi. Namun, semua itu hanya ‘NATO’ (No Action Talk Only). Pada saat yang bersamaan, Nejad melakukan kunjungan ke Irak yang berada di bawah pendudukan AS pada awal tahun. Ahmadinejad kembali mengunjungi Irak dua minggu sebelum meninggalkan pemerintahannya untuk memperbarui dukungannya kepada rezim al-Maliki yang tunduk kepada AS dan terus menjaga pengaruh AS di Irak. Nejad pun melakukan kunjungan ke Afganistan tahun 2010, sementara Afganistan masih ada di bawah pendudukan AS. Nejad memberikan dukungan kepada rezim Karzai, pelayan pendudukan AS.

 

3.         Yaman.

Di Yaman Iran merekrut kelompok Houthi yang beraliran Syiah, mempersenjatai mereka untuk menentang rezim Salih antek Inggris. Hubungan ini terungkap, salah satunya ketika Pemerintah Yaman menyatakan bahwa mereka berhasil menyita sejumlah roket pada tanggal 23 Januari 2013 yang diyakini bahwa Iran sebagai pengirimnya.

Penyelundup senjata ke Yaman dilaksanakan oleh unit khusus, yaitu Pasukan Unit Khusus al-Qud, yang merupakan Unit Operasi Khusus dari Corp Garda Republik Iran. Melalui Unit Khusus al-Qud itu, Iran mengirimkan senjata AK-47, roket, rudal anti tank, dan sejumlah senjata lainnya, yang akan digunakan para pemberontak Houthi di Yaman. Bahkan Iran, pada awal tahun 2012, berusaha menyelundupkan ke Yaman bahan-bahan yang dipakai untuk merakit alat peledak yang dikenal dengan Armor-Piercing Weapons High Explosive (AFB). Pengiriman senjata itu, menurut sebuah sumber intelijen, berkat adanya kerjasama dengan sejumlah mantan pasukan elit AS dengan Unit al-Qud. Pihak berwenang Yaman mendapatkan bukti-bukti senjata-senjata yang disita di pantai Yaman, dekat dengan pelabuhan Aden.

Secara politik, Iran pun men-support Partai Al-Haq dan Partai Ittihad Al-Quwa asy-Sya’biyah yang merupakan sayap agenda politik bagi skenario sektarian pasca unifikasi Yaman tahun 1990. Keduanya menjadi payung politik dan hukum yang mendukung gerakan Houthi, meskipun kedua partai tersebut menjaga posisinya masing-masing dalam Koalisi Partai Al-Liqa’ al-Musytarak.

Selain itu, muncul partai baru antara lain: Hizb al-Ummah yang dideklarasikan pada tanggal 5 Januari 2012, yang merupakan front politik baru bagi gerakan Houthi; juga Al-Hizb al-Dimaqrathi al-Yamani yang dideklarasikan pada tanggal 24 Mei 2010. Dari paradigma dan dokumen resmi yang dikeluarkan, serta sikap-sikap politiknya, tampak bahwa partai ini bagian dari koalisi Iran di Yaman.

Iran juga mendukung para aktivis gerakan selatan yang sekular di Yaman. Mereka adalah kaum separatis yang menghendaki penerapan sistem sekular di selatan Yaman yang loyal kepada AS.

Gerakan Separatis Selatan Yaman tidak lagi diam-diam berhubungan dengan Iran ataupun menyembunyikan bantuan Iran terhadap mereka. Pemimpin mereka, Ali Salem al-Baid, telah membeberkan, “Iran adalah sebuah negara yang eksis di kawasan ini. Ia mampu memberikan peran besar. Iran merupakan negara tetangga sekaligus pelindung bagi bangsa Arab. Negara itu telah membantu Libanon, Palestina dan Hizbullah. Tidak ada satu pun negara Arab yang mampu melakukan seperti apa yang dilakukan Iran dalam mempertahankan Libanon melawan Israel.”

Pada bulan Desember 2012, Muhammad Ali menyatakan, “Jika saya menerima dana dari Iran, hal itu saya lakukan demi membantu bangsa saya.”

Kondisi inilah yang membuat Presiden Yaman yang baru, Abed Rabbu Mansour Hadi, pada bulan Oktober 2012 yang lalu, menuduh Iran berusaha mengimplementasikan sebuah skema yang bertujuan mengendalikan Selat Bab el-Mandeb di Laut Merah. Karena itu ia menyerukan aksi internasional yang cepat untuk menghentikan aksi Iran tersebut.

Dalam pidatonya di Woodrow Wilson International Center for Scholars, di Washington, pada tanggal 28 September 2012, Presiden Hadi menyebutkan intervensi Iran sebagai salah satu tantangan yang dihadapi oleh Yaman.

 

4.         Suriah.

Iran dan rezim Suriah memiliki hubungan yang cukup lama sejak meletusnya perlawanan pertama pada awal tahun 80-an. Saat itu Iran mendukung rezim Suriah dalam membungkam warga Suriah yang Muslim. Hal ini dilakukan untuk menjaga Suriah agar tetap dalam rencana AS, yakni berada pada rezim yang dipimpin oleh anteknya, keluarga Assad. Padahal Iran tahu bahwa mereka itu adalah rezim sekular nasionalis yang dibuat oleh rezim Saddam yang sebelumnya diperangi Iran dan tidak memiliki hubungan dengan Islam, bahkan justru memerangi Islam dan pemeluknya. 

Iran tidak membela kaum Muslim Suriah. Sebaliknya, Iran justru memerangi mereka dan menolong rezim penjahat. Hal itu masih terus dilakukan hingga sekarang. Rezim Iran menjaga hubungan erat dengan kepemimpinan Suriah. Hubungan itu meliputi hubungan militer, ekonomi dan politik. Iran mensuplai banyak persenjataan untuk mendukung rezim Assad. Iran juga memberi Suriah minyak dan gas dengan harga murah mengingat tidak adanya cadangan energi di Suriah.

Bisa diperhatikan kuatnya hubungan politik lebih khusus dalam intervensi Iran di perlawanan Suriah ketika rezim Assad hampir runtuh. Seandainya tidak ada intervensi Iran melalui pengiriman pasukan Garda Revolusi dan kekuatan partainya Iran (Hizbullah) dan milisi al-Maliki yang tunduk kepada Iran, niscaya Bashar dan rezimnya sudah runtuh. Pembantaian al-Qushair dan pembantaian Ghauthah dengan senjata kimiawi dan lainnya merupakan saksi atas intervensi itu.

Hal ini sesuai dengan penegasan dari Presiden Iran dalam pertemuannya pada 4 Agustus 2013 dengan Wael al-Halqi, Perdana Menteri rezim tiran Basyar, bahwa “tidak akan ada kekuatan di dunia yang bisa menggoyahkan hubungan kedua negara.” Bahkan ia menegaskan bahwa Teheran memberi dukungan dengan “keras dan tegas” untuk Suriah. Di sisi lain, al-Halqi menyampaikan pesan Basyar pada Rouhani, yang isinya menegaskan tentang kuatnya “hubungan strategis” antara kedua sekutu ini.

 

5.         Afganistan.

Di Afganistan, Iran mendukung pendudukkan AS, konstitusi yang ditetapkan oleh AS dan pemerintahan yang dibentuk oleh AS dengan pimpinan Hamid Karzai. Iran menjamin sebelah utara Afganistan ketika AS gagal dalam mengalahkan Taliban. Mantan Presiden Iran Rafsanjani menyebutkan, “Seandainya kekuatan kami tidak membantu dalam memerangi Taliban niscaya orang-orang AS terjerembab dalam lumpur Afghanistan.” (Asy-Syarq al-Awsath, 9/2/2002). 

Presiden Ahmadinejad juga mengulang-ulang semisal itu dalam kunjungannya ke New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB dalam pertemuannya dengan surat kabar New York Times tanggal 26/9/2008.

 

AS vs Iran Hanya Retorika

Dunia Islam selalu menyangka bahwa AS adalah musuh dari Iran. AS adalah “Setan Besar” yang dianggap bertanggung jawab atas kesengsaraan rakyat Iran pada masa Syah Reza. AS dituduh mendukung berbagai kezaliman yang dilakukan oleh rezim Syah.

Komunikasi intens yang dijalin AS dengan Khomeini di Paris harus ditutupi untuk menjaga citra Revolusi Islam Iran. Penguasa Iran pasca revolusi harus memutus hubungan diplomatik secara resmi demi skenario besar tersebut. Insiden penyanderaan di Kedubes Amerika pada tanggal 4 Oktober 1979 yang diikuti dengan pemutusan hubungan diplomasi Iran dengan AS adalah untuk menguatkan posisi Khomeini dan menekan para penentangnya serta memberikan selubung atas hakikat hubungan kedua pihak. Di kemudian hari, berbagai sumber AS menyebutkan bahwa itu adalah sandiwara. 

Iran dan AS kemudian menandatangani Perjanjian Aljazair pada 20 Januari 1981 dan dengannya sandera pun dibebaskan. Ronald Reagen, Presiden AS saat itu, secara implisit mengakui rezim Iran pimpinan Khomeini dan menyatakan saling terikat, saling menghormati, tidak saling campur tangan dalam urusan masing-masing pihak, menjaga kepentingan kedua negara dengan jalan menunjuk dan mewakilkan kepada pihak ketiga. Berikutnya dikembalikanlah 12 miliar dolar yang diminta oleh rezim baru Iran dari rekening Iran yang dibekukan.

Situasi tersebut di atas menunjukkan bahwa Iran tampil seolah-olah memusuhi AS. Padahal di balik itu Iran berjalan bersama AS dalam rencana-rencana imperialisme. Iran justru menjadi agen AS untuk jalannya rencana-rencana itu.

Sebaliknya, AS tampil seolah-olah memusuhi dan melawan Iran. Dengan begitu AS bisa mengontrol Eropa dan Yahudi, menyamarkan opini umum serta untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan AS di Timur Tengah.

Sikap AS terhadap Iran tidak berubah. Bagaimanapun kerasnya seruan dari orang-orang Partai Republik sehingga Iran dimasukkan sebagai Axis of Evil, atau betapapun lunaknya seruan dari Partai Demokrat, Amerika tidak mengambil langkah tegas dan serius terhadap Iran. 

Ketika presiden baru Iran Rouhani membentuk kabinet, ia mengatakan,  “Pemerintahannya akan mengadopsi politik luar negeri mencegah ancaman dan menghancurkan ketegangan.” (Reuters, 12/8/2013).

Rouhani lalu memilih Muhammad Jawad Zharif untuk jabatan menteri luar negeri. Dia adalah mantan duta besar di PBB yang mendapat pendidikan di AS dan berpartisipasi dalam sejumlah putaran perundingan rahasia untuk mengatasi memburuknya hubungan antara Washington dan Teheran (Reuters, 12/8/2013).

Rouhani pasca pemilihannya mengatakan dengan lebih gamblang, “Kami tidak ingin melihat ketegangan lebih panas antara Iran dan AS… (Reuters, 17/6/2013).

Presiden Obama merespon dengan mengatakan, “AS tetap siap terjun dalam pembicaraan-pembicaraan langsung dengan pemerintah Iran dengan tujuan mencapai solusi diplomatis yang bekerja secara penuh menghilangkan keterguncangan masyarakat internasional seputar program nuklir Iran.” (Reuters, 17/6/2013). 

 

Penutup

Jelas, Iran berjalan bersama AS. Pola “permusuhan” yang dibangun Iran terhadap AS adalah “permusuhan” dengan batas-batas tertentu. Inilah harmonisasi yang menyesatkan atau menutupi fakta sebenarnya dari hubungan Iran-AS. Hal ini sudah ditunjukkan sejak AS membidik kawasan Timur Tengah, dan Iran ada di dalamnya. Sejak masa Syah Reza, dilanjutkan masa Khomeini, Ahmadinejad hingga sekarang. Bantuan AS terhadap Iran dan sebaliknya, sokongan Iran terhadap AS di Afganistan, Irak dan Suriah, menunjukkan hal tersebut. Bagi AS, Iran adalah pelayan kepentingannya di kawasan, dan hal ini akan tetap dijaga oleh siapa pun yang akan berkuasa di Iran.

Inilah yang dinyatakan oleh Robert Gates pada tanggal 12 Desember 2008 dalam Konferensi Keamanan Internasional di Bahrain seputar hubungan antara AS-Iran dan apa yang seharusnya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang berusaha mengubah rezim di Iran…Yang kami lakukan adalah menciptakan perubahan pada politik dan perilaku, dimana Iran akhirnya menjadi tetangga yang baik untuk negara-negara di kawasan, dan bukan menjadi sumber ketidakstabilan dan kekerasan.”

WalLahu ‘alam. [Dari berbagai sumber; H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si; Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Unikom Bandung]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*