Pasca Revolusi Iran tahun 1979, Hizbut Tahrir (HT) telah mengkritisi Konstitusi Iran yang waktu itu masih berbentuk draft (rancangan). Awalnya, seorang tokoh Iran bernama Mehdi Bazargan mempublikasikan draft itu pada Juni 1979. Selanjutnya berturut-turut pada 21, 22, dan 23 Agustus 1979, Harian As-Safir yang terbit di Libanon mempublikasikan draft tersebut setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Shadiq al-Husaini. HT kemudian mengkaji draft itu secara mendalam, setelah mendapat konfirmasi Kedutaan Besar Iran di Beirut yang menyatakan terjemahan itu cukup akurat dan dapat dipercaya.
Hasil kajian HT itu lalu dituangkan dalam sebuah kitab berjudul Naqdh Masyru’ ad-Dustur al-Irani (Kritik Terhadap Draft Konstitusi Iran) yang terbit 7 Syawal 1399 H (30 Agustus 1979). Kitab ini beserta lampirannya berupa Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah (Draft Konstitusi Negara Khilafah) yang disusun oleh HT secara resmi diserahkan oleh HT kepada Imam Khomeini dan Dewan Pakar (Lajnah al-Khubara‘) di Iran. Dua salinan kitab tersebut sebagai tembusan juga diserahkan kepada Majelis Revolusi (Al-Majlis ats-Tsawri) dan Ketua Partai Republik Islam (Al-Hizb al-Jumhuri al-Islami) di Iran.
Kritikan HT intinya menegaskan draft Konstitusi Iran itu tidak islami karena tidak didasarkan pada akidah Islam dan tidak diambil dari al-Quran dan as-Sunnah. HT menegaskan draft itu hanyalah modifikasi dari konstitusi sekular yang umum berlaku di negara-negara Barat yang kafir. Sayang, kritikan HT yang hakikatnya nasihat ini diabaikan begitu saja oleh Imam Khomeini dan Dewan Pakar. Mungkin hal itu karena faktor ta’ashshub (fanatik) buta terhadap mazhab Syiah dan ideologi demokrasi-sekular Barat yang meracuni banyak pasal dalam draft Konstitusi Iran tersebut.
Walhasil, draft Konstitusi Iran itu akhirnya diadopsi setelah referendum 24 Oktober 1979, dan diberlakukan secara resmi 3 Desember 1979. Konstitusi sebelumnya yang diberlakukan sejak 1906 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 28 Juli 1989, Konstitusi Iran itu diamandemen. Beberapa pasal direvisi, khususnya yang menyangkut Supreme Leader (Pemimpin Tertinggi). Semula Supreme Leader hanyalah Imam Khomeini, tetapi kemudian direvisi menjadi sebuah kelompok ahli/ulama yang dipilih rakyat. Jumlah pasal pun bertambah, semula 148 pasal kemudian menjadi 177 pasal. Namun, secara umum prinsip-prinsip umum yang ada tidak berubah. (en.wikipedia.org).
Kritik atas Aspek Filosofis
HT menilai draft Konstitusi Iran yang ada bukan konstitusi islami, dan jika diterapkan tidak akan menjadikan Iran sebagai Negara Islam. Penilaian HT ini didasarkan pada kriteria-kriteria dasar yang harus terpenuhi, yaitu kriteria Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah), kriteria Darul Islam, dan kriteria Konstitusi Islami (ad-dustur al-islami) (Naqdh Masyru’ ad-Dustuur al-Irani, hlm. 2).
Mengenai kriteria Negara Islam, HT menegaskan bahwa sebuah negara tidak dapat disebut Negara Islam, kecuali jika negara itu didasarkan pada akidah Islam. Artinya, segala sesuatu yang menyangkut institusi negara seperti konstitusi dan seluruh undang-undangnya, termasuk struktur pemerintahan-nya, wajib didasarkan pada akidah Islam, yang tercermin dalam al-Quran dan as-Sunnah. Demikian pula segala persepsi (mafahim), kriteria/standar (maqayis) dan keyakinan (qana’at) yang ada di negara itu, wajib pula berdasarkan akidah Islam (Ibid., hlm. 2).
Maka dari itu, sebuah negara tidak dapat disebut Negara Islam jika mengadopsi ide-ide yang tidak lahir dari akidah Islam seperti demokrasi, nasionalisme, kementerian (al-wizarah) menurut persepsi demokrasi, atau sistem republik. Ide-ide ini tidaklah tumbuh dari akidah Islam, melainkan lahir dan tumbuh dari ideologi sekular-demokrasi Barat. Bahkan akidah Islam mengecam dan menolak tegas ide-ide kufur seperti itu (Ibid, hlm. 2).
Adapun kriteria Darul Islam, HT menyatakan sebuah negeri (ad-dar) disebut Darul Islam jika memenuhi 2 (dua) syarat. Pertama: negeri itu menerapkan hukum-hukum Islam. Kedua: keamanan negeri itu dijaga oleh kaum Muslim.
Mengenai kriteria konstitusi islami, HT menyatakan sebuah konstitusi disebut konstitusi islami jika lahir dari akidah Islam, dalam arti, setiap pasal-pasalnya haruslah berupa hukum-hukum syariah (ahkam syar’iyyah) yang didasarkan pada dalil al-Quran dan as-Sunnah, atau sumber-sumber hukum lain yang ditunjukkan al-Quran dan as-Sunnah, seperti Ijmak Sahabat dan Qiyas.
Berdasarkan ketiga kriteria di atas, HT menyimpulkan Konstitusi Iran (yang waktu itu berbentuk draft), bukanlah konstitusi islami yang layak untuk sebuah Negara Islam atau Darul Islam. Sebagai buktinya, sebagian besar pasal konstitusi Iran terbukti tidak lahir dari akidah Islam, melainkan lahir dari ideologi Barat yang kufur, seperti demokrasi dan nasionalisme. Sebagian pasal memang terkesan islami meskipun tetap tak lepas dari kritik tajam HT, seperti pasal 12 bahwa, “Sesungguhnya agama resmi Iran adalah Islam…” (Ibid., hlm. 2-3).
Pasal-pasal yang menunjukkan pengaruh paham demokrasi, misalnya pasal bahwa bentuk sistem pemerintahan Iran adalah republik Islam (pasal 1). Pasal ini bertentangan dengan Islam, karena sistem republik bukanlah bentuk pemerintahan Islam, melainkan bentuk pemerintahan dalam sistem demokrasi Barat, baik republik presidensial maupun republik parlementer. Demokrasi itu sendiri—yang mendasari lahirnya sistem republik—adalah sistem kufur yang bertentangan dengan akidah Islam karena mengajarkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kedaulatan (hak tasyri’/membuat hukum) dan rakyat pula yang menjadi sumber kekuasaan. Presiden dalam sistem republik berkuasa dalam masa jabatan tertentu, misal 4 tahun.
Ini sangat berbeda dengan bentuk sistem pemerintahan yang lahir dari al-Quran dan as-Sunnah, yaitu Khilafah. Dalam Khilafah, kekuasaan memang milik umat, dalam arti pemimpin umat (Khalifah) memperoleh kekuasaan atas dasar pilihan umat, bukan atas dasar pewarisan. Namun, kedaulatan dalam Khilafah ada di tangan syariah, dalam arti hukum-hukum yang berlaku hanyalah hukum-hukum syariah yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, bukan hukum yang dibuat oleh rakyat (dalam lembaga legislatif). Khalifah tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu, karena Khalifah tetap dapat berkuasa selama menjalankan syariah Islam (Ibid, hlm. 3).
Pasal-pasal lainnya juga terpengaruh oleh paham nasionalisme Barat, misalnya pasal bahwa presiden Iran haruslah orang Iran asli dan bahwa bahasa resmi Iran adalah bahasa Persia (pasal 15). Jelas pasal-pasal ini tidak sesuai akidah Islam, karena tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Pasal-pasal itu sangat fatal kekeliruannya karena menjadikan negara Iran hanya sebagai negara-bangsa (nation-state) yang sempit, yakni hanya untuk bangsa Iran saja, bukan Negara Islam untuk seluruh kaum Muslim (Ibid, hlm. 3).
Pasal 12 yang sudah disinggung di atas, bunyi lengkapnya adalah, “Sesungguhnya agama resmi Iran adalah Islam dan mazhab Ja’fari Itsna ‘Asyariyah”. Dalam kitab Naqdh Masyru’ ad-Dustur Al-Irani (hlm. 5), HT mengkritik bahwa pasal ini tidak mempunyai makna apa-apa dalam penerapan hukum-hukum Islam. Pengamalan pasal itu hanyalah penetapan hari Jumat dan Idul Fitri/Adha sebagai hari libur, penetapan awal puasa, pengumuman ibadah haji, dan semisalnya, tidak lebih. Pasal serupa faktanya juga termaktub dalam konstitusi negara-negara sekular seperti Mesir, Irak dan Yordania yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan publik seperti sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan politik luar negeri.
Amir HT sekarang, Syaikh ‘Atha` Abu Rasytah, hafizhahulLah, juga memberikan kritik terhadap pasal 12 tersebut dalam tulisan beliau, “Waqi’ Iran bi an-Nisbah li as-Siyasah al-Amirikiyyah (2013).” Beliau menegaskan bahwa sebenarnya konstitusi Iran tidak didasarkan pada mazhab Ja’fari (Itsna ‘Asyariyah). Dalam arti pasal-pasal konstitusinya tidaklah diambil dari ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariah, melainkan diambil dari sistem pemerintah kapitalis Barat. Beliau juga menyatakan ajaran Syiah hanya dieksplotasi (diperalat) penguasa Iran demi kepentingan nasional Iran, bukan demi kepentingan mazhab Ja’fari (Itsna ‘Asyariyah) itu sendiri. Ini mirip dengan apa yang terjadi pada mazhab Hanbali yang diekspoitasi oleh para penguasa Arab Saudi. Mazhab-mazhab tersebut hanya dieksploitasi untuk mendapat simpati dan dukungan para penganutnya, dengan cara membangkitkan sentimen dan fanatisme mazhab demi mewujudkan kepentingan nasional versi penguasanya. (‘Atha` Abu Rasytah, “Waqi’ Iran bi an-Nisbah li as-Siyasah al-Amirikiyyah,” 21/08/2013).
Kritik atas Sejumlah Pasal
Selain memberikan kritik umum, HT juga memberikan kritik secara rinci untuk berbagai pasal Konstitusi Iran, baik mengenai prinsip-prinsip umum (general principles) maupun pengaturan berbagai aspek kehidupan.
Prinsip-prinsip umum tersebut terdapat dalam Konstitusi Iran pasal 1 hingga pasal 14. Sebagian prinsip umum sudah dijelaskan kritiknya di atas, seperti bentuk pemerintahan republik Islam (pasal 1). Pasal ini batil, karena bentuk pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan republik.
Selanjutnya, pasal 1 itu dijelaskan dalam pasal 2, yang maknanya “Republik Islam adalah sistem yang berdasarkan pada kepercayaan pada Tauhid, wahyu ilahi, Hari Kiamat, keadilan Tuhan, dan kelanjutan kepemimpinan untuk Revolusi.”
HT mengkritik, pasal 2 ini redaksinya terlalu umum karena menggunakan redaksi yang multitafsir sehingga bisa ditafsirkan sistem yang ada adalah sistem dari Islam atau bisa juga sistem dari selain Islam. Seharusnya, redaksinya disusun secara lebih cermat sehingga membatasi sistem yang ada hanyalah sistem dari Islam, bukan yang lain. Misalnya disusun dengan redaksi: “Sistem yang diberlakukan negara, adalah sistem yang lahir dari akidah Islam, yang diambil dari al-Quran dan as-Sunnah atau dari sumber hukum lain yang ditunjukkan oleh al-Quran dan as-Sunnah.” (Ibid, h. 4).
HT juga mengkritik pasal 6 yang menyatakan: “Segala urusan negara diatur berdasarkan opini umum (public opinion), yang terwujud dalam berbagai pemilihan umum, seperti pemilihan presiden, pemilihan anggota Majlis Syura Islami…”
HT mengkritik, seharusnya dasar pengaturan negara bukan opini umum, melainkan akidah Islam. Segala urusan yang menyangkut negara, seperti pengaturan struktur negara dan apa saja yang terkait dengannya seperti pemilihan kepala negara dan anggota lembaga perwakilan, wajib berdasarkan akidah Islam, bukan berdasarkan opini umum. Pasal ini bagi HT membuktikan penyusun Konstitusi Iran adalah orang yang terpengaruh demokrasi Barat, yang menyatakan bahwa pengaturan negara haruslah berdasarkan kehendak umum masyarakat (volonte generale) (Ibid, hlm. 4).
Inilah sekilas contoh-contoh pasal-pasal dalam prinsip-prinsip umum (general principles) yang bermasalah (misal terlalu umum pengertiannya) atau bertentangan dengan Islam. Pasal-pasal selanjutnya mengenai rincian pengaturan berbagai bidang kehidupan, faktanya juga seperti itu, bisa jadi bermasalah, atau bisa jadi bertentangan dengan Islam.
Contohnya, pasal 18 tentang bendera yang berbunyi: “Bendera resmi Iran tersusun dari warna hijau, putih dan merah, khusus untuk Republik Islam Iran dan motto bertuliskan Allahu Akbar.” Ini tidak sesuai dengan Islam karena bendera ini adalah bendera bagi negara-bangsa (nation-state), bukan bendera bagi Negara Islam. Bendera Negara Islam wajib mengikuti contoh bendera Rasulullah saw., yaitu rayah yang berwarna hitam dengan tulisan putih berbunyi La ilaha illalLah Muhammad Rasulullah, dan liwa` yang berwarna putih dengan tulisan hitam berbunyi La ilaha illalLah Muhammad Rasulullah (Ibid., hlm. 7).
Contoh lainnya, pasal 57 yang menjelaskan bahwa kekuasaan dibagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang independen satu sama lain. Pasal ini bertentangan dengan Islam dan membuktikan sumbernya bukan akidah Islam, melainkan demokrasi Barat, yaitu ide Trias Politika dari Montesquieu mengenai separation of powers (pemisahan kekuasaan) (Ibid, hlm. 5).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pasal-pasal yang mengatur berbagai bidang kehidupan juga tak lepas dari kritikan tajam HT, bisa jadi karena ketidakjelasan redaksi pasalnya, atau bisa jadi karena pasal-pasalnya hanyalah mengadopsi begitu saja dari hukum-hukum Barat yang kufur.
WalLahu a’lam. []