Masjid Jami’ al-Mansyur—dulu bernama Masjid Jami Kampung Sawah—merupakan salah satu masjid tua di Jakarta. Masjid ini terletak di Kelurahan Jembatan Lima Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Masjid ini pertama kali dibangun tahun 1130H/1717M oleh Abdul Malik putra dari Pangeran Cakrajaya yang sebelumnya bergabung dengan pasukan Mataram menyerang Belanda di Batavia. Hal ini bisa dilihat dalam catatan tahun pembangunan masjid bermenara setinggi 50 meter, berkubah seperti topi baja kompeni, dan berjendela di sepanjang batang menaranya ini.
Sejarah masjid yang di topang oleh empat sokoguru yang kokoh dan tampak kekar di tengahnya ini tak lepas dari kiprah pahlawan nasional KH Mohammad Mansyur. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama masjid jami’ bersejarah ini dan nama jalan yang melintas tak jauh dari masjid ini. Tahun 1980 berdasarkan SK Mendikbud serta SK Gubernur DKI, masjid ini terdaftar sebagai benda cagar budaya.1
H. Muhammad Mansyur al-Batawi atau yang lebih di kenal Guru Mansyur merupakan tokoh yang dipandang sebagai guru sejati oleh masyarakat Betawi. Ia sezaman dengan Guru Mughni dari Kuningan. Kedua tokoh inilah yang dikatakan oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta”.
Guru Mansyur adalah seorang ilmuwan Betawi pada zaman penjajahan Belanda. Guru Mansyur memperdalam ilmu agamanya di Makkah selama empat tahun. Kemudian ia mengajar di Jamiatul Khair. Di sinilah beliau berkenalan lebih dekat dengan tokoh-tokoh Islam. Tercatat ada 19 karya yang telah ia hasilkan, di antaranya: Kayfiyah al-‘Amal Ijtima’, Khusuf wa al-Kusuf, Tadzqirah an-Nafi’ah fi sihah ’amal ash-Shawm wa al-Fitr, Jadwal Faraid serta Al-Lu’lu al-Mankhum fi Khulashah Mabahist Sittah ‘Ulum.2
Masjid al-Mansyur tidak pernah sepi dari kegiatan dakwah Islam. BerbYagai kajian keislaman mulai fikih, akidah hingga muamalah dikaji secara lengkap. Bahkan dari masjid ini pula muncul pergolakan perjuangan menentang penjajahan Belanda.
Hingga dua abad setelah pembangunan, kegiatan dakwah tetap diteruskan oleh keturunan Abdul Malik, seperti Imam Muhammad Habib, dan ulama-ulama perantau seperti Imam Muhammad Arsyad al-Banjari, pengarang kitab Sabil al-Muhtadin.3
Di masjid tersebut, Imam Muhammad Arsyad al-Banjari banyak menyampaikan buah pikirannya yang tertuang dalam kitab karangannya kepada seluruh jamaah. Kitab Sabil al-Muhtadin terdiri atas 2 (dua) juz. Juz pertama tebalnya 252 (dua ratus lima puluh dua) halaman. Juz kedua tebalnya 272 (dua ratus tujuh puluh dua) halaman. Kedua juz ini merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bahkan ada topik yang dibicarakan pada akhir juz pertama diselesaikan pembahasannya pada juz kedua.
Pembagian isi dalam Sabil al-Muhtadin ini dinyatakan dengan istilah kitab-kitab. Keseluruhannya ada 8 (delapan) kitab, yaitu: 1. Kitab at-Thaharah, yakni suatu kitab yang menyatakan tentang bersuci. 2. Kitab ash-Shalat, yakni kitab yang menyatakan tentang shalat. 3. Kitab az-Zakat, yakni kitab yang menyatakan hukum zakat. 4. Kitab ash-Shiyam, yakni kitab yang menyatakan puasa. 5. Kitab al-I’tikaf, yakni kitab yang menyatakan i’tikaf di masjid. 6. Kitab al-Haji wa al-Umrah, yakni kitab yang menyatakan haji dan umrah. 7. Kitab ash-Shayd wa adz-Dzaba’ih, yakni kitab yang menyatakan hukum binatang perburuan dan sekalian yang disembelih. 8. Kitab al-Ith’amah, yakni kitab yang menyatakan barang yang halal dan barang yang haram. Tidak ada catatan apakah Syaikh Arsyad menyelesaikan seluruh kajian dalam kitabnya di massjid tersebut.
Namun, Syaikh Arsyad, selain memberikan kajian keislaman, ternyata juga melakukan perbaikan letak mihrab masjid. Pembentulan arah kiblat itu diakukan bersama-sama dengan sejumlah ulama lokal pada 2 Rabiul Akhir 1181 H atau 11 Agustus 1767 M. Dua abad berikutnya, tanggal 25 Sya’ban 1356 H / 1937 M, di bawah pimpinan KH Muhammad Mansyur bin H Imam Muhammad Damiri, diadakan perluasan bangunan masjid. Berturut kemudian, untuk menjaga terpeliharanya tempat suci serta makam-makam para ulama (di depan kiblat), di sekitar masjid dibuatkan pagar tembok (sekarang berpagar besi).
Selain berfungsi sebagai tempat kajian dan syiar Islam, Masjid al-Mansur juga berfungsi sebagai benteng perlawanan melawan penjajah Belanda. Pada masa awal setelah proklamasi kemerdekaan, masjid ini digunakan oleh KH Muhammad Mansur sebagai tempat mobilisasi pejuang sekitar Tambora untuk melawan Belanda. Semangat jihad dikobarkan oleh sang guru ke seluruh jamaah dan masyarakat Tambora untuk melawan kezaliman. Tercatat pernah sebuah pertempuran frontal terjadi di muka masjid. Terjadi baku tembak antara pejuang yang dikomandoi oleh Guru Mansyur yang berlindung di masjid dengan tentara NICA yang kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa bergeser ke selatan menuju daerah Kota lalu menyebar ke sekitar Tambora.4
Baku tembak itu dipicu oleh tindakan berani KH Muhammad Mansur yang menyerukan jihad yang disimbolisasi dengan pengibaran Bendera Merah Putih di atas kubah menara masjid ini. Sesudah peristiwa tersebut, KH Muhammad Mansur lalu dipanggil ke Hofd Bureau [Polsek] untuk diadili dan ditahan atas tindakannya itu. []
Catatan kaki:
1 http://bujangmasjid.blogspot.com/2012/03/masjid-jami-al-mansyur-kampung-sawah.html
2 http://pangerantubagusangke.blogspot.com/2012/08/masjid-al-mansur-1717sawah-lio-jembatan.html
3 http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=BlBbU1RQV11S
4 http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/771/Al-Mansur-Masjid