HTI

Tafsir (Al Waie)

Menyadari Kelemahan Manusia

(Tafsir QS ath-Thariq [86]: 1-7)

وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ *وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ * النَّجْمُ الثَّاقِبُ * إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ * فَلْيَنْظُرِ الإنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ * خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ * يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ *

Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? Itulah bintang yang cahayanya menembus. Tidak ada suatu jiwa pun melainkan ada penjaganya. Karena itu hendaklah manusia memperhatikan, dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan (QS ath-Thariq [86]: 1-7).

Surat ini dinamakan ath-thâriq, diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama. Surat yang terdiri dari tujuh belas ayat ini merupakan Makkiyyah.1 

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Sunan an-Nasa’i al-Kubrâ dari Jabir ra. yang berkata: Ketika shalat maghrib, Muadz membaca surat al-Baqarah dan an-Nisa’. Lalu Nabi saw. bersabda, “Apakah engkau ingin menyebarkan fitnah, wahai Muadz? Cukuplah bagimu surat ath-Thariq, asy-Syams, adh-Dhuha dan surat-surat semacamnya.”

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wa as-samâi wa ath-thâriq (Demi langit dan yang datang pada malam hari). Huruf al-wâwu di depan kata as-samâ‘ merupakan wâwu al-qasam, yang berguna untuk menyatakan sumpah. Yang dijadikan sebagai al-muqsam bih adalah as-samâ‘i dan ath-thâriq.

Secara bahasa, kata as-samâ‘ berarti segala sesuatu yang berada di atas.2 Dikatakan juga oleh Wahbah az-Zuhaili, kata as-samâ‘ berarti semua yang berada di atas Anda dan menaungi Anda.3 Kemudian kata tersebut menunjuk pada sesuatu berhadapan dengan bumi, terlihat di atasnya, seperti kubah berwarna biru.4

Sebagaimana layaknya sumpah, sesuatu yang dijadikan sebagai objek sumpah (al-muqsam bih) merupakan perkara besar dan agung. Menurut Fakhruddin ar-Razi, dalam Kitab-Nya Allah SWT banyak menyebut as-samâ‘ (langit), asy-syams (matahari) dan al-qamar (bulan) karena keadaan semua benda tersebut—baik dari segi bentuk, perjalanan, terbit dan terbenamnya—sangat mengagum-kan.5 

Adapun ath-thâriq pada asalnya merupakan bentuk fâ’il dari kata ath-tharq yang berarti adh-dharb (memukul, mengetuk), yang pukulannya sangat keras hingga terdengar suaranya. Dari kata tersebut terdapat kata al-mathriqah (palu, martil) dan tharîq (jalan). Kemudian secara ‘urf (kebiasaan), kata tersebut bermakna orang yang berjalan di suatu jalan. Disebut demikian karena terbayangkan dari orang yang sedang berjalan seolah-olah sedang memukul jalan dengan telapak kakinya. Selanjutnya pengertian tersebut menjadi populer dan menjadi makna hakiki. Kata tersebut juga dikhususkan untuk menyebut sesuatu atau seseorang yang datang pada malam hari. Sebab, pada malam hari sebagian besar pintu dalam keadaan terkunci sehingga (untuk masuk) harus diketuk. Makna tersebut kemudian meluas mencakup segala sesuatu yang tampak pada malam hari.6 

Bahwa ath-thâriq bermakna semua yang datang pada malam juga disampaikan banyak mufassir. Dikatakan al-Baidhawi, secara ‘urfi kata ath-thâriq dikhususkan untuk menunjuk sesuatu yang datang pada malam hari, dan kemudian digunakan untuk sesuatu yang terbe-nam.7Diterangkan juga oleh Fakhruddin ar-Razi, ath-thâriq adalah segala sesuatu yang datang pada malam hari, baik bintang maupun lainnya. Tidak disebut thâriq jika datang pada siang hari. Bukti pengertian tersebut adalah ucapan kaum Muslim dalam doa mereka: Na’udzu bilLâh min thawâriq al-layl (Kami berlindung kepada Allah dari sesuatu yang datang pada malam hari). Ada juga hadis dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

يَكْرَهُ أَنْ يَأْتِىَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ طُرُوقًا

Beliau tidak suka laki-laki datang kepada keluarganya malam hari (HR al-Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad).

 

Dalam konteks ayat ini, ath-thâriq berarti an-najm (bintang), sebagaimana dijelaskan ayat berikutnya. Bintang disebut thâriq karena hanya bisa dilihat pada malam hari dan tidak tampak pada siang hari.8 

Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka mâ ath-thâriq (Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?). Kalimat tanya dalam ayat ini berguna untuk menyatakan at-ta’ajjub wa at-ta’zhîm (kekaguman dan pengagungan).9 Pertanyaan tersebut diharapkan dapat memunculkan rasa penasaran bagi pendengarnya untuk mengetahui hakikat perkaranya lebih jelas.

Menurut Sufyan bin Uyainah, segala sesuatu yang di dalam al-Quran disebutkan mâ adrâka, telah diberitakan oleh Rasulullah saw. Adapun yang disebutkan mâ yudrîka, belum diberitakan, seperti firman Allah SWT:

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيبٌ

Tahukah kamu, boleh jadi Hari Kiamat itu (sudah) dekat? (QS asy-Syura [42]: 17).

           

Selanjutnya Allah SWT berfirman: An-Najm ats-tsâqib (Itulah bintang yang cahayanya menembus). Kata an-najm berarti al-kawkab ath-thâli’ (bintang atau planet yang terbit).10 Adapun ats-tsâqib awalnya berarti al-khâriq (yang menembus), kemudian berkembang menjadi al-mudhî‘ (yang bersinar, bercahaya) lantaran dapat menembus kegelapan. Kadang kata itu dikhususkan untuk menyebut bintang dan meteor karena cahayanya yang dapat menembus antariksa.11 

Dengan demikian an-najm ats-tsâqib berarti bintang yang bersinar. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut bermakna al-jins sehingga mencakup semua bintang. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Hasan.12 Qatadah juga mengatakan bahwa kata tersebut meliputi semua bintang karena terbitnya pada malam hari dan semua yang datang pada malam hari adalah thâriq.13 

Ada juga yang memaknai kata itu sebagai al-ma’hûd sehingga menunjuk pada suatu bintang tertentu. Menurut Ibnu ‘Abbas, itu adalah bintang al-Jadi.14 Ibnu Zaid menafsirkan kata itu sebagai bintang Tsurâya. Menurut al-Farra`, itu bintang Zuhal karena sinarnya menembus langit yang tujuh. Ada juga yang menafsirkan bahwa itu adalah asy-Syuhub (bintang meteor) yang digunakan untuk melempari setan. Penafsiran ini dikaitkan dengan firman Allah SWT:

فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ

Lalu ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang (QS ash-Shaffat [37]: 10).15

 

Di antara yang berpendapat demikian adalah as-Sudi. Dia berkata, “Sinarnya menembus setan apabila sinarnya diarahkan kepada dia.” Ikrimah berkata, “Makna ats-tsâqib adalah yang bersinar, yang sinarnya dapat membakar setan-setan.16 

Setelah disebutkan al-muqsam bih, kemudian Allah SWT berfirman: In kullu nafs[in] lammâ ‘alayhâ hâfidz (Tidak ada suatu jiwa pun melainkan ada penjaganya). Kalimat ini berkedudukkan sebagai jawâb al-qasam atas sumpah yang disebutkan pada ayat pertama. Adapun dua ayat yang berada di antara al-muqsam bih dan jawâb al-qasam merupakan i’tirâdh (kalimat sisipan).17 

Ayat ini memberikan penegasan bahwa bagi setiap jiwa terdapat hâfizh. Ada beberapa penafsiran tentang makna hâfizh di sini. Pertama: mereka adalah para pengawas yang senantiasa menulis perbuatan manusia, baik yang kecil maupun yang besar.18 Pendapat ini dikuatkan dengafirman Allah SWT:

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ * كِرَامًا كَاتِبِينَ*

Padahal sesungguhnya atas kalian ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu) (QS al-Infithar [82]: 9-10).

 

Kedua: yang menjaga amal, rezeki dan ajalnya. Apabila ajal dan rezekinya telah habis maka dia menyerahkannya kepada Tuhannya.19 Qatadah berkata, “Itulah para penjaga yang memelihara dirimu, amalmu, dan ajalmu. Dikatakan juga, “Dia adalah qarîn-nya, yang menjaga dirimu dan amalmu, yang baik maupun yang buruk.”20 

Ketiga: yang menjaga jiwa dari kebinasan dan kehancuranya sehingga tidak akan menimpa pada suatu jiwa kecuali apa yang telah ditetapkan Allah SWT atas dirinya.21 Dikatakan oleh Ibnu Katsir, bahwa setiap jiwa memiliki penjaga dari Allah SWT yang menjaga jiwa itu dari berbagai bencana, sebagaimana firman Allah SWT:

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ

Bagi manusia ada para malaikat yang selalu mengikuti dirinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaga manusia atas perintah Allah (QS ar-Ra’d [13]: 11).

         

Ditegaskan oleh asy-Syaukani, al-hâfizh (penjaga, pengawas, dan pemelihara) sebenarnya adalah Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia Maha Penyanyang di antara Para Penyanyang (QS Yusuf [12]: 64).

         

Adapun penjagaan dan pengawasan malaikat berasal dari Allah SWT sebab mereka melakukan hal itu atas dasar perintah-Nya.22

Kemudian Allah SWT berfirman: Falyanzhur al-insân mimma khuliqa (Karena itu hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?). Ayat ini memerintahkan manusia untuk memperhatikan dan memikirkan tentang asal-usul kejadiannya. Dikatakan oleh al-Qurthubi, frasa mimma khuliqa (dari apa dia diciptakan) merupakan istifhâm (kalimat tanya), yang berarti min ayyi sya’i (dari apa dia diciptakan).23 

Huruf al-fâ‘ menunjukkan bahwa keberadaan setiap jiwa yang memiliki penjaga itu mengharuskan manusia untuk memikirikan awal mula penciptaannya agar dia mengetahui kekuasaan Allah atas sesuatu yang lebih mudah, yakni menghidupkan sesuatu itu kembali.24

Lalu dijawab dengan ayat berikutnya: khuliqa min mâ‘[in] dâffiq[in] (dia diciptakan dari air yang dipancarkan). Ayat ini merupakan jawâb al-istifhâm, jawaban atas pertanyaan yang disebutkan dalam ayat sebelumnya.25 Ditegaskan bahwa setiap jiwa manusia diciptakan dari mâ‘ dâfiq, air yang terpancar. Yang dimaksud dengan al-mâ‘ di sini adalah al-mani (air mani, sprema). Adapun ad-dâfiq merupakan bentuk fâ’il dari kata ad-dafq yang berarti ash-shabb (menuangkan, memancar-kan).26 Kata dâfiq di sini berarti madfûq (yang dipancarkan).27

Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya: Yakhuruju min bayni ash-shulb wa at-tarâ-ib (yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan). Artinya, air yang menjadi asal-usul manusia itu adalah air yang keluar dari antara ash-shulb da al-tarâib. Ash-Shulb adalah azh-zhuhr (punggung). Adapun at-tarâib berarti ash-shadr (dada). Bentuk tunggalnya adalah tarîbah, bagian dada yang menjadi tempat kalung.28 

Menurut para mufassir, air yang terpancar itu berasal dari shulbi min ar-rajul (tulang punggung laki-laki) dan tarâb min al-mar’ah (tulang dada perempuan).29 Itulah asal-muasal manusia. Realitas ini dapat dilihat siapa pun.

 

Menyadari Kelemahan Manusia

Banyak pelajaran penting yang diambil dari ayat-ayat ini. Di antaranya adalah kewajiban manusia untuk menyembah dan menaati Allah SWT secara total dalam kehidupan. Setidaknya ada dua hal yang diingatkan ayat ini mengapa sikap ini harus dilakukan. Pertama: betapa lemah dan kecilnya manusia. Surat ini diawali dengan sumpah Allah SWT yang menyebut langit dan bintang-bintang. Siapa pun yang mengarahkan pandangannya ke langit akan melihat betapa besar dan luasnya alam semesta ini. Jangankan meciptakan langit, sekadar menjangkau pun manusia tidak mampu. Apalagi jika ditambahkan bintang-bintang yang menghiasi langit pada malam hari. Benda langit itu bertebaran di angkasa, tak terhitung jumlahnya oleh manusia. Benda langit itu jaraknya amat jauh dari bumi sehingga tampak kecil, padahal sesungguhnya amat besar. Semuanya beredar sesuai dengan garis orbitnya dengan rapi. Realitas kebesaran alam semesta sekaligus menunjukkan kebesaran, kekuasaan dan keagungan Penciptanya.

Pemandangan itu kontras dengan realitas manusia. Betapa kecilnya manusia dibandingkan dengan langit dan bintang-bintang itu. Dia bagaikan debu di hamparan jagad raya ini. Jika demikian halnya, atas dasar apa manusia bisa bersikap sombong dan takabur; bahkan berani menentang Pencipta alam raya?

Tampak makin lemah dan remeh tatkala manusia mau melihat asal-usulnya. Manusia berasal dari air hina yang keluar dari tulang punggung ayah dan tulang dada ibunya. Lalu air itu tepancar, kemudian berpadu dan tersimpan dalam rahim ibunya. Selanjutnya Allah SWT menciptakan dari air itu manusia sempurna. Jika demikian asal-usulnya, atas dasar apa manusia berani menjadi musuh yang nyata bagi Allah SWT? Mengapa dia berani menolak, bahkan menghina syariah-Nya? Sungguh hanya manusia paling bodoh dan jahat yang melakukan tindakan itu!

Kedua: adanya penjaga dan pengawas yang menjaga, mengawasi dan mencatat semua perbuatan manusia. Realitas ini mengharuskan manusia untuk menaati Allah SWT dalam keadaan apa pun. Dalam keadaan sepi, dia memang bisa terhindar dari penglihatan manusia. Namun, dia tidak bisa bersembunyi dari malaikat yang mengawasi dirinya. Tentu, dia pun mustahil terlepas dari penglihatan-Nya, yang lebih dekat dari urat lehernya. Allah SWT berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir (QS Qaf [50]: 18).

 

Bertolak dari dua hal tersebut, tidak ada alasan bagi manusia kecuali tunduk kepada Allah SWT dan patuh pada syariah-Nya.

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []

 

Catatan kaki:

1       Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994); al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 305.

2       Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Darul al-Qalam, 1992), 427.

3       Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 174.

4       Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3, 115.

5       Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 117.

6       Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 305.

7       Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, ; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 448.

8       Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 368.

9       As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 467.

10      Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 791.

11      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 306.

12      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 306.

13      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,

14      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 306.

15      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 117-118.

16      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 368.

17      Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 508.

18      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 119.

19      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 119.

20      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 3.

21      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 119.

22      Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 508.   

23      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 4.

24      Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 508.

25      Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 508.

26      Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 508.

27      Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: al-Rsalah, 2000), 354.

28      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 5.

29      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 5. Lihat juga ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 119.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*