Terpilihnya Rouhani sebagai presiden Iran menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah Rouhani akan membawa perubahan penting bagi kawasan Timur Tengah? Akankah Rouhani mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan Dunia Islam, mempertegas sikap Iran terhadap Amerika dan Israel; ataukah justru sebaliknya? Benarkah pemerintahan Iran sejak era Khomeini benar-benar bermusuhan dengan Amerika? Benarkah pemerintahan Iran menerapkan prinsip-prinsip ajaran Syiah Imamiyah.
Politik Luar Negeri Iran
Sejak masa Reza Pahlevi, Iran telah memerankan diri untuk menjadi penjaga kepentingan Amerika Serikat (AS). Selama kekuasaan Reza Pahlevi, AS tetap ikut campur terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah Iran. Salah satunya adalah kebijakan membentuk SAVAK, yaitu satuan polisi rahasia yang secara efektif membunuhi ribuan rakyat Iran yang anti pemerintahan Pahlevi. SAVAK berdiri atas dukungan dan rancangan CIA. Amnesty Internasional mencatat bahwa Iran memiliki tahanan politik berjumlah 2.200 pada tahun 1978. Pada masa itu Pahlevi membuat kebijakan-kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung menguntungkan Barat, AS dan sekutunya.
Kemajuan yang dicapai Iran akibat kebijakan westernisasi Pahlevi berkiblat sepenuhnya kepada Barat. Perusahaan-perusahaan minyak AS diijinkan beroperasi di Iran dan mendapatkan proteksi sepenuhnya dari pemerintahan Pahlevi. Akibatnya, minyak Iran disedot dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan AS. AS pun memberikan dukungan kepada Pahlevi dan menjadikan dia sebagai sekutu terdekat AS.
Namun, kebijakan westernisasi Pahlevi memunculkan penolakan di dalam negeri. Kelompok-kelompok agama dan kelompok kiri, dalam batas-batas tertentu, terus menyerang kebijakan-kebijakan Pahlevi. Kelompok-kelompok ini, khususnya partai-partai komunis, terus melawan pemerintahan Pahlevi dan mengobarkan semangat anti Barat. Akibatnya, eskalasi politik di Iran semakin lama semakin meningkat dan memanas. Campur tangan Barat terhadap perekonomian Iran, serta tekanan dari kelompok komunis, telah mendorong Pahlevi membuat kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Di antara kebijakan kontroversialnya adalah pembubaran Partai Tudeh Iran yang berhaluan komunis (yang berkiblat ke Rusia serta secara teknis mendapat bantuan dari Rusia).
Oleh karena itu, untuk membendung pengaruh Rusia serta mengamankan kepentingan-kepentingan politik dan ekonominya di Iran, AS menyiapkan kontra Revolusi Iran, dengan memanfaatkan kelompok agama yang reaksioner di Iran. AS harus segera melengserkan Pahlevi dan mencari pengganti Pahlevi yang dicintai rakyat Iran, tetapi bisa tetap menjaga kepentingan AS di Iran dan Timur Tengah dan bisa membendung pengaruh komunis di Iran dengan membuat “sabuk hijau” (green belt). Keadaan saat itu hampir mirip dengan operasi AS di Afganistan dan Pakistan yang memanfaatkan gerakan Islam (Mujahidin) untuk melawan pengaruh Rusia. Operasi AS di Iran juga hampir mirip dengan operasi AS untuk menjatuhkan Soekarno untuk membendung pengaruh komunis serta menjaga kepentingan-kepentingan politik-ekonomi AS di Asia Tenggara.
Operasi menjatuhkan Pahlevi pun digelar. Pada tahun 1979 terjadi eskalasi politik besar di Iran. Gelombang massa yang menuntut pelengseran Syah Iran terus membesar. Akhirnya, revolusi itu berhasil memaksa Syah Iran untuk turun dari kursi kepemimpinannya. Revolusi itu sekaligus menaikkan Khomeini, yang memang sudah disiapkan sejak lama oleh AS, sebagai presiden Iran.
Khomeini adalah seorang mullah yang awalnya tidak terkenal. Ia diasingkan di Najaf, Irak. Lalu atas inisiasi dari Inggris, Prancis dan Amerika Serikat, ia dibawa ke Paris. Khomeini lalu dikenalkan kepada publik dunia melalui sebuah program regular di BBC. Akhirnya, dalam Konferensi Guadeloupe, Barat memutuskan mendukung Khomeini untuk merebut kekuasaan dari Syah Iran. Persekongkolan Khomeini dengan negara-negara bajingan Barat sudah dimulai sejak ia tinggal di Prancis.
Pada saat Khomeini berada di Prancis, yakni di Neauphle-le-Chateau, ia sering dikunjungi delegasi Gedung Putih, bekerjasama dengan AS. Pada tanggal 1 Desember tahun 2000, fakta itu terungkap lewat mulut Presiden Iran Abu al-Hasan Banu Shadr (1980-1981). Ia mengatakan bahwa delegasi Gedung Putih datang ke Neauphle-le-Chateau, tempat Khomeini tinggal, dan ditemui oleh Yazdi, Bazarkan, Musavi dan Erdibily. Pertemuan kedua belah pihak tidak hanya terjadi sekali. Dari beberapa pertemuan tersebut ada sebuah pertemuan penting dan terkenal, yaitu pertemuan di daerah Suburbant, Prancis. Di dalam pertemuan itu disepakati perjanjian-perjanjian antara kelompok Reagen dan Bush dengan kelompok Khomeini. Khomeini menyatakan siap bekerjasama dengan AS, asalkan AS tidak mencampuri urusan dalam negeri Iran. Setelah itu, pada tanggal 1 Pebruari 1979, Khomeini pulang ke Iran. AS pun menekan Shahpour Bakhtiyar untuk menyerahkan kekuasaannya, dan mengancam panglima militer Iran jika menghalangi jalan Khomeini.
Setelah berhasil menjatuhkan Syah Iran, Khomeini mengumumkan pendirian Republik Islam Iran. Pendirian Republik Islam Iran tentu tidak secara otomatis menandai penerapan Islam di Iran. Sebab, Khomeini mendirikan Republik Islam Iran bukan untuk menerapkan Islam ala Syiah Imamiyah, tetapi sebagai bukti kepatuhannya terhadap rancangan AS dalam membangun “sabuk hijau” yang bisa membentengi Iran dari pengaruh komunis, menjaga kepentingan AS di Timur Tengah serta untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi dari kelompok Syiah.
Memang, di dalam konstitusi Iran tercantum pasal yang menyatakan “Agama resmi Iran adalah Islam dan Madzhab Ja’fari Itsna ‘Asyar”. Namun tenyata, bentuk negara, sistem pemerintahan dan mekanisme pemerintahan Iran tidak merujuk pada mazhab Syiah 12, tetapi tetap merujuk pada demokrasi-sekular. Sama seperti negara Saudi Arabia yang mencantumkan madzhab Hanbali, namun faktanya mereka tidak menjadikan negara Saudi tegak di atas ajaran-ajaran mazhab Hanbali. Pencantuman mazhab seperti ini dalam konstitusi negara, baik di Saudi, Iran, dan negeri lain, lebih ditujukan agar penguasa antek itu mendapat dukungan dari kelompok tertentu di dalam negeri. Fakta politik luar negeri Iran atas penduduk Azerbaijan juga merupakan dalil sharih atas penipuan Pemerintah Iran terhadap kelompok Syiah 12. Pada akhir tahun 1989, masyarakat Azerbaijan berusaha memisahkan diri dari kungkungan Rusia, dan hendak menyatukan diri dengan Iran. Mereka menghancurkan perbatasan dengan Iran demi bersatu dengan Iran. Pada awal tahun 1990, Rusia membantai penduduk Azerbaijan, dan menghalangi maksud mereka yang ingin bersatu dengan Iran. Lalu apa yang dilakukan Iran? Ternyata Iran diam seribu bahasa dan sama sekali tidak mengulurkan tangannya untuk membantu orang-orang Azerbaijan. Padahal mayoritas penduduk Azerbaijan adalah pengikut mazhab pemerintahan Iran. Iran juga tidak membantu Azerbaijan pada saat Armenia—yang disokong oleh Rusia—mencaplok 20% wilayahnya, membantai penduduknya serta mengusir bangsa Azer dari wilayahnya pada tahun 1994. Apa yang dilakukan Iran? Ternyata, Iran lebih suka mengembangkan hubungan dengan Armenia dibandingkan dengan Azerbaijan. Bahkan Iran mendukung kelompok yang tidak ada kaitannya dengan Islam, seperti kelompok Michael Aon dan gerakan sekular seperti gerakan Nabih Berry, dan gerakan-gerakan lain di Libanon yang berada dalam kontrol AS.
Program Nuklir Iran untuk Kepentingan AS
Terhadap program nuklir Iran, AS berkali-kali menghalangi Negara Israel—atas dorongan dan dukungan negara Eropa—untuk mengancurkan program nuklir Iran. Hingga sekarang pun, AS tetap menghalangi entitas Yahudi menghancurkan program nuklir Iran. Amerika memberi ijin kepada Israel untuk menyerang instalasi nuklir Irak yang hampir terbangun pada masa Shaddam Husein pada tahun 1981. Namun, AS melarang Israel menyerang instalasi nuklir Iran yang sudah memurnikan uranium hingga kadar 20%. Ini menunjukkan bahwa AS berusaha menjaga eksistensi pemerintahan Iran untuk kepentingan AS di kawasan Timur Tengah.
Pembicaraan program nuklir Iran sudah berlangsung sejak tahun 2003. Namun, AS hanya memfokuskan diri pada sanksi, bukan pada pengurangan atau pelucutan hulu ledak. Hanya saja, AS tidak pernah serius memberikan sanksi kepada Iran, atau berusaha menyelesaikan masalah program nuklir Iran dengan tuntas. AS berusaha menakut-nakuti negara-negara Timur Tengah dengan eksistensi nuklir Iran untuk menciptakan ketergantungan negara-negara Timur Tengah terhadap pengaruh dan kekuatan militer AS.
Propaganda Palsu “Anti Amerika”
Banyak orang, termasuk kalangan analis politik, tertipu dengan propaganda anti Amerika yang terus digulirkan oleh para penguasa Iran. Padahal “propaganda anti Amerika” oleh Iran adalah dagelan yang memuakkan. Propaganda ini diperlukan untuk menutupi persekongkolan jahat mereka sekaligus untuk menjaga dukungan dari dalam negeri.
Persekongkolan Iran dengan Israel juga sudah terjadi sejak masa Khomeini. Ketika pecah perang Iran-Irak (tahun 1980 -1988), Khomeini menjalin kesepakatan dengan Israel dalam hal penguatan persenjataan Iran. Dr. Trita Parsi, pengarang buku Treacherous Alliance – The Secret Dealings of Israel, Iran, and United States, yang diterbitkan oleh Yale University Press, 2007, menyatakan bahwa Iran telah menjalin kerjasama militer dengan Israel dan AS. Pengamat memperkirakan penjualan senjata ke Iran selama perang Iran-Irak mencapai US$ 500 juta pertahun. Majalah Time juga melaporkan, pada tahun 1980 dan 1981, Israel telah membuka account bank di Swiss untuk meng-handle kesepakatan-kesepakatan finansial terakhir. Laporan dari Konggres AS untuk Investigasi Iran dan Kontra Affair, yang dikeluarkan pada tahun 1987 menyebutkan, penjualan senjata AS ke Iran melalui Israel sudah dimulai pada tahun 1985. Penjualan tersebut meliputi 2000 buah misile TOW dan 235 suku cadang misile Hawk. Selain itu, juga dilakukan pengapalan melalui Israel ke Iran, persenjataan AS yang nilainya lebih dari US$ 2 miliar, yang meliputi 18 buah pesawat pengebom F4, 46 buah Skyhawk pengebom, 4000 misile, dan lain sebagainya.
Khomeini hingga Khatami merupakan pemegang kontrol penuh atas ladang-ladang minyak di Iran. Mereka bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan minyak Barat yang beroperasi di Iran. Hampir seluruh keuntungan dari ladang-ladang minyak tersebut masuk ke kantong mereka, termasuk orang-orang yang ada di dalam lingkaran mereka dan para ulama Syiah.
Politik luar negeri Iran di bawah Presiden Rouhani hampir bisa dipastikan sama dengan presiden-presiden sebelumnya meskipun dengan cara yang berbeda. Kebijakan Rouhani, khususnya berkaitan dengan program nuklir Iran dan sikap Iran terhadap AS dan Isreal, juga dipastikan tidak berubah. Keinginan Rouhani untuk mengubah wajah Iran yang lebih bersahabat dan membuka diri untuk berdialog dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika, hanyalah sandiwara untuk menutupi kenyataan “bahwa selama ini Iran telah bersekongkol dengan AS dan Israel”. Rouhani ingin membangun kesan, bahwa Iran sebelumnya bermusuhan dengan AS dan Israel, lalu ia berusaha mengubah semua keadaan itu dengan bersikap lebih terbuka dan moderat terhadap Barat. Padahal sudah sejak lama Iran sudah membuktikan dirinya sebagai mitra dan sekutu penting bagi AS.
WalLahu a’lam. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy; (DPP Hizbut Tahrir Indonesia)]