Rapat Paripurna DPR tanggal 25 Oktober 2013 lalu telah menetapkan RAPBN 2014 sebesar Rp 1.842,49 triliun. Komposisinya: Belanja Pemerintah Pusat Rp 1.249,94 triliun (70%); sisanya alokasi untuk Pemerintah Daerah Rp 529,55 triliun (30%). Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR sepakat menetapkan defisit anggaran dalam postur APBN naik menjadi 1,69% dari PDB atau setara dengan 175,3 triliun rupiah. Dalam RAPBN 2014 penerimaan negara dan hibah menjadi 1.667,14 triliun rupiah yang terdiri dari: Pendapatan Pajak sebesar Rp 1.280,39 triliun, Pendapatan Bukan Pajak sebesar Rp 385,39 triliun serta hibah Rp 1,36 triliun. Sisanya dibiayai dengan menggunakan utang sebesar 175,35 triliun rupiah.
Asumsi makro RAPBN 2014 yang telah disepakati antara lain: pertumbuhan ekonomi 6,0%, laju inflasi 5,5%, nilai tukar rupiah Rp 10.500 perdolar AS, tingkat suku bunga SPN tiga bulan 5,5%, harga minyak US$105 perbarel, serta lifting minyak dan gas bumi besarnya 2.110 ribu barel perhari. Seluruh asumsi tersebut digunakan untuk menghitung pendapatan, belanja hingga pembiayaan RAPBN 2014.
Secara umum RAPBN 2014 mengalami peningkatan. Dari sisi penerimaan naik dari APBNP 2013 sebesar Rp 1.502 triliun menjadi Rp 1.667,14, atau naik sekitar 11%. Adapun dari sisi pengeluaran mengalami kenaikan dari Rp 1.726,2 triliun menjadi Rp 1.842,49 atau naik sekitar 6,7%. Setiap RAPBN yang diajukan Pemerintah dan disahkan oleh DPR selalu mengundang kritikan karena RAPBN dianggap tidak pro rakyat. Hal ini wajar, walaupun APBN selalu meningkat setiap tahun, jumlah rakyat miskin juga meningkat. Ini menunjukkan ada kesalahan besar dalam APBN Indonesia. APBN yang sebagian besar pendapatannya berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat ternyata tidak memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kekeliruan Paradigma APBN
Kesalahan sangat mendasar dari penyusunan RAPBN yang setiap tahun dilakukan bersumber dari sistem ekonomi kapitalis atau neoliberal yang diterapkan di negeri ini.
Pada masa Pemeritahan SBY neoliberalisme semakin kokoh bahkan lebih liberal dibandingkan negara kapitalis sekalipun. Dalam konteks APBN, kekeliruan paradigma Pemerintah tercermin dalam tiga hal: (1) Asumsi Makro Ekonomi; (2) Konsep Anggaran Berimbang atau Anggaran Defisit yang digunakan oleh Pemerintah untuk mengelola APBN; (3) Liberalisasi Ekonomi.
Pertama: Salah satu asumsi makro yang selalu jadi sasaran pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi. Selama ini pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia cukup fantastis; rata-rata di atas 6%. Pada Tahun 2014 Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 6%. Namun, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan adalah pertumbuhan tidak berkualitas. Menurut ekonom UGM Yogyakarta, Fahmi Radhi, kebijakan defisit yang ditopang penarikan utang baru dengan prioritas mengejar pertumbuhan tinggi bisa menjadi pilihan tepat dalam menyiasati pelambatan ekonomi dunia apabila yang ingin diwujudkan adalah pertumbuhan berkualitas. Padahal, lanjut dia, yang terjadi sebaliknya: pertumbuhan ekonomi Indonesia justru memperlebar ketimpangan pendapatan. Hal itu ditandai dengan kenaikan Indeks Gini Rasio menjadi 0,43 dan akan sangat membahayakan stabilitas jika sampai menyentuh angka 0,5. Pasalnya, jika rasio gini menyentuh 0,5, itu berarti kondisi ketimpangan sangat parah dan membahayakan karena konflik sosial mudah merebak.
Kedua: Konsep Anggaran Berimbang. Dalam konsep anggaran berimbang atau anggaran defisit, dipandang perlu berutang untuk membangun perekonomian, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara). Utang luar negeri diberikan oleh negara-negara kapitalis dengan dalih membantu dan membangun perekonomian negara-negara bekas jajahannya. Pinjaman ini pada umumnya berbentuk alat atau bantuan tenaga ahli. Akibatnya, utang luar negeri ini hanya menguntungkan negara-negara pemberi modal. Hal ini disebabkan oleh dua hal: (a) adanya net transfer (yang masuk lebih kecil dibandingkan dengan yang keluar) sumber-sumber keuangan negara-negara penerima utang pada negara-negara kreditor; (b) munculnya ketergantungan negara-negara peminjam kepada negara kreditor, baik secara finansial maupun ekonomis. Kondisi ini telah menyebabkan negara Indonesia masuk dalam perangkap utang (debt trap) yang sangat sulit (mustahil) untuk dibayar. Berdasarkan Nota Keuangan 2014, Pemerintah akan menambah utang baru sebesar Rp 225,199 triliun yang terdiri dari: SBN (Surat Berharga Negara) sebesar Rp 182 T dan Utang Luar Neger Rp 43,199 T. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan pembayaran utang sebesar Rp 176,4 triliun yang terdiri dari Bunga Utang sebesar Rp 119,5 triliun dan Pokok Utang luar negeri sebesar Rp 56,9 triliun. Karena itulah utang negara terus bertambah. Hingga Agustus 2013, jumlah utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 2.177,95 triliun, naik dibandingkan akhir 2012 yang mencapai Rp 1.977,71 triliun.
Oleh karena itu sebenarnya utang luar negeri ini merupakan skenario penjajahan modern yang dilakukan oleh negera-negara kapitalis sebagai pengganti penjajahan fisik. Mereka memaksakan kebijakan-kebijakan ekonomi yang kapitalistik seperti pencabutan subsidi dan kepentingan politik lainnya. Utang Pemerintah baik pokok maupun bunganya telah menggerogoti dan membebani APBN setiap tahun.
Ketiga: Liberalisasi Ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalis dengan prinsip liberalisasi dan kebebasan hak milik, negara tidak boleh campur tangan langsung dalam perekonomian. Salah satu bentuk dari liberalisasi itu adalah menggilanya privatisasi perusahaan-perusahaan milik umum dan milik negara yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara (BUMN) sebagai sumber utama pemasukan APBN. Hasilnya: Freeport menguasai emas, tembaga dan hasil tambang lainnya sampai 80% lebih; tambang minyak dan gas dikuasai asing dan swasta sampai 87%; hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dibagi-bagikan melalui Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada swasta, sementara negara hanya memperoleh sekitar 20%, yaitu dari iuran hasil hutan dan pajak; batubara sama nasibnya, negara hanya memperoleh sekitar 30%, sementara yang 70% dikuasai oleh pemegang konsesi yang kebanyakan adalah perusahaan swasta dalam negeri dan asing.
Dampak dari kebijakan ini adalah Pemerintah kehilangan sumber pendapatan negara yang berasal dari harta milik umum dan milik negara karena diprivatisasikan. Negara hanya mendapatkan sebagian kecil melalui pajak atau pembagian laba dari penyertaan modal pada perusahan tersebut.
Pendapatan negara bertumpu pada pajak. Pada APBN tahun 1998/1999 penerimaan negara relatif masih imbang antara penerimaan pajak dan non pajak (SDA Migas dan Non Migas). Namun, sejak tahun 2002 Pemerintah meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70%, lalu tahun 2006 sebesar 75,2%. Bahkan pada tahun 2013 dalam RAPBN, 78% lebih penerimaan berasal dari pajak, sedangkan sisanya dari PNBP (pendapatan negara bukan pajak).
Dampak lain dari liberalisasi ekonomi adalah negara diharuskan terus mencabut dan mengurangi subsidi yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisasi. Pada tahun 2014 subsidi energi turun dari Rp 299,8 triliun menjadi Rp 284,6 triliun, sementara bantuan sosial turun dari Rp 82,4 menjadi Rp 55,8 triliun. Akibatnya, harga migas dan listrik tiap tahun terus meningkat. Subsidi biaya pendidikan juga terus dikurangi. Bahkan mulai tahun 2014 Pemerintah akan menerapkan asuransi nasional yang memaksa rakyat membayar premi untuk mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini semakin mengokohkan APBN yang tidak pro rakyat, bahkan menindas rakyat.
Pemborosan Penggunaan APBN
Secara paradigma, RAPBN yang disusun sangat kapitalistik. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan Belanja APBN yang cenderung boros dan tidak pro rakyat sehingga menyengsarakan rakyat. Indikasinya: Pertama, RAPBN 2014 yang besarnya Rp 1.842,2 triliun ternyata 70%-nya hanya dialokasikan untuk anggaran Pemerintah Pusat, yaitu sebesar Rp 1.249,9 triliun, dan sisanya transfer ke daerah senilai Rp 592,5 triliun. Belanja Pemerintah Pusat tersebut diperuntukkan: belanja pegawai sebesar Rp 263,9 triliun, belanja barang senilai Rp 201,8 triliun, belanja modal Rp 205,8 triliun, belanja subsidi energi sebesar Rp 282,1 triliun, serta pembayaran bunga utang Rp 119,5 triliun. Dari postur anggaran seperti itu, jelas belanja modal yang memiliki kontribusi pada pertumbuhan ekonomi hanya meningkat Rp 13 triliun atau 7% menjadi Rp 205,8 triliun, sementara belanja pegawai pada 2014 mencapai Rp 276,6 triliun atau meningkat hingga Rp 43,5 triliun. Dengan komposisi seperti ini, bahwa tujuan kebijakan defisit fiskal adalah untuk memberi stimulus ekonomi kepada rakyat, sebenarnya jauh panggang dari api. Apalagi kadang-kadang anggaran tersebut digunakan untuk belanja yang sifatnya pemborosan seperti renovasi gedung yang masih bagus, penggantian mobil mewah milik para pejabat padahal mobil sebelumnya masih layak pakai, dll.
Kedua, ada pengeluaran yang cenderung tidak efektif. Misalnya, anggaran untuk perjalanan dinas naik Rp 8 triliun dari Rp 24 triliun pada 2013 menjadi Rp 32 triliun di 2014 atau naik 33%. Padahal selama ini perjalanan dinas pejabat dinilai lebih banyak bernuansa plesiran.
Ketiga, selama periode kedua Pemerintahan SBY, daya serap anggaran cenderung menurun. Anggaran 2009 hanya terserap 91,8%, lalu menjadi 90,9% pada 2010. Dua tahun berikutnya, penyerapan anggaran berkutat pada angka 87%. Sisa lebih penghitungan anggaran (Silpa) dalam APBN-P 2012 mencapai Rp 34,01 triliun.
Keempat, walaupun setiap tahun selalu ada anggaran yang tidak terserap, Pemerintah selalu menambah utang baru. Akhirnya, beban bunga yang harus dibayar tiap tahun meningkat, tahun 2014 sebesar Rp 119,5 triliun. Padahal bunga tersebut jelas haram.
Keempat, anggaran yang berhubungan dengan rakyat langsung seperti subsidi energi dan bantuan sosial setiap tahun turun. Anggaran subsidi energi tahun 2014 turun dari Rp 299,8 menjadi Rp 284,6 triliun; anggaran bantuan sosial turun dari Rp 82,4 triliun menjadi Rp 55,8 triliun.
Keenam, hampir setiap tahun APBN selalu mengalami kebocoran karena dikorupsi rata-rata mencapai 30-40%. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan selama semester 1 tahun ini terdapat 13.696 kasus yang berpotensi merugikan negara senilai Rp 56,98 triliun. Ketua BPK Hadi Purnomo menguraikan, sebanyak 4.589 kasus berupa ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, dengan potensi kerugian dan kekurangan penerimaan senilai Rp 10,74 triliun. Kemudian, 5.747 kasus merupakan kelemahan Sistem Pengendalian Internal, 2.854 kasus penyimpangan administrasi, dan 779 kasus pemborosan senilai Rp 46,24 triliun. (Sumber: http://m.merdeka.com).
Penutup
Inilah potret RAPBN 2014 yang sangat kapitalis, tidak pernah pro rakyat, bahkan lebih banyak memeras rakyat. Pajak dijadikan sebagai sumber utama pendapatan APBN; sumber daya alam yang melimpah-ruah diserahkan kepada para perampok asing yang menjarah kekayaan alam negeri ini; kebijakan belanja dipenuhi dengan pemborosan dan foya-foya yang dilakukan oleh para pejabat melalui korupsi yang terjadi secara sistemis.
Masihkah kita percaya dengan sistem ekonomi kapitalis? [Dr. Arim Nasim; Ketua Lajnah Maslahiyyah DPP HTI]