Pengantar:
Jika dikritisi, APBN 2014 sama dan sebangun dengan APBN tahun-tahun sebelumnya. Ada kenaikan dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Kenaikan pendapatan bersumber terutama dari pajak yang notabene sebagian besar dari rakyat. Ada juga kenaikan dari sisi pengeluaran. Sayangnya, kenaikan pengeluaran itu dialokasikan untuk kepentingan para pejabat. Pengeluaran untuk rakyat—sebagaimana dalam APBN tahun-tahun sebelumnya—terus dikurangi. Tidak salah jika dikatakan setiap tahun Pemerintah menzalimi rakyat melalui APBN. Bagaimana penjelasannya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewawancarai Ketua Lajnah Mashlahiyyah DPP HTI, Dr. Arim Nasim. Berikut petikan wawancaranya.
APBN 2014 sudah disahkan. Selama ini diklaim bahwa APBN sudah pro rakyat. Bagaimana menurut Ustadz?
Klaim boleh-boleh saja, tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. RAPBN 2014 justru semakin kapitalis dan membebani rakyat, bahkan cenderung memeras atau memalak rakyat.
Indikasinya apa?
Selama APBN disusun dengan paradigma kapitalis atau liberal, jangan berharap RAPBN itu pro rakyat. Dari sudut pandang Islam ada kekeliruan mendasar dalam proses penyusunan RAPBN yang selama ini dilakukan. Pertama: Asumsi Makro Ekonomi. Kedua: Konsep Anggaran Berimbang atau Anggaran Defisit. Ketiga: Liberalisasi Ekonomi.
Penjelasannya?
Contoh asumsi makro. Salah satu asumsinya, pertumbuhan ekonomi yang selalu tinggi dan selama ini memang selalu bisa tercapai, tetapi ini tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan rakyat. Angka pertumbuhan selalu di atas 5-6%, tetapi angka kemiskinan terus bertambah.
Bagaimana dengan sistem anggaran berimbang?
Sistem anggaran berimbang itu istilah yang digunakan semasa Orde Baru sampai sekarang. Kemudian setelah masa reformasi diubah dengan istilah sistem anggaran defisit supaya kelihatan lebih transparan, tapi esensinya sebenarnya sama! Intinya, diperlukan utang untuk membiayai pembangunan. Kalau dulu fokusnya utang luar negeri, sekarang ditambah utang dalam negeri dalam bentuk SUN atau SBN (Surat Berharga Negara). Utang ini digunakan oleh negara-negara kapitalis dengan dalih membantu dan membangun perekonomian negara-negara bekas jajahannya. Padahal utang sebenarnya jerat yang dijadikan alat untuk melakukan penjajahan ekonomi maupun politik menggantikan penjajahan fisik. Terbukti, Negara Indonesia sudah masuk dalam perangkap utang (debt trap) yang sangat sulit (mustahil) untuk dibayar. Berdasarkan Nota Keuangan 2014 Pemerintah akan menambah utang baru sebesar Rp 225,199 triliun, yakni: dari SBN (Surat Berharga Negara) sebesar Rp 182 T dan Utang Luar Neger Rp 43,199 T. Bahkan data sebenarnya lebih tinggi, yaitu pada tahun 2014 Pemerintah berencana mengutang sebanyak Rp 345 triliun. Senilai Rp 205 triliun ditarik melalui penerbitan surat berharga negara guna menutup defisit fiskal tahun 2014. Sisanya sekitar Rp 140 triliun adalah utang untuk melunasi utang yang jatuh tempo. Jumlah utang baru lebih besar dibandingkan dengan pembayaran utang sebesar Rp 176,4 triliun yang terdiri dari Bunga Utang sebesar Rp 119,5 triliun dan Pokok Utang luar negeri sebesar Rp 56,9 triliun. Karena itulah, total utang Pemerintah Pusat per 30 September 2013 sudah mencapai Rp 2.274 triliun, terdiri dari Rp 684 triliun berupa pinjaman LN dan Rp 1.590 triliun berupa surat berharga negara (SBN). Artinya, 240 juta rakyat negeri ini, termasuk bayi yang baru lahir, masing-masing terbebani utang Rp 9,475 juta.
Tapi kan, katanya, utang itu perlu sebagai pengungkit ekonomi untuk menggerakkan perekonomian?
Ya, kalau utang itu dalam batas-batas yang wajar. Kalau ngutangnya sudah tidak waras—seperti ada sisa lebih anggaran, tetapi tetap ngutang; ada sumber lain seperti sumberdaya alam yang begitu melimpah, tetapi malah semua itu diserahkan kepada para kapitalis asing; apalagi utang itu ada bunganya yang membebani APBN dan juga haram—maka akan menjadi pengungkit yang kebablasan. Akhirnya, yang diungkit bukan terangkat, malah masuk jurang!
Contohnya dalam RAPBN 2014?
Dalam RAPBN 2014, anggaran belanja di APBN 2014 mencapai Rp 1.842 triliun, tetapi rencana pendapatan hanya 1.667 triliun. Artinya, defisit 175 triliun. Agar tertutupi, Pemerintah akan menarik utang Rp 205 triliun. Padahal pengalaman selama ini, APBN selalu tidak terserap. Daya serap semakin buruk 2 tahun terakhir, yakni kurang dari 90%. APBNP 2013, misalnya, terserap 90%. Berarti ada dana sisa sekitar Rp 172 triliun dari total belanja APBNP 2013 sebesar Rp 1.726 triliun. Ini yang saya sebut pengungkit yang kebablasan. Akhirnya, beban bukan terangkat, tetapi malah terperosok ke dalam lubang yang lebih dalam.
Lalu bagaimana perbandingan jumlah anggaran yang langsung ke rakyat dengan yang untuk Pemerintah sendiri?
Dalam RAPBN 2014 yang besarnya Rp 1.842,2 triliun, ternyata 70%-nya hanya dialokasikan untuk anggaran Pemerintah Pusat, yaitu sebesar Rp 1.249,9 triliun. Sisanya 30% transfer ke daerah senilai Rp 592,5 triliun. Belanja Pemerintah Pusat tersebut diperuntukkan: belanja pegawai sebesar Rp 263,9 triliun, belanja barang senilai Rp 201,8 triliun, belanja modal Rp 205,8 triliun, belanja subsidi energi Rp 336 triliun, belanja sosial sekitar Rp 55 triliun serta pembayaran bunga utang Rp 119,5 triliun. Jadi kalau anggaran yang bisa dianggap langsung untuk rakyat, yaitu belanja subsidi dan belanja sosial, adalah sekitar Rp 391 triliun atau sekitar 30%. Jelas anggaran ini tidak pro rakyat karena hampir setiap tahun belanja untuk rakyat langsung selalu turun. Adapun belanja untuk birokrat dan pejabat selalu naik. Anggaran perjalanan dinas pejabat, misalnya, yang lebih banyak nuansa pelesirannnya, naik menjadi Rp 32 triliun. Pembayaran utang baik bunga maupun pokoknya tiap tahun juga terus naik. Jelas ini sangat membebani APBN.
Berapa sebenarnya pembayaran utang pokok dan bunganya? Benarkah utang itu untuk pembangunan?
Kalau berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2014 jumlah bunga utang sebesar Rp 119,5 triliun plus cicilan pokok sekitar Rp 57 triliun. Namun, berdasarkan informasi lain, tahun 2014 Pemerintah pusat merencanakan menambah utang baru mencapai Rp 345 triliun. Senilai Rp 205 triliun ditarik melalui penerbitan surat berharga negara guna menutup defisit fiskal tahun 2014. Sisanya sekitar Rp 140 triliun adalah utang untuk melunasi utang yang jatuh tempo. Jadi hampir sebagian besar utang digunakan untuk membayar utang baru. Bahkan data nota keuangan RAPBN 2014 menunjukkan fenomena debt trap (jerat utang); pembayaran utang pokok dan bunganya lebih besar dibandingkan dengan utang baru. Jadi fenomena pepatah gali lobang tutup lobang, pinjam uang bayar utang, adalah kiasan yang pas untuk menggambarkan realitas utang luar negeri Indonesia.
Total utang Pemerintah per 30 September 2013 saja sudah mencapai Rp 2.274 triliun, tetapi dikatakan masih aman karena hanya sekitar 25% dari PDB. Benarkah?
Ya. Kalau hanya sekadar menggunakan indikator kapitalis dan yang menyampaikannya ekonom kapitalis, mungkin aman. Pasalnya, salah satu ukuran bahwa utang itu sehat jika besarnya utang tidak melebihi 60%. Akan tetapi, ingat, walaupun PDB Indonesia tinggi, rasio gininya juga tinggi mendekati 0,5. Rasio gini menunjukkan kesenjangan pendapatan antara orang kaya dengan orang miskin sangat tinggi. Berdasarkan data yang saya peroleh terlihat, hanya 0,22 persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional. Sebesar 87 persen aset yang dikuasai itu berupa lahan tidur. Padahal pada saat yang sama, 80 persen petani kini tak punya tanah (lihat: http://bisniskeuangan.kompas.com).
Jadi terdapat kesenjangan yang luar biasa walaupun PDB besar, tetapi dihasilkan dari sekitar 20% orang Indonesia. Jadi, kalau hanya indikatornya persentase terhadap PDB, itu menyesatkan. Faktanya, utang selalu membebani APBN dan menjadi alat politik para kapitalis. Yang lebih bahaya lagi, dalam pandangan Islam, utang dengan riba kategori dosa besar yang akan mengundang azab Allah SWT, Bunganya saja tahun ini yang harus dibayar oleh Pemerintah mencapai Rp 121 triliun! Masa kondisi ini dikatakan aman?!
Sejauh mana APBN 2014 akan bisa menggerakkan perekonomian ke depan?
Dari data di atas, belanja modal yang memiliki kontribusi pada pertumbuhan ekonomi hanya meningkat Rp 13 triliun atau 7 persen menjadi Rp 205 triliun, sementara belanja pegawai pada 2014 mencapai Rp 276,6 triliun atau meningkat hingga Rp 43,5 triliun. Dengan komposisi seperti ini, bahwa tujuan kebijakan defisit fiskal untuk memberi stimulus ekonomi kepada rakyat, sebenarnya jauh panggang dari api. Apalagi kadang-kadang anggaran tersebut digunakan untuk belanja yang sifatnya pemborosan seperti: renovasi gedung yang masih bagus; penggantian mobil mewah milik para pejabat, padahal mobil sebelumnya masih layak pakai; dll.
Dibandingkan dengan APBN 2013, APBN 2014 naik lebih dari 200 triliun. Apakah ini berita gembira atau justru beban rakyat makin besar?
Dalam APBN 2014 pendapatan dari pajak naik mendekati 80%. Komponen pajak ada dua yaitu: Pajak Penghasilan sekitar 50%; Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan sekitar 42%. Sisanya pajak lain, seperti PBB dan Pajak Kendaraan. Artinya, sebagian besar pendapatan negara berasal dari pajak, dan tidak pernah ada upaya yang serius untuk meningatkan pendapatan negara dari pengelolaan sumber daya alam. Jadi, negara ini lebih tepatnya bukan mengurus rakyat, tetapi memalak rakyat melalui berbagai pungutan pajak; sementara SDA dijual, bahkan diserahkan kepada para kapitalis untuk mereka jarah. Setelah pajak terkumpul, ternyata anggaran yang kembali kepada rakyat secara langsung hanya sedikit. Artinya, rakyat itu sudah dizalimi dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Jadi, kenaikan APBN bagi rakyat merupakan berita buruk yang semakin membebani dan memeras.
Bagaimana dengan subsidi untuk rakyat terus dipersalahkan dan dianggap membebani APBN?
Yang selalu menyalahkan subsidi dan menganggap membebani APBN adalah para intelektual kapitalis, para birokrat, LSM atau peneliti yang mendapat pesanan atau dana dari para kapitalis. Suara mereka adalah suara para kapitalis. Bahkan kadang-kadang pola pikir mereka lebih kapitalis dari orang kapitalis sekalipun sehingga mereka selalu menyalahkan subsidi.
Sebetulnya dimana lagi letak kesalahan dalam penyusunan APBN kita?
Selama ini proses APBN itu ada 4 tahap mulai dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban dan evaluasi kinerja anggaran. Semua tahapan tidak bisa bebas dari kolusi dan korupsi. Misal, pada saat perencanaan, Pemerintah mengajukan RAPBN ke DPR untuk disahkan. Di sinilah sering muncul proyek-proyek titipan baik dari anggota DPR maupun dari partai politik, bahkan dari para kapitalis, melalui anggota DPR. Kalau keinginan mereka tidak terakomodasi pengesahan, pengasahan RAPBN dipersulit. Jadi, pada tahap perencanaan dan pengesahan sudah ada korupsi dan kolusi. Lalu pada saat implementasi terjadi kebocoran karena dikorupsi. Kemudian, pada saat laporan pertanggung jawaban dan evaluasi juga sama.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh rakyat?
Ya, di sinilah perlunya kesadaran dari rakyat dan tokoh-tokoh umat bahwa sistem dan rezim kapitalis ini sudah harus diganti. Jadi rakyat dan tokoh-tokoh umat harus melakukan perubahan yang sangat mendasar baik menyangkut sistem maupun rezimnya. Jadi, rezim dan sistem harus diganti! Sistemnya ganti dengan sistem APBN syariah. Rezimnya ganti dengan rezim yang profesional dan amanah. []