Merasa aman berada di dalam Margalla Hotel di Islamabad, Pakistan, saya duduk berbicara dengan Tariq Aziz, 16 tahun, seorang anak sekolah dari wilayah kesukuan di Waziristan Utara. “Berapa banyak drone yang kamu lihat dalam seminggu?” Tanya saya, sambil berharap dia akan mengatakan tiga atau empat drone. “Saya melihat sekitar sepuluh atau lebih, bukan dalam seminggu, melainkan setiap hari. Ini menakutkan. Keluarga saya tidak bisa tidur. Saya sangat lelah sepanjang waktu dan saya sudah berhenti sekolah. Kami menjalani hidup dalam ketakutan.”
Empat hari kemudian, Tariq sudah terbunuh, dipenggal dan dibakar karena pengakuan itu oleh drone Reaper yang dioperasikan AS. Ketika itu dia sedang menyetir kendaraan bersama adik sepupunya, Waheed Ahmed, yang juga tewas dalam serangan itu. Kedua anak laki-laki itu sedang menuju ke rumah bibi mereka. Keluarga Tariq kemudian memberitahu saya bahwa mereka tidak akan pernah lupa bahwa pada sore hari matahari terbenam bersama dengan bau daging yang terbakar dan bau bensin yang menyebar ke seantero desa.
Saya bertemu dengan Tariq Aziz pada bulan Oktober 2011, di “Jirga Utama” di Islamabad, yang diselenggarakan oleh Reprieve, sebuah badan amal HAM Inggris. Jirga (dewan masyarakat) mengikutsertakan tetua suku terpilih dari seluruh FATA (Wilayah Kesukuan Federal), bersama dengan para politisi, pengacara dan media untuk membahas implikasi dari program drone CIA yang kontroversial.
Drone bukanlah hal baru bagi FATA. Serangan drone telah menargetkan para tersangka militan di wilayah mereka sejak tahun 2004. Menjelang tahun 2011, kematian warga sipil sudah mendekati 3.000 orang; hampir 200 orang adalah anak-anak. Hanya 185 yang disebut sebagai ‘militan’ yang tewas dalam jangka waktu itu—dengan perbandingan 16 warga sipil banding 1 militan. Warga sipil tidak berdosa tenggelam dalam kesedihan, kebingungan dan kebencian. Serangan pesawat tak berawak Amerika tidak hanya membunuh kelompok yang dituduh militan. Serangan itu malah menciptakan kelompok militan juga.
Para tetua suku dan sekelompok kecil anak sekolah seperti Tariq berisiko mempertaruhkan nyawa mereka untuk datang ke jirga tersebut. Tentu, suatu kehormatan besar bagi anak-anak yang akan dipilih untuk menemani para pemimpin mereka. Namun, mereka semua juga telah menderita kerugian besar. Setiap orang dan setiap anak dalam sakunya membawa foto seorang kakak, adik atau teman yang telah dibunuh oleh serangan pesawat tak berawak itu.
Tariq Aziz mendekati saya dengan malu-malu. Dia belum pernah bertemu dengan orang Barat. Bahkan sebelum kami berbicara, dia menyerahkan kartu siswa dari sepupunya yang remaja, Asmar Ullah. Baru saja saya melihat kartu siswa itu, Tariq memalingkan wajahnya dan air matanya mengalir di wajahnya.
Tariq berbicara dengan saya selama berjam-jam. Dia bercerita tentang hidupnya: Dia adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara dan anak kesayangan ayahnya. Dia tinggal dengan ibunya. Ayahnya bekerja sebagai sopir taksi di luar negeri, dengan mengirim uang ke rumah setiap bulan untuk biaya sekolah anak-anak dan saudaranya. Tariq mengatakan kepada saya bahwa setelah kematian sepupunya, dia menjadi takut untuk berjalan ke sekolah atau bermain sepak bola dengan teman-temannya.
Dia tidak bisa mengerti mengapa keluarga dan teman-temannya yang menjadi sasaran. Mereka bukanlah militan, dan mereka tidak akan—atau tidak seharusnya—berada dalam “daftar pembunuhan” oleh CIA. Daftar itu sekarang dikenal sebagai “disposisi matriks”; sebuah daftar yang dibuat oleh pemerintahan Obama yang ditujukan untuk menargetkan ‘militan’ yang dianggap sebagai ancaman bagi Amerika Serikat. Tariq terus bertanya kepada saya, “Kesalahan apa yang kami perbuat? Mengapa orang-orang menganggap kami orang jahat?”
Terakhir kali saya melihat Tariq, dia sedang berwudhu sebelum shalat ashar.
Tahun ini saya melakukan perjalanan kembali ke Pakistan. Saya mewawancarai anggota keluarga Tariq dan teman-temannya untuk membuat film dokumenter oleh Robert Greenwald dan Brave New Films yang berjudul, “Unmanned: America’s Drone War”.
Mereka sangat kooperatif untuk difoto dan diwawancara. Mereka ingin melukiskan gambaran kehidupan singkat Tariq. Kakaknya, Abdul, mengatakan kepada saya, “Tariq bersikap sangat baik terhadap semua orang, tua dan muda. Dia biasa membantu semua orang…Itulah sebabnya mengapa dia begitu dicintai. Dia begitu baik. Semua orang merasa sangat kehilangan.”
Orang-orang bertanya kepada saya bagaimana saya bisa begitu yakin bahwa Tariq tidak bersalah.
Saya menjawab, “Tunjukkan satu bukti kalau dia bersalah!”
Bagaimanapun, seperti itulah hukum seharusnya berlaku, bukan? Seseoang dianggap tidak bersalah hingga dia terbukti bersalah.
Kenyataan bahwa pemerintah AS belum mengomentari hal ini, atau bahkan belum mengakuinya, 200 anak-anak yang dibunuh oleh serangan pesawat tak berawak di Pakistan sudah merupakan bukti yang sangat banyak bagi keluarga mereka yang berduka dalam “perang teror” yang dilakukan oleh Amerika Serikat. [rz/http://truth-out.org/opinion/item/19703-the-short-life-and-drone-delivered-death-of-tariq-aziz]