Pembunuhan bersenjata di Amerika bagaikan ‘epidemi’. Sederet daftar panjang penembakan brutal di AS selama 2012 saja menurut FBI telah menelan korban lebih 8.800 orang. Wabah ini memunculkan perdebatan tentang penggunakan senjata api di negeri itu.
Beberapa peristiwa penembakan massal yang mengejutkan masyarakat Amerika antara lain terjadi pada Desember 2012. Lebih kurang 28 orang tewas—20 orang di antaranya adalah anak-anak yang belajar di SD tersebut—dalam tragedi yang terjadi di Sekolah Dasar Sandy Hook Connecticut.
Sebelumnya, pada Jumat 20 Juli 2012, 12 orang tewas dan 70 orang terluka dalam penembakan massal yang terjadi saat pemutaran perdana film Batman The Dark Knight Rises di sebuah bioskop di Colorado.
Pada bulan April pada tahun yang sama di Universitas Kristen Korea di Oakland California, 7 orang terbunuh dan 3 terluka, juga akibat penembakan.
Pada awal 2011, seorang pria bersenjata menewaskan enam orang dan melukai 13 lainnya, termasuk anggota Kongres, Gabrielle Giffords, ketika ia menemui para pemilih Sabtu pagi di luar sebuah supermarket di Arizona.
Pada 2009, seorang psikiater Angkatan Darat Amerika menewaskan 13 tentara dan warga sipil di sebuah pangkalan Angkatan Darat di Texas.
Dua tahun sebelumnya, seorang mahasiswa di salah satu universitas yang besar, Virginia Tech, menewaskan 32 orang di kampus yang luas.
Pada 1999, dua siswa SMA di Colorado membunuh 12 teman sekelas dan gurunya.
Masyarakat Amerika sendiri, seperti yang terungkap dalam jejak pendapat Reuters/lpsos, merasa lebih terancam dengan aksi-aksi kekerasan publik yang dilakukan sesama orang Amerika dibandingkan dengan terorisme asing.
Dalam survey yang diadakan April 2013 dua hari sejak pengeboman maraton Boston terungkap, 56 persen responden menjawab: yang paling mengancam adalah tindakan kekerasan yang acak seperti penembakan massal, 32 persen terorisme asing, dan 13 persen terorisme domestik dengan alasan politik atau agama yang dilakukan warga Amerika.
Wabah penembakan di Amerika tidak bisa dilepaskan dari kultur kekerasan yang dominan di Amerika. Kultur ini dibentuk oleh banyak aspek mulai dari film Hollywood, olahraga, musik hingga berbagai permainan game yang sarat dengan kekerasan. Krisis ekonomi Negara Paman Sam juga memberikan sumbangan terhadap tingginya tingkat stres masyarakat Amerika. Pengangguran yang tinggi, kekhawatiran terhadap masa depan, kehilangan harapan hingga disorientasi hidup mengukuhkan kultur kekerasan.
Kultur ini tidak bisa dilepaskan dari sosok negara Amerika yang haus perang. Moris Berman, dalam buku Dark Ages America: The Final Phase of Empire (2006), menggambarkan Amerika sebagai sebuah kultur dan emosional yang rusak oleh peperangan, menderita karena kematian spiritual dan dengan intensif mengeskpor nilai-nilai palsunya ke seluruh dunia dengan menggunakan senjata.
Dalam catatan Jamil Salmi, dalam bukunya, Violence and Democatic Society, Amerika telah melakukan intervensi ke negara lain antara 1798-1895 M sebanyak 103 kali, antara tahun 1896-1945 sebanyak 57 kali, dan dalam rentang tahun 1945-2001 sebanyak 218 kali. Amerika juga menjadi Otak Kudeta Berdarah di: Iran (1953), Guatemala (1954), Kuba (1961 dan 1971), Brazil (1964), Indonesia (1965), Yunani (1967), Chili (1973), Angola (1974-1975), Jamaika (1975), Grenada (1983), Nikaragua (sejak 1984). Hampir semua medan perang di kawasan dunia saat ini seperti Irak, Afganistan, Yaman, Sudan dan Suriah tidak bisa dilepaskan dari permainan negara adidaya ini.
Berbagai peperangan ini juga memberikan sumbangan besar terhadap tingkat stres hingga bunuh diri di kalangan tentara. Lembaga penghitung independen/casualitas.org mengatakan angka bunuh diri di kalangan militer AS mencapai level tertinggi sebanyak 394 kasus pada tahun 2012. Angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah kematian akibat perang di Afganistan pada tahun yang sama, yaitu sebanyak 310 prajurit.
Peperangan selama satu dekade terakhir ini telah menyebabkan naiknya angka bunuh diri yang disebut oleh seorang anggota legislatif sebagai ‘epidemic’. Tidak hanya itu, peperangan demi peperangan telah memicu munculnya masalah kesehatan mental seperti penggunaan alkohol, obat terlarang, dan naiknya angka perceraian.
Ironisnya, meski telah menimbulkan banyak korban di berbagai kawasan dunia, Amerika selalu mencari pembenaran terhadap tindakannya: mulai dari ancaman keamanan nasional, senjata pemusnah massal, hingga atas nama perang melawan terorisme. Pembenaran-pembenaran ini sering sangat konspiratif dan penuh tipudaya.
Amerika pun menghadirkan diri sebagai negara yang istimewa dengan berbagai kejahatannya. Tampak dari pidato Obama pada tanggal 24 September 2013. Obama mengatakan, “Saya percaya Amerika harus tetap terlibat dalam keamanan kita sendiri. Namun, saya juga percaya bahwa dunia menjadi lebih baik baginya. Sebagian orang mungkin tidak setuju. Namun, saya percaya Amerika adalah istimewa. Sebagian karena kita telah menunjukkan kesediaan untuk melakukan pengorbanan dengan darah dan harta untuk berdiri tegak tidak hanya bagi kepentingan sempit diri kita sendiri, namun juga bagi kepentingan semua orang.”
Karena istimewa, Amerika pun merasa selalu benar untuk melakukan kejahatannya; merasa tidak bersalah melakukan intervensi ke negara lain seperti Libya, Suriah atau Mesir. Negara ini seolah-olah sah-sah saja melakukan kegiatan mata-mata dan penyadapan terhadap negara lain, termasuk warganya sendiri.
Mental negara haus perang—yang tidak merasa bersalah meskipun melakukan kejahatan dan kekerasan langsung atau tidak langsung—berpengaruh dalam kultur masyarakat Amerika; membentuk masyarakat sakit yang menganggap kekerasaan sebagai hal biasa. Kultur kekerasaan ini, menurut Berman, akan menjadi penyebab keruntuhan Amerika; sebuah republik yang berubah menjadi imperium di zaman kegelapan baru dan menuju rubuh sebagaimana dialami Kekaisaran Romawi.
Persoalannya: Apakah kita mau mengikuti kapal tua yang sebentar lagi akan karam? Dengan terus mengusung Kapitalisme dengan berbagai sistem hidupnya seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, itu berarti sama saja kita mengikuti kapal busuk yang akan tenggelam. Tentu itu suatu kebodohan.
Saatnya kita membangun peradaban baru yang didasarkan pada wahyu. Itulah peradaban Islam dengan Khilafahnya yang menerapkan seluruh syariah Islam secara total. Inilah ‘kapal’ baru dunia yang akan menyelamatkan umat manusia! [Farid Wadjdi]