HTI

Catatan Jubir (Al Waie)

Menyambut JICMI

Dalam dakwahnya selama ini, HTI boleh disebut melakukan dua pendekatan. Pertama: pendekatan massal (mass approach) melalui kegiatan-kegiatan seperti tablig akbar, seminar, diskusi, khutbah, aksi masirah dan lainnya. Kedua: pendekatan personal (personal approach) melalui kontak (ittishal) yang bersifat personal.

Pendekatan massal dilakukan agar dakwah mengena ke lebih banyak target dakwah (mad’u). Pendekatan massal ini—yang terlihat pada kegiatan-kegiatan besar seperti Konferensi Khilafah Internasional (KKI) 2007 atau Muktamar Khilafah (MK) 2013 lalu, juga Konferensi Rajab (Konjab) dan Konferensi Tokoh Umat (KTU)—juga penting dilakukan guna memunculkan kesadaran kolektif.

Secara individual mungkin saja sebelumnya telah terbit kesadaran personal. Namun, ketika yang bersangkutan hadir dalam forum-forum yang bersifat massal-kolosal, kesadaran personal tentang pentingnya dakwah bagi tegaknya kembali syariah dan Khilafah menjadi semakin kuat karena dipacu oleh atmosfer kesadaran kolektif yang terjadi dalam kegiatan yang bersifat massal. Sebaliknya, efek komunal dari kesadaran personal juga menjadi nyata. Ini karena kesadaran personal telah menggumpal menjadi kesadaran kolektif.

Meski efektif, pendekatan massal acap mengabaikan sisi personal mengingat secara individual obyek dakwah tidaklah sama. Dengan pendekatan massal sisi ini kurang tergarap. Karena itu, diperlukan pendekatan personal yang lebih memberikan ruang bagi karakter individual. Dengan pendekatan ini, dakwah bisa berlangsung lebih efektif. Dialog bisa dilakukan secara lebih intens. Berbagai macam keraguan yang mungkin selama ini terpendam akan bisa terjawab secara tuntas. Biasanya, bila obyek dakwah terpuasi, keterlibatan dalam dakwah akan menjadi semakin kokoh karena secara personal telah sangat yakin.

Dengan dua pendekatan ini, alhamdulilLah, dakwah HTI bisa terus berkembang baik dari segi cakupan wilayah, ragam kegiatan maupun dari segi jumlah partisipan dakwah serta pengaruhnya di tengah masyarakat.

Namun, sejak beberapa tahun silam, sebenarnya HTI menempuh juga pendekatan ketiga, yakni pendekatan kelompok (segmented approach); dalam arti, dakwah dilakukan terhadap obyek dakwah dari kelompok tertentu. Melalui pendekatan jenis ini, meski sebenarnya masih tetap bersifat massal, dakwah lebih memberikan ruang bagi karakteristik dari kelompok obyek dakwah tertentu. Nabi saw. pernah mengingatkan pentingnya dakwah dilakukan dengan menyesuaikan tingkat pemahaman obyek dakwah (‘ala qadri uqulihim).

Dengan demikian melalui berbagai lajnah atau komite, HTI menggarap obyek dakwah secara segmented. Ada kalangan ulama, mahasiswa, pelajar, pengusaha dan kalangan cerdik cendekia atau intelektual. Hasilnya, terjadi peningkatan secara signifikan dukungan dan kesertaan dalam dakwah dari kalangan tersebut. Hal itu terlihat dari suksesnya penyelenggaraan Muktamar Ulama Nasional (MUN) pada 2009 yang dihadiri oleh sekitar 7000 ulama dari seluruh Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan dari luar negeri. Lalu pada tahun 2010 ada KMII (Kongres Mahasiswa Islam Indonesia) yang diikuti oleh sekitar 5000 mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia. Kemudian pada awal 2011 terselenggara MEF (Muslim Entrepreneur Forum) yang diikuti oleh sekitar 1500 pengusaha dari seluruh Indonesia. Selanjutnya nanti, pada 14 – 15 Desember 2013, di Jakarta untuk segmen kalangan intelektual akan diselenggarakan JICMI (Jakarta International Conference of Muslim Intelectual) dengan tema, “The End of Capitalism and the Prospects of Islamic Civilization under Khilafah”. Acara ini akan diikuti oleh peserta dari dalam dan luar negeri seperti dari Australia, Malaysia, Jepang dan Inggris.

++++

Kedua: Melalui JICMI hendak ditunjukkan bahwa secara rasional Islam mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan, khususnya yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia seperti masalah pangan, pendidikan, kesehatan, keluarga dan sebagainya. Dengan SDM yang mumpuni, yang datang dari berbagai latar belakang, kiranya usaha menjelaskan Islam secara saintifik (ilmiah)—di antaranya melalui JICMI—bisa dilakukan dengan baik.

Ditambahkan juga, bahwa bangsa dan negara ini sesungguhnya mengalami kerugian besar karena selama ini telah mengabaikan Islam dalam pengembangan SDM dan dalam usaha mencari penyelesaikan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk negeri ini hanya diambil sisi spiritualnya saja. Aspek politik dan konseptualnya diabaikan. Akibat-nya, lahir SDM yang rapuh, terutama dari sisi integritas moralitas. Tidak juga didapat solusi secara benar dan komprehensif atas berbagai persoalan yang dihadapi. Padahal Islam telah lama menyediakan solusi itu. Karena itu Islam harus dipanggil dan diambil. Di situlah perjua-ngan bagi tegaknya kembali syariah dan Khilafah menemukan relevansinya yang sangat nyata.

++++

Akhirnya, penting untuk diingat, JICMI bukanlah arena ilmiah semata, sama seperti MEF yang juga bukanlah arena pengembangan bisnis, melainkan arena dakwah. Ketika MEF dikatakan sebagai satu-satunya forum pengusaha yang tidak berbicara tentang usaha, tetapi tentang perjuangan, maka JICMI boleh juga disebut pertama kali forum intelektual diselenggarakan bukan semata bicara tentang intelektualisme, melainkan juga tentang perjuangan dakwah. Bila dalam MEF kita ingin menciptakan sosok pengusaha yang pejuang seperti Abdurrahkan bin Auf, maka melalui JICMI kita ingin membentuk sosok intelektual pejuang, seperti al-Kindi, al-Biruni, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi dan banyak lagi sosok lainnya yang pernah menghiasai eloknya sejarah peradaban Islam di masa lalu. Semoga! [HM Ismail Yusanto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*