Program pengentasan kemiskinan dengan mempekerjakan perempuan semakin melaju dari hari ke hari. Kemiskinan massal yang menjadi problem laten dari peradaban era kini diselesaikan di antaranya dengan menuntut perempuan memiliki kemandirian ekonomi; mempunyai penghasilan sendiri untuk meningkatkan kualitas hidup dirinya dan anak-anaknya.
Di sisi lain, sejarah peradaban Islam menunjukkan potret yang sangat jauh berbeda. Kemiskinan massal tidak menjadi masalah laten dalam sejarah peradaban Negara Khilafah. Ada mekanisme khas yang telah diterapkan oleh peradaban ini. Dengan demikian para perempuan dan generasi dapat hidup sejahtera, tanpa mempekerjakan para perempuan.
Meskipun para perempuan dalam kehidupan peradaban Islam senantiasa dinafkahi, bahkan oleh negara dalam bentuk subsidi tunai langsung tanpa kompensasi apapun, neraca keuangan negara tidak pernah mengalami defisit anggaran.
Islam Menjamin Kesejahteraan Perempuan dan Generasi
Kegagalan pembangunan ekonomi Indonesia dalam mensejahterakan perempuan dan generasi, diakui atau tidak, karena mengacu pada sistem ekonomi Kapitalisme yang mengatur distribusi pendapatan untuk kebutuhan dalam negeri secara global, bukan untuk kebutuhan seluruh penduduk perindividu. Ekonomi tidak dibangun untuk memuaskan kebutuhan individu dan tidak untuk menyediakan pemuasan bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat. Ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income).
Sebaliknya, Islam menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer tiap-tiap individu (sandang, pangan, dan papan) dan menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer (basic needs) rakyat secara keseluruhan. Berikut ini adalah beberapa gambaran implementasi yang telah dicontohkan oleh para khalifah di era terdahulu.
Abu Bakar ra., sebagai khalifah saat itu, melayani seorang perempuan yang jompo dan buta yang tinggal di pinggiran Madinah. Umar Ibnu al-Khaththab ra. ingin juga merawatnya, tetapi menemukan bahwa Abu Bakar ra. telah memasak makanan, membersihkan rumah dan mencuci pakaiannya untuknya.
Umar ra., ketika menjadi khalifah sepeninggal Abu Bakar, memikul sendiri karung gandum makanan dari Baitul Mal, untuk kembali menuju rumah seorang perempuan dan anak-anaknya yang tinggal di luar Madinah dan lalu memasak makanan untuk mereka. Ia menolak tawaran para pembantunya untuk membawa-kan karung itu dengan mengatakan, “Akan Anda pikul dosa-dosa saya dan tanggung jawab atas saya pada Hari Perhitungan?” Umar ra. sebagai kepala negara sama sekali tidak menyalahkan perempuan tersebut mengapa dia tidak memiliki kemandirian ekonomi (dengan bekerja) sehingga dia dan anak-anaknya harus kelaparan sampai tengah malam. Sebaliknya, Umar merasa sangat takut akan dimintai pertanggungjawaban Allah SWT karena ternyata ada perempuan dan anak-anak yang kelaparan pada era dia menjadi kepala negara.
Selama masa pemerintahan Khalifah Umar ra., ada kebijakan untuk memberikan upah kepada para ibu setiap kali selesai menyusui anaknya, untuk memastikan perawatan kesehatan terhadap anak-anak. Namun, suatu hari Umar ra. mendengar seorang bayi menangis. Kemudian ia meminta kepada ibu anak itu untuk “Bertakwalah kepada Allah SWT atas bayi Anda dan rawatlah dia.” Kemudian ibu itu menjelaskan bahwa dia berhenti menyusui anaknya lebih awal agar dia bisa menerima upah dari negara. Keesokan harinya, setelah fajar, Umar merevisi kebijakan itu dengan membayar upah pada saat kelahiran. Dalam paket kebijakan ini, Negara Khilafah tidak hanya sekadar membuat program kampanye slogan gerakan menyusui. Namun, secara nyata sudah dialokasikan dan diberikan anggaran dana untuk memastikan setiap bayi yang lahir mendapat nutrisi yang baik.
Dalam hal ini, Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dan generasi dengan proses penafkahan dalam tiga mekanisme. Pertama: Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme kewajiban nafkah ada pada suami/ayah. Dengan mekanisme ini, Islam menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer bagi semua individu rakyat satu-persatu secara pasti (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233; QS an-Nisa’ [4]: 5; QS ath-Thalaq [65]: 6).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian.” (HR Ibnu Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah ra).
Kedua: Islam membebankan kewajiban nafkah pada kerabat laki-laki bila tidak ada suami/ayah atau mereka ada tetapi tidak mampu. Islam mewajibkan keluarga dekat memberi nafkah kepada keluarga dekatnya yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233)
Dengan menjamin pemberian nafkah kepada istri, kedua orangtua, anak-anak, dan setiap yang memiliki hubungan kekeluargaan yang haram menikah, maka pemenuhan semua kebutuhan primer bagi semua individu rakyat benar-benar terjamin.
Ketiga: jaminan nafkah dari Negara Khilafah secara langsung bagi para perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun yang akan menafkahinya seperti para janda miskin. Jika tidak ada seorang pun yang berkewajiban memberi nafkah kepadanya, atau ada tetapi dia tidak mampu, maka Islam mewajibkan nafkah dalam dua keadaan ini kepada Baitul Mal, yakni kepada negara.
Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang mati meninggalkan kalla (orang yang sebatang kara), maka dia menjadi tanggunganku.” (HR Muslim). Maksud dari kalla adalah orang yang lemah yang tidak punya anak dan ayah.
Bahkan, membelanjakan harta Baitul Mal untuk nafkah didahulukan atas tiap-tiap pembelanjaan negara yang lain. Sebab, membelanjakan harta untuk nafkah menjadi tanggung jawab Baitul Mal, baik dalam kondisi ada harta di Baitul Mal ataupun tidak. Jika di Baitul Mal tidak ada harta untuk pembelanjaan nafkah, maka negara mewajibkan pajak kepada kaum Muslim.
Dengan demikian, dalam Khilafah Islam tidak akan ada perempuan yang terpaksa bekerja mencari nafkah dan mengabaikan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Sekalipun Islam tidak melarang perempuan bekerja, mereka bekerja semata mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat, sementara tanggung jawab sebagai istri dan ibu juga tetap terlaksana.
Dalam kehidupan Negara Khilafah, bekerja bagi seorang perempuan betul-betul hanya sekadar sebuah pilihan, bukan tuntutan keadaan. Jika dia menghendaki, dia boleh bekerja. Jika dia tidak menghendaki, dia boleh untuk tidak bekerja. Bandingkan dengan kondisi sekarang; perempuan banyak dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah dan tidak layak karena tidak punya alternatif pilihan yang lain.
Perempuan Berkiprah Nyata Membangun Peradaban
Peradaban Khilafah pada masa lalu menunjukkan beberapa catatan fakta, bahwa para perempuan menjalani perannya secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dengan terjaminnya hak-hak ekonomi perempuan melalui proses penafkahan, perempuan dapat berkontribusi dalam pembangunan peradaban tanpa berhadapan dengan sekian banyak dilema.
Rufayda binti Sa’ad adalah perawat pertama dalam lintasan sejarah Islam, yang hidup pada zaman Nabi Muhammad saw. Dalam Perang Badar 624 Hijriyah, ia bertugas merawat mereka yang terluka dan mengurus personel yang meninggal dunia. Selain kepandaian dalam bidang medis, Rufayda dikenal sebagai sosok yang empatik dan aktif mengajarkan keahliannya kepada perempuan lainnya.
Ash-Shifa binti Abdullah al-Qurashiyah al-’Adawiyah piawai dalam bidang medis. Kepiawaianya dalam bidang medis ditopang oleh kemampuannya dalam membaca. Ia pun sangat terampil dalam administrasi publik.
Sutayta al-Mahamli, pakar matematika yang hidup pada paruh kedua abad ke-10. Ia berasal dari keluarga berpendidikan tinggi di Baghdad, Irak. Ayahnya, Abu Abdallah al-Hussein, menjabat sebagai seorang hakim yang juga penulis sejumlah buku, termasuk Kitab fi al-Fiqh dan Shalat al-’Idayn. Ibnu Al-Jawzi, Ibnu al-Khatib Baghdadi, dan Ibnu Katsir, memuji kemampuan Sutayta dalam matematika. Sutayta sangat menguasai hisab atau aritmatika dan perhitungan waris.
Dalam aljabar, ia berhasil menemukan sebuah persamaan yang pada masa selanjutnya, sering dikutip oleh pakar matematika lainnya. Bidang ilmu lain yang juga dia kuasai adalah sastra Arab, ilmu hadis, dan hukum. Setelah lama bergelut dengan angka dan memberikan kontribusinya dalam bangunan peradaban Islam, akhirnya Allah SWT memanggilnya pada 987 Masehi.
Labana dari Kordoba, dikenal dengan kemampuannya menyelesaikan beragam masalah matematika yang sangat pelik, baik aritmatika, geometri, maupun aljabar.
Labana menjadi sekretaris Khalifah al-Hakam II dari Dinasti Bani Ummayah.
Masih banyak lagi nama-nama lain yang tidak semuanya tercatat rapi dalam catatan sejarah. Kontribusi mereka dalam kemajuan peradaban bisa kita rasakan dari kontribusi generasi yang mereka lahirkan dalam lintasan sejarah. Mereka adalah ibu dari para penemu dan peletak dasar berbagai cabang ilmu; ibu dari para pembebas suatu negeri; ibu dari para ulama besar. Mereka adalah para ibu terbaik yang dilahirkan oleh peradaban terbaik di muka bumi.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Nida Saadah]