Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ada di Indonesia dapat didefinisikan sebagai rencana keuangan tahunan Pemerintah Indonesia yang disetujui oleh DPR. APBN berisi daftar sistematis dan rinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember). APBN, perubahan APBN dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara garis besar, susunan APBN dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian:
1) Anggaran Pendapatan. Anggaran Pendapatan dalam APBN adalah penerimaan anggaran negara yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah.
2) Anggaran Belanja. Anggaran Belanja dalam APBN adalah anggaran yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
3) Pembiayaan. Pembiayaan dalam APBN adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Paradigma Penyusunan APBN di Indonesia
Penyusunan APBN oleh Pemerintah Indonesia sesungguhnya dibangun dari sebuah paradigma tertentu. Penyusunan APBN yang dilakukan Pemerintah direncanakan dan dibuat dalam rangka untuk mencapai tujuan politik ekonomi. Dalam teori ekonomi konvensional, kebijakan politik ekonomi ini biasa dikenal dengan istilah kebijakan fiskal.
Kebijakan fiskal dapat didefinisikan sebagai kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah dalam rangka untuk mengarahkan kondisi perekonomian agar menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran Pemerintah (APBN). Kebijakan fiskal yang dapat diambil Pemerintah ini dapat dikelompokkan dalam 3 pilihan kebijakan:
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget)/Kebijakan Fiskal Ekspansif.
Anggaran defisit adalah kebijakan Pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Kebijakan ini umumnya digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif. Peningkatan belanja Pemerintah dan atau penurunan pajak ini dirancang untuk meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan produk domestik bruto dan menurunkan angka pengangguran.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget)/Kebijakan Fiskal Kontraktif.
Anggaran surplus adalah kebijakan Pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Kebijakan anggaran surplus biasanya dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi ekspansif yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Pengurangan belanja Pemerintah dan atau peningkatan pajak ini dirancang untuk menurunkan permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengontrol inflasi.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget).
Anggaran berimbang terjadi ketika Pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan kebijakan anggaran berimbang ini adalah untuk mendapatkan kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin anggaran.
Selanjutnya dilihat dari sisi penerimaan, APBN Indonesia sesungguhnya juga disusun dengan menggunakan beberapa asumsi tertentu untuk dijadikan sebagai patokan dalam penyusunan anggaran penerimaan. Asumsi tersebut adalah indikator makro ekonomi, yaitu: prosentase pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan, prosentase laju inflasi yang ditargetkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, prosentase tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negera (SPN), harga ICP minyak dalam dolar AS perbarel, lifting minyak perhari, lifting gas perhari yang disetarakan dengan minyak.
Penilaian Kebijakan APBN Indonesia
Untuk menilai APBN Indonesia, kita dapat melihat profil APBN yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR. Menurut profil APBN Indonesia, dari sisi penerimaan sesungguhnya APBN Indonesia selalu lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran Pemerintah dalam setiap periode anggaran. Dengan demikian APBN Indonesia sebenarnya tidak bisa dikatakan menganut anggaran berimbang (balanced budged), tetapi menganut kebijakan anggaran defisit (defisit budget).
Dilihat dari penentuan kebijakan anggaran tersebut, kita dapat memberikan beberapa penilaian kritis terhadap APBN Indonesia. Pertama: Apakah kebijakan APBN Indonesia bisa disebut sebagai APBN yang pro rakyat? Tentu tidak! Sebab, penerimaan terbesar dari APBN Indonesia justru sebagian besar berasal dari pajak rakyat, yaitu sebesar 84%. Hal ini tentu sangat membebani rakyat. Kebijakan ini adalah kebijakan ironis. Pasalnya, Indonesia adalah negara yang memiliki sumberdaya alam (SDA) yang melimpah-ruah. Sayangnya, SDA tersebut tidak dikelola sendiri, tetapi malah diserahkan kepada korporasi-korporasi asing. Seharusnya SDA ini dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan negara yang utama. Dengan demikian Pemerintah tidak perlu menarik pajak dari rakyatnya. Menurut Abraham Samad (Ketua KPK), seharusnya Pemerintah bisa mendapatkan penerimaan dari sektor pertambangan seperti minyak, gas, batubara, tembaga, emas, perak, nikel dsb. hingga mencapai Rp 7.200 triliun setiap tahunnya.
Kedua: Apakah kebijakan anggaran defisit yang diambil Pemerintah sudah tepat? Mengapa? Faktanya, kebijakan anggaran defisit itu sesungguhnya identik dengan utang. Sebagaimana dalam APBN 2014, Pemerintah berencana untuk mencari utang sebanyak Rp 345 triliun. Sebanyak Rp 205 triliun ditarik melalui penerbitan surat berharga negara, yang akan digunakan untuk menutup defisit fiskal tahun 2014. Sisanya, sekitar Rp 140 triliun akan digunakan untuk menutup utang yang sudah jatuh tempo. Tambahan utang baru ini tentu akan menambah berat beban ekonomi Indonesia. Pasalnya, jumlah utang Indonesia sampai Bulan Agustus 2013 saja sudah menembus angka 2.177 triliun rupiah. Beban utang sebesar itu tidak hanya berat dari sisi pembayaran pokoknya saja, tetapi juga telah menghasilkan bunga yang sangat besar. Bunga utang yang harus dibayarkan melalui APBN 2014 adalah sebesar Rp 121,2 triliun.
Ketiga: Apakah kebijakan anggaran defisit APBN Indonesia memang dalam rangka untuk memberikan stimulus ekonomi untuk rakyat? APBN 2014 yang besarnya Rp 1.842,2 triliun ternyata 70%-nya hanya dialokasikan untuk anggaran Pemerintah Pusat, yaitu sebesar Rp 1.249,9 triliun, dan sisanya transfer ke daerah senilai Rp 592,5 triliun. Belanja Pemerintah Pusat tersebut diperuntukkan: belanja pegawai sebesar Rp 263,9 triliun, belanja barang senilai Rp 201,8 triliun, belanja modal Rp 205,8 triliun, belanja subsidi energi sebesar Rp 282,1 triliun, serta pembayaran bunga utang Rp 121,2 triliun. Dari postur anggaran seperti itu, kita dapat menilai bahwa tujuan kebijakan defisit fiskal untuk memberikan stimulus ekonomi untuk rakyatsebenarnya jauh panggang dari api.
Keempat, penyusunan APBN yang menggunakan asumsi indikator makro sebagai patokan sesungguhnya sangat berisiko. Mengapa? Jika dalam rentang satu tahun asumsinya mengalami perubahan maka APBN-pun harus direvisi. Padahal untuk mengubah APBN tidaklah mudah karena perlu mendapat persetujuan DPR. Selain memakan waktu yang tidak pendek, sidang DPR juga akan menghabiskan dana yang tidak sedikit.
Kelima: Dilihat dari sisi pengeluaran anggaran. Dalam APBN Indonesia, pengeluaran anggaran bersifat tetap (fixed). Konsekuensinya, alokasi anggaran tersebut harus habis dan terserap. Padahal faktanya, dari tahun ke tahun sebenarnya setiap kementerian yang ada di Indonesia tidak pernah mampu menyerap semua anggaran yang sudah diajukan. Akibatnya, sering dilakukan berbagai cara yang tidak sehat agar anggaran tersebut bisa dihabiskan.
Paradigma Penyusunan APBN Islam
APBN dalam Islam disebut dengan istilah Baitul Mal. Mekanisme penyusunan APBN Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan APBN konvensional. Beberapa perbedaan paradigma tersebut adalah:
1. APBN Islam tidak dibuat setiap tahun.
2. APBN Islam tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat.
3. Dalam APBN Islam, sumber pendapatan dan pos pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah.
4. Dalam APBN Islam, Khalifah selaku kepala negara bisa menyusun sendiri APBN tersebut melalui hak tabanni yang melekat pada dirinya.
5. Alokasi dana masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluaran dalam APBN Islam diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah.
Dari kelima butir paradigma penyusunan APBN Islam tersebut dapat dipahami, bahwa APBN yang telah disusun dan ditetapkan oleh Khalifah dengan sendirinya akan menjadi UU yang harus dijalankan oleh seluruh aparatur pemerintahan. Penyusunan UU APBN Islam ini tidak membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat. Penentuan alokasi dana per masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluaran juga diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah sehingga tidak memerlukan pembahasan dengan Majelis Umat. Meskipun demikian, boleh saja Majelis Umat memberikan masukan, tetapi pendapatnya tetap tidak mengikat bagi Khalifah.
Dengan mekanisme tersebut, APBN Islam dapat dikatakan bersifat tetap dari aspek sumber-sumber pendapatan dan pos-pos pengeluarannya, tetapi alokasi anggaran per masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluarannya bersifat fleksibel. Jika di tengah jalan ternyata penerimaannya kurang, dengan mudah Khalifah akan menggenjot penerimaan tersebut. Begitu juga dengan pemasukannya. Jika alokasi yang dianggarkan berlebih, kelebihan tersebut tidak harus dihabiskan, tetapi bisa dikembalikan kepada pemerintah pusat, atau ditahan di masing-masing daerah sebagai saldo anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya.
Selain itu, kebijakan keuangan dalam APBN Islam ini menganut prinsip sentralisasi. Dana dari seluruh wilayah ditarik ke pusat, kemudian didistribusikan ke masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan jumlah pemasukannya. Jika ada daerah yang sedang membangun dan membutuhkan dana besar, sementara pemasukannya tidak sebesar yang dibutuhkan, maka negara dapat menyubsidi daerah tersebut.
Hal yang sama berlaku bagi daerah yang membutuhkan dana besar karena serangan musuh atau bencana. Dengan cara ini, tidak ada satu alokasi anggaran pun yang menguap atau tidak tepat sasaran. Pemerataan pembangunan pun bisa dilakukan dengan baik sehingga tidak ada ketimpangan antar daerah.
Sumber Penerimaan dan Pos Pengeluaran APBN Islam
Sumber-sumber penerimaan dalam APBN Islam sangat berbeda dengan APBN konvesional. Sebab, sumber penerimaan APBN Islam sama sekali tidak mengandalkan sektor pajak dan utang, sebagaimana APBN konvensional. Sumber penerimaan negara untuk APBN Islam ada tiga:
(1) Dari sektor kepemilikan individu. Misal: sedekah, hibah, zakat dsb. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.
(2) Dari sektor kepemilikan umum. Misal: pertambangan, minyak bumi, gas, kehutanan dsb.
(3) Dari sektor kepemilikan negara. Misal: jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, ‘usyur dsb.
Dari ketiga sumber penerimaan negara tersebut selanjutnya dapat dikelompokkan lagi ke dalam seksi-seksi. Misal: dari kepemilikan individu dibagi ke dalam seksi zakat uang dan perdagangan; seksi zakat pertanian dan buah-buahan; seksi zakat ternak unta, sapi dan kambing. Dari kepemilikan umum: seksi minyak dan gas; seksi listrik; seksi pertambangan; seksi sungai; laut, perairan dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; seksi tempat khusus. Dari kepemilikan negara: seksi ghanimah; seksi kharaj; seksi tanah; seksi jizyah; seksi fa’i; seksi dharibah (pajak).
Untuk fakta sekarang ini, sumber penerimaan terbesar yang dapat diandalkan negara seperti Indonesia ini adalah dari sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak dan gas, kehutanan, kelautan dsb. Di dalam Islam, tugas negara hanyalah sebatas mengelolanya kemudian mengembalikan hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik asalnya, sesuai ketentuan yang sudah digariskan oleh syariah. Dengan demikian Islam melarang kepemilikan umum tersebut dikuasai oleh individu atau swasta, apalagi swasta asing, sebagaimana yang menimpa Indonesia saat ini.
Apabila sumber penerimaannya sudah mencukupi, negara tidak perlu memungut pajak (dharibah) dari rakyatnya. Pemungutan pajak hanya dilakukan apabila anggaran negara dalam kondisi defisit. Pemungutan pajak tersebut hanya bersifat sementara (temporal) dan hanya dibebankan atas warga negara yang mampu saja.
Dalam hal pos pengeluaran APBN Islam, syariah Islam juga telah memberikan ketentuan yang jelas, yang dapat dijadikan pegangan oleh Khalifah untuk mengalokasikan pengeluarannya. Ada 6 kaidah utama dalam pengalokasian anggaran belanja APBN Islam, yaitu:
1. Khusus untuk harta di dalam Kas APBN Islam yang berasal dari zakat, maka pos pengeluarannya wajib hanya diperuntukkan bagi 8 ashnaf sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam al-Quran.
2. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk keperluan jihad dan menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
3. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk memberikan gaji (kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan negara, yaitu: pegawai negeri, hakim, tentara, dsb.
4. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib, dalam arti jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemadaaratan bagi rakyat. Contoh: pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, air bersih dsb.
5. Pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi musibah atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contoh: paceklik, gempa bumi, banjir, angin topan, tanah longsor dsb.
6. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak wajib, dalam arti sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana yang sudah ada. Jika sarana tambahan tersebut tidak ada, tidak akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyatnya. [Dwi Condro Triono, Ph.D]
Daftar Pustaka
Boediono, 1999, Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta.
Jefriando, Maikel. “Tok! DPR Setujui APBN 2014 Sebesar Rp 1.842 Triliun.” Detikfinance. Jumat, 25 Oktober 2013.
Ridin. “Postur APBN 2014 Ancam Ekonomi Nasional.” Waspada Online. Senin, 28 Oktober 2013.
Sukirno, Sadono. 2000. Makroekonomi Modern – Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Rajawali Press. Jakarta.
Triono, Dwi Condro. 2012. Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Irtikaz. Yogyakarta.
Zallum, Abdul Qadim, 2002, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Terj. Ahmad S., Pustaka Thariqul Izzah, Bogor.