HTI

Analisis (Al Waie)

Sinergi

Pertengahan November 2013 lalu saya berbincang dengan salah seorang pengurus PP Muhammadiyah, Anwar Abbas. Dalam obrolan yang bersahabat tersebut, kami membincangkan berbagai masalah keumatan. “Permasalahan kita ini memang tidak kunjung selesai,” ungkap saya dalam suatu kesempatan.

Beliau pun segera merespon, “Memang begitulah kondisinya, Pak Rahmat. Umat kita ini ditarik kesana-kemari; Mulai dari akidahnya sampai perekonomiannya.”

Untuk menggambarkan betapa persoalan ini terus datang bertubi-tubi beliau menyampaikan, “Kadang saya lelah melihat kondisi umat ini.”

Tentu, ungkapan itu bukan untuk menunjukkan beliau lelah dalam berjuang, melainkan sebagai gambaran betapa dahsyatnya keterpurukan umat ini. Saya pun berkelakar, “Pak Anwar, kita ini tidak boleh lelah berjuang, apalagi bosan. Bukankah istirahatnya orang Mukmin itu nanti di surga? Bukan di sini!”

Beliau pun hanya tersenyum. Saya pikir, kenyataan memang menunjukkan demikian. Umat disuguhi oleh banyak sekali pemikiran. Ada yang gampang membid’ahkan, bahkan mengkafirkan sesama Muslim. Kelompok yang menghina para sahabat pun mulai berani menampakkan diri. Mereka bahkan menyatakan Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah khalifah gadungan. Padahal mereka adalah binaan langsung Rasulullah saw. Menuding mereka gadungan, sama saja dengan menuduh Nabi Muhammad saw. gagal menggembleng mereka.

Pergaulan bebas remaja sangat mengkhawatirkan. Secara ekonomi kaum Muslim di Indonesia terus terpuruk. “Sebanyak 44.000 orang mengalami PHK di sejumlah industri padat karya, terutama perusahaan bidang tekstil, sepatu, sandang dan kulit,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana.

Secara politik, Australia dan Amerika Serikat menjadikan kedutaan besarnya sebagai pusat intelijen, para pejabat disadap, namun Pemerintah tenang-tenang saja. “Sayang, ormas-ormas, termasuk ormas yang besar, kebanyakan diam. Mereka tidak melakukan himâyah (perlindungan) kepada umat,” keluh Pak Anwar, begitu sapaan akrab saya kepada beliau.

Saya pun segera mengatakan kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia tersebut, “Itulah sebabnya kita sangat memerlukan Khilafah. Tanpa Khilafah, umat tidak memiliki penjaga. Tanpa Khilafah, umat Islam laksana anak yatim.”

Keterpurukan ini wajar belaka, sebab dasar yang digunakan dalam mengatur kehidupan bukanlah Islam. Tepat perkataan Imam Al-Ghazali, “Ad-Dînu uss[un] wa al-Imamu hâris[un]. Mâ laysa lahu uss[un] hâdim[un] wa mâ laysa lahu hâris[un] dhâi’[un].” (Agama/Islam itu dasar dan pemimpin adalah penjaga. Apapun yang tidak memiliki dasar pasti roboh dan apapun yang tidak memiliki penjaga pasti hilang). Allah SWT pun menegaskan (yang artinya): Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (dîn-Ku, adz-dzikr) maka ia berhak mendapatkan kehidupan yang sempit dan Kami mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thâha [20]:124).

Tertangkap basahnya Ketua Mahkamah Konstitusi dalam kasus korupsi merupakan salah satu bukti telanjang tentang hal ini. Serangan ke Mahkamah Konstitusi saat menggelar sidang Pemilukada Maluku Utara (16/11/2013) menunjukkan ambruknya kewibawaan hukum dan lembaga penegaknya. Kalau dulu orang tidak percaya adanya rasa keadilan dalam hukum, kini tidak percaya pada hukum itu sendiri. Benar apa yang disampaikan pengamat politik dan pemerintahan, Yosmardin kepada saya, “Saat ini hukum memang kacau. Masyarakat sudah tidak lagi percaya pada hukum.”

Semua ini makin meniscayakan perlunya perubahan secara mendasar. Perubahan dari akarnya. Perubahan radikal! Tinggalkan hukum jahiliah. Terapkan hukum Islam. “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (TQS al-Maidah[5]:50).

Selain itu, satu hal yang barangkali penting senantiasa dicamkan adalah persatuan umat. Ada hal yang menggelitik pikiran saya saat berbincang dengan Ketua PBNU, Slamet Effendi Yusuf. Beliau mengatakan, “Coba pikirkan, Anda mau melawan Amerika dengan siapa kalau bukan bersama-sama umat Islam. Kita ini mewarisi sejarah yang mengandung konflik umat Islam. Karena itu, berangkatlah dari persamaan.”

Beliau pun melanjutkan, “Lihatlah Islamic global map! Umat Islam itu jumlahnya 1,6 miliar. Namun, terdiri dari banyak aliran/pemahaman.”

Memang benar. Umat Islam tidak dapat dikalahkan, kecuali dengan adu domba sehingga saling cakar satu sama lain, seperti kata Nabi saw. Menyikapi hal itu, saya berkata kepada beliau, “Kita memang harus bersatu. Kita adalah satu tubuh, umat terbaik, khayru ummah. Sikap Hizbut Tahrir sendiri sangat clear. Sesama Muslim itu bersaudara. Hanya saja, memang harus disadari ada saudara yang dekat, ada juga yang jauh. Kadang ada saudara yang suka menghina, meludahi, mencubit, bahkan melempar kerikil. Namun, mereka sebenarnya saudara.”

Jangan sampai kita ribut secara internal umat Islam, sementara problematika yang sudah karut-marut begini dibiarkan. Bila ini terjadi maka yang rugi umat Islam. Bagaimana dengan musuh? Tentu, mereka tertawa senang menyaksikannya. Meminjam istilah dalam manajemen strategis, kita perlu strategi fokus. Fokus menegakkan hukum Islam.

Penegakkan hukum Islam pun memerlukan peran dari semua pihak; bukan hanya ulama, tokoh, militer, pelajar/mahasiswa, buruh, karyawan, pengusaha, ibu rumah tangga, bahkan intelektual Muslim. Konsolidasi tiap-tiap komponen terus dilakukan. Bila sebelumnya sudah ada Muktamar Ulama Nasional, Muslim Entrepreneurship Forum, Kongres Mahasiswa Islam Indonesia, pada bulan Desember 2013 ini akan diselenggarakan Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals (Jicmi). Berbagai audiensi pun dilakukan. Salah satunya dengan Rektor Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc. Dalam kesempatan saat bertemu dengan beliau, saya menyampaikan bahwa peran intelektual Muslim masa silam sangat besar dalam membangun peradaban Islam. Bukan hanya menemukan berbagai penemuan ilmiah dan melahirkan teknologi, melainkan juga dalam memajukan peradaban Islam. Tidak mengherankan pada masa Kekhilafahan Islam berbagai kemajuan dapat diraih. Sebagai respon, beliau memandang bahwa kaum intelektual Muslim memang harus banyak mengambil peran. “Saya setuju,” ungkapnya ringkas.

Tegasnya, berbagai komponen umat harus berbuat sinergis. WalLahu a’lam.[Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*