Ta’zîr berasal dari kata ‘azara–ya’ziru–‘azr[an]. Ibrahim bin as-Sariyyu yang dikutip oleh al-Azhari di dalam Tahdzîb al-Lughah dan Ibn Manzhur di dalam Lisân al-‘Arab mengatakan bahwa al-‘azru secara bahasa artinya ar-raddu (menolak) wa al-man’u (menghalangi). Dari sini datang penjelasan beberapa makna lain ta’zîr. ‘Azzarta fulânan, yakni addabtahu (bentuk mashdar-nya at-ta’dîb). Penjelasannya: Anda melakukan apa yang menghalangi dirinya dari hal yang tercela. Begitu juga dikatakan: Nakkalta bihi (bentuk mashdar-nya at-tankîl). Penjelasannya: Anda melakukan apa yang harus menjadi pelajaran bagi dirinya agar tidak mengulangi perbuatan itu. Penjelasan ‘azzartumûhu, yakni nashartumûhu (Anda menolong dia), dengan Anda menolak dari dia musuh-musuhnya. Seandainya at-ta’zîr adalah at-tawqîr (penguatan) maka itu paling bagus dan mencukupi; juga berarti an-nushrah (pertolongan) jika harus dan at-ta’zhîm (pengagungan) termasuk di dalamnya. Sebab menolong para nabi adalah membela mereka, membela agama mereka, mengagungkan dan menguatkan mereka.
Di dalam al-Quran, kata ‘azzara di antaranya dinyatakan dalam makna menguatkan (QS al-Fath [48]: 9), menolong (an-nashru) (QS al-Maidah [5]: 12) dan mengangungkan/membesarkan (ta’zhîm) (QS al-A’raf [7]: 157).
Dengan begitu, makna bahasa at-ta’zîr adalah ar-raddu wa al-man’u (menolak dan menghalangi). Adapun makna ‘urf (konven-sional)-nya adalah at-ta’dîb (pendisiplinan perilaku), at-tankîl (pembelajaran), at-tawqîr (penguatan), an-nashr (pertolongan) dan at-ta’zhîm (pengagungan). Namun, di antara makna ‘urf ini yang masyhur untuk makna at-ta’zîr adalah at-ta’dîb (pendisiplinan) dan at-tankîl (pembelajaran). Bahkan sebagian ulama menganggap makna tersebut sebagai makna asal at-ta’zîr.
Abu Ubaid dalam Gharîb al-Hadîts mengatakan, asal dari at-ta’zîr adalah at-ta’dîb (pendisiplinan perilaku). Dari sini, pukulan selain had disebut ta’zîr tidak lain adalah pendisiplinan perilaku (addaba). Al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât mengartikan at-ta’zîr dengan ta’dîb selain had.
Para fukaha menggunakan istilah at-ta’zîr identik dengan sanksi dalam berbagai bentuknya. Ibn Farhun, sebagaimana dikutip oleh Ibn al-Azraq di dalam Badâ’i’ as-Suluk fî Thabâ‘i’ al-Muluk, mengatakan bahwa at-ta’zîr adalah ta’dîb istishlâh (pendisiplinan untuk memperbaiki perilaku) yang umum mencakup mukallaf dan lainnya; seperti ta’dîb anak kecil, hewan ternak dan orang gila; serta pencegahan atas dosa yang di dalamnya tidak disyariatkan hadd dan tidak pula kafarah (tebusan). Ta’zir diikhususkan atas mukallaf sebagai balasan atas dosa yang di situ tidak ditetapkan hadd.
Hanya saja, Ibn al-Ukhuwwah di dalam Ma’âlim al-Qurbah fî Thalab al-Hisbah menyebutkan bahwa at-ta’zîr adalah sebutan khusus yang pelakunya adalah Imam (Khalifah) atau wakilnya dalam selain hudud dan ta’dîb. Adapun pukulan suami terhadap istrinya yang nusyuz dan pengajar atas anak didik maka itu disebut ta’dîb.
Dengan demikian at-ta’zîr hanya dikhususkan pada sanksi sebagai ta’dîb yang dijatuhkan oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya (orang yang mendapat pendelegasian wewenang dari Khalifah); tidak untuk menyebut bentuk ta’dîb dari selainnya. Dari sini maka at-ta’zîr itu pada dasarnya adalah sanksi hukum, yakni ‘uqubat.
Selanjutnya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah di dalam Ath-Thuruq al-Hukmiyah menyebutkan, para ulama sepakat bahwa at-ta’zîr disyariatkan pada setiap kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan itu ada dua jenis: meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram.
Ibn Taimiyah di dalam As-Siyâsah asy-Syar’iyah menyebutkan, “Kemaksiatan yang di situ tidak ada had yang telah ditetapkan dan tidak pula ada kafarah—seperti orang yang mencium wanita asing; bercumbu dengan wanita asing namun tidak sampai bersetubuh; memakan makanan yang haram seperti darah dan bangkai; menuduh qadzaf selain zina; mencuri dari yang tidak disimpan; mengkhianati amanah seperti pengurus baitul mal, harta wakaf atau harta anak yatim jika mereka berkhianat, atau wakil dan partner syirkah jika berkhianat; menipu dalam muamalah seperti orang yang menipu dalam hal makanan atau pakaian; atau mencurangi timbangan dan takaran; bersaksi palsu; memberi atau menerima suap; menghukumi dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah; menyakiti rakyat; menuruti seruan jahiliah atau keharaman-keharaman lainnya—maka para pelakunya dijatuhi sanksi sebagai ta’zîr, tankîl (pelajaran agar tidak diulangi) dan ta`dîb (pendidikan untuk mendisiplinkan perilaku), dengan kadar yang sesuai menurut pandangan pihak berwenang, menurut banyak-sedikitnya kemaksiatan itu di masyarakat.”
Imam al-Mawardi di dalam al-Ahkâm as-Sulthâniyah menyebutkan bahwa at-ta’zîr adalah ‘uqubat (sanksi) yang tidak ditentukan kadarnya oleh syariah. Penentuan kadarnya diserahkan kepada qadhi dengan kadar yang bisa menghalangi pelaku kejahatan agar tidak mengulangi dan mencegah orang dari kemaksiatan tersebut.
Dengan demikian, at-ta’zîr itu adalah hukuman yang disyariatkan dalam kemaksiatan, yang di dalamnya tidak ada had dan tidak pula kafarah. Karena tidak ditentukan jenis dan kadar hukumannya, maka jenis dan kadar hukuman itu diserahkan kepada Khalifah atau qadhi.
At-Ta’zîr adalah ‘uqubat yang syar’i berdasarkan As-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Abdullah Amru bin al-‘Ash menuturkan bahwa Nabi saw. pernah ditanya tentang buah yang masih menggantung di pohonnya, maka beliau menjawab:
مَا أَصَابَ مِنْ ذِى حَاجَةٍ غَيْرِ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلاَ شَىْءَ عَلَيْهِ وَمَنْ خَرَجَ بِشَىْءٍ مِنْهُ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ وَمَنْ سَرَقَ شَيْئًا مِنْهُ بَعْدَ أَنْ يُئْوِيَهُ الْجَرِينُ فَبَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ وَمَنْ سَرَقَ دُونَ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ
Siapa yang mengambil buah itu karena keperluan (untuk dimakan) dan tidak bermaksud untuk menyembunyikannya maka tidak ada apa-apa atasnya. Siapa saja yang membawa keluar maka ia harus membayar denda dua kalinya dan sanksi (‘uqubat). Siapa yang mencuri darinya setelah dimasukkan ke gudang dan sampai harga sebuah perisai (seperempat dinar) maka terhadap dirinya dikenai sanksi potong tangan dan siapa yang mencuri kurang dari harga itu maka ia harus membayar denda dua kalinya dan dikenai sanksi (HR Abu Dawud dan an-Nasai).
Diriwayatkan pula dari Anas bahwa Nabi saw. pernah menahan orang karena suatu tuduhan. Rasul saw. juga pernah menetapkan al-hajru (pemboikotan) selama sebulan terhadap tiga orang yang tidak turut dalam Perang Tabuk tanpa ‘udzur. Rasul saw. juga pernah memberikan celaan dan mengekspos petugas pemungut zakat yang menerima hadiah. Masih banyak riwayat lainnya yang menunjukkan bahwa Rasul saw. melaksanakan sanksi ta’zîr.
Yang harus diperhatikan, kemaksiatan yang ditetapkan had di dalamnya harus terikat dengan had yang telah ditentukan itu. Begitu pula ‘uqubat jinayat telah ditetapkan hukumannya berupa qishash untuk pembunuhan yang disengaja dan penyerangan atas gigi. Adapun pembunuhan jenis lainnya telah ditetapkan sanksinya berupa diyat. Begitupun penyerangan atas badan yang berupa luka di kepala (asy-syijaj), pematahan organ tertentu, telah ditetapkan diyat-nya. Sementara itu, luka dan serangan atas badan ditetapkan sanksinya berupa sanksi finansial, termasuk yang kadarnya ditetapkan melalui hukumah (arbitrase) yang adil. Selain jenis-jenis kemaksiatan tersebut, juga ada kemaksiatan yang telah ditetapkan sanksinya berupa kafarah semisal melanggar sumpah, nadzar, bersetubuh pada siang Ramadhan atau saat ihram, dan semisalnya. Semua itu harus terikat dengan kafarah yang telah ditetapkan oleh syariah itu. Dalam semua jenis kemaksiatan ini, tidak berlaku atasnya sanksi ta’zir. Sebab, pada dasarnya syariah telah menentukan sanksinya baik jenis dan kadarnya atau jenisnya saja dan kadarnya diserahkan pada arbitrase. Karena itu at-ta’zîr berlaku atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan tidak ada kafarah, yang juga mencakup diyat.
Atas kemaksiatan selain dari jenis-jenis tersebut, maka jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada Khalifah atau qadhi. Namun, bukan berarti Khalifah atau qadhi boleh menetapkan jenis dan kadar sanksi itu sesukanya. Khalifah atau qadhi hanya memilih dari jenis-jenis sanksi yang disyariatkan. Di antaranya adalah: (1) hukuman mati; (2) cambuk; (3) penjara; (4) pengasingan; (5) penyaliban; (6) denda; (7) al-hajru (pemboikotan/pengucilan); (8) pelenyapan harta; (9) mengubah bentuk harta; (10) ancaman yang nyata; (11) peringatan; (12) pencabutan hak tertentu; (13) celaan; (14) ekspos. Sebab, keempat belas jenis sanksi itulah yang dibenarkan oleh syariah (lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm).
Adapun kadarnya sepenuhnya diserahkan kepada pandangan Khalifah atau qadhi. Dalam menetapkan jenis dan kadar sanksi itu, Khalifah atau qadhi harus memperhatikan tingkat kemaksiatan; kondisi pelakunya apakah menyesali atau tidak, sering melakukan kemaksiatan atau tidak, dan sebagainya; banyak-sedikitnya intensitas kemaksiatan itu di masyarakat; dampaknya bagi masyarakat; kemaslahatan masyarakat pada umumnya; serta sejauh mana efektivitas sanksi dan kadarnya itu untuk menghalangi dan mencegah pelaku dan orang lain melakukan kejahatan serupa.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]