HTI

Reportase (Al Waie)

JICMI 2013: 2000 Intelektual Mendukung Khilafah

Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals (JICMI) 2013 membuktikan gagasan Hizbut Tahrir untuk mengembalikan peradaban emas Islam dengan tegaknya Khilafah didukung pula oleh kaum intelektual. “Konferensi membuktikan Khilafah adalah gagasan yang sangat ilmiah, sangat intelek. Ini juga membuktikan bahwa Hizbut Tahrir bukan kelompok emosional. Apa yang diperjuangkan Hizbut Tahrir bukanlah nostalgia historis,” ujar Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto saat jumpa pers di hari ke-2 JICMI, Ahad (15/12) di Gedung Smesco Jl Gatot Subroto, Jakarta.

Menurut Ketua Panitia Agung Wisnu Wardhana, sebulan sebelum konferensi dimulai, panitia telah menerima sekitar 140 makalah dari akademisi, praktisi dan profesional baik dari dalam negeri maupun dari Malaysia, Australia, Jepang, Libanon, Inggris dan Aljazair.

Semua makalah dikelompokkan dalam tujuh topik yakni: (1) Perubahan Politik Global dan Dampaknya pada Negeri Muslim; (2) Tantangan Tata Kelola Pemerintahan; (3) Tantangan Ekonomi; (4) Kesehatan dan Ketahanan Pangan; (5) Manajemen Energi dan Sumberdaya Alam; (6) Perempuan dan Keluarga; (7) Pendidikan dan Iptek.

Semua makalah yang masuk tersebut diuji keilmiahannya oleh Scientific Committee of JICMI yang terdiri dari tujuh pakar yakni: Prof Dr-Ing Fahmi Amhar (Badan Informasi Geospasial); Dr. Pri Hermawan (Institut Teknologi Bandung); Dr. Lukman Noerochim (Institut Teknologi Sepuluh Nopember); Dr. Kusman Sadik (Institut Pertanian Bogor); Dr. Epi Taufik (Institut Pertanian Bogor); Yusuf Wibisono, MSc (Universitas Brawijaya) dan Agung  Wibowo, MSc (Universitas Palangkaraya). “Terseleksilah 98 paper (makalah),” ungkap Agung.

Semua makalah yang lulus uji kemudian dibahas secara paralel di tujuh komisi—masing-masing komisi membahas satu topik—oleh 200 profesor, doktor dan master yang hadir pada konferensi hari pertama, Sabtu (14/12) di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Sambutan Penyelenggara

Sebelum pembahasan dimulai, Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rokhmat S Labib menyatakan, penyelenggaraan konferensi intelektual menunjukkan bahwa keinginan untuk menegakkan kembali Khilafah adalah keinginan umat Islam secara keseluruhan. “Intelektual Muslim memiliki peranan penting untuk menyatukan ide dan memberikan solusi bagi persoalan yang dihadapi negeri-negeri muslim saat ini. Setidaknya akan ada 3 hal besar yang menjadi pembahasan utama dalam agenda JICMI, yakni menunjukkan: kebobrokan sistem Kapitalisme saat ini; Islam sebagai solusi alternatif; dan metode untuk mewujudkan Islam hingga tegak di dunia,” ujarnya saat memberi sambutan.

Adapun Direktur Center Media Office of Hizbut Tahrir Osman Bakhach menyatakan peradaban Barat membangun kemajuan teknologinya di  atas penderitaan negeri jajahannya. “Karena itu kita perlu meninjau ulang misi Barat untuk ‘menyelamatkan bangsa yang tidak beradab’ yang justru berdampak pada  pemusnahan bangsa oleh kolonialisme penjajah,” tegasnya.

Lelaki yang menjadi aktivis Hizbut Tahrir sejak berumur 15 tahun ini menyatakan bahwa hal itu terjadi lantaran Barat keliru dalam menentukan kriteria baik dan buruk. “Produk peradaban Barat menganggap kriteria baik dan buruk adalah kemajuan materi, bukan moralitas,” tegasnya.

Akibatnya, lanjut Osman, peradaban Barat  tidak mampu menyeimbangkan kebutuhan fisik dan spiritualnya.  “Akibatnya, peradaban Barat didikte oleh berhala kemajuan material,”  simpulnya.

Melihat kenyataan itu, Peneliti Peradaban  dari Inggris AJ Toynbee menyadari peradaban Barat yang bertumpu pada teknologi adalah berbahaya. “Bagaimana pun agama adalah nyawa kemanusiaan!” tegas Osman mengutip Toynbee.

Sebaliknya, peradaban Islam dibangun atas keyakinan terhadap Allah SWT yang menurunkan sistem bagi manusia, kehidupan, dan alam semesta.  “Perintah dan larangan Allah mengatur aktivitas masyarakat dan negara, dengan tujuan utama mencari ridha Allah SWT dan bukan manfaat semata,” ujarnya.

Ternyata, itu diakui pula oleh Toynbee. “Hadiah Islam untuk kemanusiaan adalah monoteisme, tentu saja kita tidak ingin kehilangannya,” ujar Osman mengutip Toynbee.

Osman pun mengajak para intelektual yang hadir dengan kapasitasnya masing-masing untuk menunjukkan kepada umat bukti empiris betapa adilnya peradaban Islam semasa tegak sejak Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, sebagai pelengkap perangkat dakwah dalam melaksanakan kewajiban menegakkan kembali Khilafah, institusi pengemban peradaban Islam yang mulia.

Sesi Paralel

Prof. Dr. Hassan Ko Nakata, guru besar perguruan tinggi terbesar dan tertua di Jepang University of Doshisha mengkritik konsep nasionalisme dalam menjaga hak-hak personal secara hukum.  “Konsep nasionalisme harus dikritisi karena tidak dapat menaungi hak-hak personal secara hukum terutama terhadap sanksi setelah kematian manusia,” tegasnya saat mempresentasikan makalahnya yang berjudul, “Kritik Konsep ‘Negara Bangsa’ Barat dalam Kegemilangan Khilafah,” di Komisi I.

Dalam Komisi Perubahan Politik Global dan Dampaknya pada Negeri Muslim tersebut, Ko Nakata menyatakan hanya konsep ikatan Islam saja yang dapat menjaga hak-hak kemanusiaan baik ketika manusia hidup maupun setelah mati. “Karena itu kita harus mengganti konsep kenegaraan nasionalisme dengan konsep kenegaraan yang dapat menjaga nilai-nilai kemanusiaan baik ketika hidup maupun setelah mati dan itu hanya ada pada Islam,” ujar lelaki yang menjadi mualaf pada tahun 1983 tersebut.

Sementara itu, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan, Program  Pasca Sarjana, Universitas Pramita Indonesia (UNPRI) Tangerang Dr. Andi Azikin menyatakan, faktor penyebab Indonesia menjadi negara gagal adalah penerapan  Demokrasi Pancasila yang semu. “Kalau kita jujur, tanpa dusta atau kepura-puraan, sangat terasa bahwa demokratisasi dan desentralisasi yang diterapkan dalam sistem Kapitalisme seperti saat ini justru menjadi penyebab utama kebangkrutan pemerintahan di Indonesia,” ungkapnya saat mempresentasikan makalahnya yang berjudul, “Demokrasi Pancasila yang Semu (Faktor Penyebab Indonesia Menjadi Negara Gagal),” di Komisi II Tantangan Tata Kelola Pemerintahan.

Di Komisi III Tantangan Ekonomi, Prof. Dr. Laru Rianda Baka saat menyimpulkan makalahnya yang berjudul, “Krisis Keuangan Global terus Berulang, Bukti Gagalnya Sistem Kapitalisme,” bahwa Khilafah adalah solusi. “Sistem ekonomi yang sahih adalah sistem ekonomi Islam yang telah diturunkan oleh Allah, Tuhan semesta alam. Sistem ekonomi Islam itu berdiri di atas pilar-pilar yang kuat, kokoh dan adil, yang diterapkan dalam sistem Negara Khilafah,” tegas Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Haluoleo, Kendari tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Pusbangsitek UIN Jakarta Dr. Maman Kh menyatakan ketahanan pangan di Indonesia menjadi rentan lantaran masifnya alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukkan yang lebih menguntungkan secara ekonomis. “Itu terjadi lantaran Pemerintah mengikuti arahan IMF dan Bank Dunia untuk mengurangi subsidi hingga 0 persen,” ungkapnya saat mempresentasikan makalahnya yang berjudul, “Akar Masalah Krisis Pangan dan Solusinya dalam Prespektif Islam,” di Komisi IV Kesehatan dan Ketahanan Pangan.

Menurut Maman, Pemerintah sebenarnya mampu memberikan subsidi untuk sektor pertanian jika negara mengelola sumberdaya alam sendiri terutama untuk kehutanan, pertambangan dan kelautan sesuai dengan syariah Islam.

Tidak mau ketinggalan dari profesor dan doktor,  Melyza Fitri PS, mahasiswi Pascasarjana Universitas Sriwijaya Palembang, Sumatera Selatan, memeras kemampuan intelektualnya untuk memberikan solusi atas masalah Manajemen Energi dan Sumberdaya Alam dengan menyampaikan makalahnya yang berjudul, “Potensi Batubara sebagai Pengganti Minyak Bumi dari Sumatera Selatan,” di Komisi V.

Berikutnya, kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak merajalela saat ini, namun tidak pernah selesai sepenuhnya bahkan semakin hari semakin keras, menjadi sorotan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Nurunnisa, ketika menyampaikan makalahnya yang berjudul, “Kriminologi Islam Sebagai Alternatif Pencegahan Tindak Pidana oleh Anak,” di Komisi VI Perempuan dan Keluarga. “Kriminologi harus berasal dari ilmu pengetahuan nyata, yaitu sebagai sumbu kepatuhan terhadap hukum Islam. Oleh karena bargain kriminologi Islam merupakan alternatif rasional sehingga dapat menyelesaikan masalah kejahatan, terutama untuk perlindungan maksimal kepada anak-anak,” simpul kandidat doktor Universitas Hasanuddin Makassar tersebut.

Di Komisi VII Pendidikan dan Iptek, Siti Mudrikah, mahasiswi Pascasarjana Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang, memaparkan makalahnya yang berjudul, “Mencermati Tantangan Pendidikan di Indonesia.”  “Buruknya kondisi pendidikan di Indonesia tidak akan bisa diobati kecuali dengan solusi yang sistematis dengan menegakkan sistem Islam di semua bidang,” ungkapnya.

Di akhir konferensi hari pertama, Prof.  Dr.  Fahmi Amhar menyatakan, berdasarkan hasil diskusi paralel di tujuh komisi dapat disimpulkan bahwa semua persoalan di tujuh topik tersebut bukanlah persoalan teknis semata, namun terkait satu sama lain dan berakar pada pemisahan agama dari kehidupan politik, sosial dan ekonomi.

Para peserta meyakini Islam dengan perangkat syariahnya merupakan solusi terbaik bagi persoalan sistemik tersebut. “Semua diskusi di tujuh komisi itu mengerucut pada integrasi penerapan syariah Islam untuk seluruh aspek kehidupan di bawah naungan Khilafah,” simpulnya.

Kemudian, hasil pembahasan tersebut disosialisasikan pada lebih dari 1800 akademisi dan peneliti yang hadir pada konferensi hari kedua. Secara aklamasi mereka pun sepakat bahwa untuk mengakhiri krisis peradaban manusia saat ini adalah dengan menegakkan peradaban Islam dengan Khilafah sebagai modelnya.

Alhasil, dengan dipandu Ketua Panitia JICMI 2013 Agung Wisnu Wardhana, semua peserta JICMI 2013 berdiri tegak sambil mengacungkan pena memekikkan yel yang tertulis dalam alat tulis simbol kaum intelek tersebut. “Intellectual Awakening for Khilafah! (Kebangkitan Intelektual untuk Khilafah),” ucap mereka berkali-kali.

Acara pun ditutup dengan doa yang dibacakan oleh Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib. Namun, sebelum doa dipanjatkan, Rokhmat menyatakan bahwa seluruh peserta yang hadir wajib berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah, karena telah mendengar kewajiban tersebut di konferensi JICMI ini. Bagi yang tidak mau turut berjuang dan menyesal karena telah hadir dalam konferensi ini dosanya menjadi dua kali. “Dosanya menjadi dua kali, karena sudahlah tidak mau ikut berjuang malah menyesal telah mendengar kebenaran,” tegasnya. [Joko Prasetyo]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*