HTI

Afkar (Al Waie)

Peran Intelektual Muslim Membangun Peradaban Islam

Populasi umat Islam di dunia saat ini ditaksir ada 1,5 miliar.  Dari jumlah ini, estimasi kalangan akademisinya adalah 10% populasi  (di Indonesia menurut BPS adalah 13.28%), artinya ada 150 juta akademisi.  Mereka tersebar di berbagai disiplin ilmu dan di berbagai negara.

Beberapa gagasan yang sering muncul di Dunia Islam menunjukkan potensi besar Intelektual Muslim dalam membangun peradaban Islam.  Mereka telah mengusulkan banyak sekali solusi dalam banyak topik seperti: politik, ekonomi, sains, teknologi dsb.

Jebakan “Lingkaran Setan”

Ragam masalah masalah umat telah banyak didiskusikan dan diseminarkan secara akademis, namun pada umumnya hanya secara parsial.  Penyelesaiannya secara terintegrasi masih jarang didengar.  Hal ini karena para intelektual di Dunia Islam memang masih belum terbiasa melakukan sesuatu di atas atau di luar lingkup akademisnya.  Para akademisi dididik untuk fokus hanya pada bidang kajian yang sangat sempit sehingga justru sering kehilangan konteks atau framework yang melingkupi persoalan itu.

Para akademisi di Dunia Islam juga sering belum memiliki paradigma keilmuan yang khas Islam.  Akibatnya, sebagian dari mereka terjebak pada “islamisasi sains” yang tak lebih dari mencocok-cocokkan penemuan sains dengan ayat suci, “saintifikasi islam” yaitu mencari-cari sains di balik suatu ajaran Islam, atau “sains ta’wili” yaitu menebak-nebak sains sebagai makna suatu ayat yang sebenarnya mutasyabihat (Amhar, 2012).

Memang, ada persoalan-persoalan pengaturan manusia yang memerlukan sistem, dan itu memang sebagian diselidiki secara ilmiah.  Muncullah ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan dan sebagainya, yang seharusnya dapat dipisahkan mana yang merupakan sistematisasi fenomena empiris, dan mana solusi yang muncul dari sebuah pandangan hidup.  Ini mestinya menjadi “sains ijtihadi”.

Adapun terhadap fenomena alam seperti fisika, astronomi atau biologi, juga sains yang dibangun di atasnya, al-Quran bukanlah alat penguji kebenaran ilmiah karena memiliki domain yang sama sekali berbeda.  Namun, al-Quran memberikan ratusan ayat yang sebaliknya memotivasi dan menginspirasi ilmuwan Muslim untuk meneliti.  Pada saat yang sama Islam memberikan berbagai batasan syar’i atas metodologi ilmiah yang dilakukan.  Ada beberapa cara pengungkapan ilmiah atau eksperimen yang dilarang karena akan melanggar syariah, misalnya eksperimen terhadap manusia.  Di hilir, Islam memberikan arah, untuk apa sebenarnya sains dan teknologi itu ada.  Islam tanpa sains dan teknologi akan terjajah.  Sains dan teknologi tanpa Islam akan menjajah.  Islam yang memandu sains dan teknologi akan membebaskan manusia dari penjajahan!

Setiap orang yang diberi kapasitas lebih oleh Allah SWT tentu diharapkan memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada umat. Demikian pula seorang akademisi. Setelah memerintahkan seorang Muslim untuk mempelajari alam semesta (QS 88: 17-20), Allah SWT memerintahkan untuk menyampaikan  peringatan (QS 88: 21-22). Ketika mulai  menjalankan peran tanggung jawab keumatan inilah, dia beralih dari sekadar seorang akademisi menjadi seorang intelektual.  Cuma mulai dari mana?

Akademisi Muslim yang telah merasa terpanggil tanggungjawabnya terhadap umat ini lalu mencoba ikut memunculkan solusi. Namun, lack konteks dan paradigma membuat mereka sering terseret pada suatu jebakan “lingkaran setan”.  Ini bisa berawal dari asumsi yang mendasari tentang apa sesungguhnya akar persoalannya. Berikut ini adalah gambaran contoh jebakan lingkaran setan.

Ada yang menyangka bahwa umat ini terpuruk karena lemah dalam sains dan teknologi.  Karena itu mereka fokus pada penguasaan teknologi, membangun lembaga-lembaga untuk meraih keunggulan teknologi, atau mengirim anak-anak Muslim untuk belajar teknologi ke negara maju.

Apakah upaya ini berhasil?  Berapa sarjana Muslim yang telah menguasai teknologi tinggi? Apakah ini berkorelasi dengan kemajuan umat secara keseluruhan?  Setelah dianalisis, penguasaan teknologi tinggi tersebut ternyata tidak dapat diaplikasikan, karena kecilnya dana yang tersedia atau kesempatan yang ada untuk mewujudkannya menjadi industri dan lalu menjadi bisnis mandiri yang memicu pertumbuhan ekonomi.

Apakah memang seharusnya lebih fokus ke ekonomi?  Kalau demikian, yang diperbanyak adalah membangun sektor ekonomi dan keuangan untuk permodalan umat.  Wujudnya antara lain berupa pendirian lembaga-lembaga pengembangan calon enterpreneur dan pengucuran kredit mikro.

Namun, mengapa sudah banyak pakar ekonomi, tetapi negaranya termasuk negara miskin? Mengapa negeri kita sangat kaya-raya, tetapi rakyatnya sangat miskin?  Setelah dianalisis: kekayaan dan kepakaran ekonomi tidak berguna jika orang-orangnya tidak bermoral (berakhlak), banyak yang KKN atau menjalankan bisnis yang tidak halal.

Kalau begitu, apakah akhlak lebih penting?  Apakah fokus pada perbaikan akhlak akan berhasil? Kalau demikian maka diperbanyak pengajian-pengajian yang menyentuh hati; diperbanyak kesempatan orang untuk beristighfar, berzikir, atau berdoa bersama; diperbanyak siraman ruhani di televisi atau media lainnya.

Namun, mengapa orang-orang yang semula berakhlak baik, ketika masuk sistem negara (duduk di legislatif, birokrasi, penegakan hukum), atau dunia bisnis, malah lebih sering menjadi rusak, secara sadar maupun tidak?  Kalaupun ada yang tetap baik, mengapa justru dia akan teralienasi dan tersingkirkan?  Kalau ada yang mencoba sedikit memperbaiki sistem, mengapa mereka justru malah ditendang?

Apakah ini berarti kita perlu melahirkan lebih banyak manusia yang berakhlak untuk mewarnai sistemnya?  Lalu apakah mewujudkan pendidikan Islam menjadi fokus yang lebih penting? Apakah dengan mendirikan banyak sekolah Islam dan pesantren akan berhasil?

Setelah pendidikan ini dirintis, sekarang sudah banyak sekolah Islam, namun mengapa mutunya justru lebih rendah dari sekolah negeri?  Mengapa yang didirikan sekolah Islam, tetapi tetap memakai kurikulum yang sama dengan sekolah negeri?  Mengapa sekolah Islam yang baik iuran SPP-nya jauh lebih mahal dari sekolah negeri? Mengapa lulusan sekolah Islam kualitas dan perilakunya tidak lebih baik dari sekolah negeri?

Ternyata, setiap upaya yang dilakukan seakan-akan seperti masuk ke dalam lingkaran setan yang tak berujung pangkal.  Lantas apa yang seharusnya diupayakan oleh para intelektual Muslim?

Analisis Masalah

Islam diterapkan di masyarakat oleh tiga pilar: ketakwaan individu, kontrol sosial masyarakat dan oleh negara.  Setelah didalami, ternyata Islam memiliki lebih banyak kewajiban yang berupa fardhu kifayah daripada fardhu ‘ain.  Yang fardhu ‘ain juga lebih banyak yang baru sempurna dengan suatu aktivitas kolektif.

Contoh: shalat adalah aktivitas individual.  Namun, bagaimana menciptakan suasana yang kondusif, agar orang termotivasi untuk shalat, misalnya dengan penyediaan fasilitas yang baik dan memadai, pengaturan jadwal kegiatan, dan pengumandangan azan pada waktunya dll, adalah tanggungjawab kolektif.

Nah, saat ini, dari dua pilar itu tinggal satu yang tersisa, yaitu ketakwaan individu. Itu pun relatif sedikit dibandingkan dengan populasi yang ada.  Adapun kontrol sosial sekarang sudah sangat kabur.  Sudah puluhan tahun, kultur yang ada hanya mentoleransi pengamalan ajaran Islam, bukan memotivasi. Bahkan sebagian hal-hal yang diwajibkan oleh Islam masih memerlukan ijin untuk diterapkan.  Inilah opini yang saat ini berkuasa. Contoh paling aktual adalah jilbab.  Dulu jilbab tidak boleh ada di pasfoto ijazah atau KTP. Sekarang sudah ditoleransi, kecuali di kepolisian.  Para polwan masih menunggu SK untuk jilbab sebagai pakaian seragam.

Inilah opini umum yang sekular dan liberal. Disebut sekular adalah tatkala orang sampai beranggapan bahwa manusia lebih tahu urusannya dan tidak perlu membawa-bawa Tuhan ketika berbicara tentang pengaturan masyarakat.  Setelah masyarakat memisahkan Islam dari persoalan kehidupan publik, yang terjadi adalah: di satu sisi muncul asketisme (ibadah yang berlebihan dan tidak peduli urusan dunia) dan di sisi lain muncul liberalisme (yaitu yang untuk urusan politik, ekonomi, peradilan, pendidikan, pergaulan dan hubungan luar negeri tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan).

Adapun negara, yang mestinya memaksa mereka yang ketakwaannya ataupun kontrol sosial di lingkungannya belum mendorong menaati Islam, justru saat ini hanya mengikuti opini tadi.  Demokrasi adalah doktrin bahwa hukum atau aturan bermasyarakat harus diambil dari kehendak rakyat.  Ketika opini umum yang dominan di tengah rakyat masih sekular dan liberal, otomatis demokrasi hanya akan menghasilkan hukum yang sekular-liberal.  Pemilu di beberapa negeri Islam membuktikan itu.

Apalagi bila demokrasi ini sudah bias dengan kepentingan para sponsor dan pemainnya. Para sponsor ini mampu membayar media, pengamat, konsultan politik, LSM, hingga para penegak hukum yang bisa disuap.  Para sponsor ini adalah kaum kapitalis hitam, baik domestik ataupun asing. Mereka memandang aktivitas politik selayaknya investasi bisasa. Para pemain ini memandang politik hanya sebagai petualangan untuk mencari keuntungan, bukan aktivitas untuk melayani urusan publik.  Akibatnya, demokrasi tersandera tiga kali: pertama oleh opini sekular-liberal, kedua oleh dominasi para kapitalis hitam, dan ketiga oleh para petualang.

Kalau kita mempelajari sejarah Nabi saw. dalam konteks transformasi masyarakat, kita akan melihat bahwa Nabi saw. melakukan perubahan yang fundamental di tiga aspek tersebut.  Nabi saw. mengubah individu dengan menanamkan tauhid.  Selanjutnya Nabi saw. membalikkan opini umum di masyarakat dengan menyodorkan ayat-ayat yang bertentangan dengan opini tersebut.

Oleh sebab itu, ketika pada masa kini, opini umum yang dominan dan bertentangan dengan ayat-ayat suci adalah sekularisme dan liberalisme, maka tugas para intelektual juga untuk membalikkan opini ini.  Sekularisme-liberalisme sudah dari awal bertentangan dengan tauhid.  Proses transisi pembalikan opini ini tentu memerlukan proses yang panjang dan menyakitkan.  Namun, ini semua proses yang perlu dilalui, sampai didapatkan suatu “massa kritis” yang siap memanggul beban perubahan.

Setiap perubahan selalu dimulai dengan satu orang dengan sekelompok kecil pengikutnya sebagai “pioner” yang tak akan lebih dari 0,5% populasi.  Kemudian mereka akan diikuti oleh kelompok “early adopters”.  Jumlahnya akan mencapai 5%. Selebihnya perkembangan akan bergulir cepat sehingga sebagian besar populasi akhirnya akan mengikuti sebagai “early majority”.  Di sinilah terjadi massa kritis.  Total 50% lebih.  Sisanya akan ikut sebagai “late majority”.  Kemudian akan ada sedikit sisa yang ketinggalan (“laggard”), yang tak akan sampai 1%.  Sepertinya sunnatullah di mana-mana memang begitu.

Massa kritis ini adalah mereka yang memang siap dengan segala risiko sebuah transformasi sosial. Tidak ada transformasi sosial yang langsung dapat dinikmati.  Selalu akan ada masa-masa sulit; masa-masa kurang tidur; masa-masa penuh ketakutan, kekurangan dan ketidakpastian.

Di situlah peran dan tanggungjawab yang harus diambil alih para intelektual.  Merekalah yang harus menginspirasi para pemimpin politis agar maju, mengambil alih tanggungjawab memimpin masyarakat menghadapi masa-masa yang berat.

Bila para intelektual ini lebih cinta dunia dan takut mati, para pemimpin pun akan menjadi lemah dan akhirnya rusak.  Kala pemimpin rusak, umat pun akan rusak.  Sebaliknya, jika para intelektual ini lebih mencintai Allah dan mati syahid, mereka tidak takut menderita, maka para pemimpin pun akan menjadi kuat, menjadi besar hatinya, dan berusaha menjauhi kerusakan. Jika ada pemimpin-pemimpin yang seperti ini, umat pun akan bisa diperbaiki, karena ada teladan yang bisa dipercaya.  Umat akan bisa dibangkitkan dan bisa diajak bergerak menuju tugas sejarahnya!

Sebagaimana sebuah pekerjaan raksasa, perubahan ini tidak bisa tidak kecuali secara bersama-sama dalam sebuah jejaring (network).  Inilah dakwah berjamaah, di dalamnya para intelektual akan saling mengisi, saling memperkuat dan saling mengoreksi.

Penutup

Inilah saatnya intelektual Muslim menyatukan visi dan misi hidupnya.  Visi hidupnya yang pertama sebelum menjadi intelektual adalah senantiasa menjadi hamba Allah, yang dihadirkan ke dunia, untuk menjadi yang terbaik, untuk menjadi rahmat seluruh alam. Inilah saatnya, intelektual Muslim menyadari, bahwa mereka adalah bagian dari umat yang terbaik, yang harus menghadirkan ke dunia ini karya-karya terbaik, yang memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan manusia, menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar dan membuktikan keimanan kepada Allah. Inilah saatnya mereka duduk bersama untuk mengintegrasikan dan mensinergikan seluruh potensi yang mereka miliki, untuk menyelesaikan problematika umat tersebut. [sumber: Makalah JICMI 2013]; [Prof. Dr. Fahmi Amhar]

Referensi

Amhar, F. (2007): “Analisis Futuristik:  Kekuatan Umat Islam Terkini Bila Bersatu”.  Majalah Al-Waie, edisi Maret 2007.

Amhar, F. (2012): “Studi Komparasi Mazhab Riset Teknologi: Antara Ilmuwan Islam dan Sekuler”. Suara Hidayatullah. http://www.hidayatullah.com/read/21275/21/02/2012/antara-ilmuwan-islam-dan-sekuler.html

BPS (2012): “Indikator Pendidikan Indonesia”. http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=1

Scheherazade S. Rehman & Hossein Askariy (2010):  “How Islamic are Islamic Countries?”  Global Economy Journal Volume 10, Issue 2 2010 Article 2. Berkeley Electronic Press. http://www.ahmad-juhaidi.com/wp-content/uploads/2013/06/how-islamic-islamic-countries.pdf

Lubeck, P (1999): “Antinomies of Islamic Movement under Globalization”. Center for Global International and Regional Studies. http://escholarship.org/uc/item/0hn7r3q7

Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC). www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*