Indonesia, negeri kaya di khatulistiwa, tak henti dirundung nestapa. Nasib serupa dialami kaum Muslim di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan selama 2013 menunjukkan betapa negeri ini belum mapan dan kian jauh dari harapan. Rangkaian peristiwa menonjol terangkum dalam kilas balik berikut ini.
Politik: Demokrasi dan Gurita Korupsi
Tahun 2013 menjadi tahun yang penting menjelang suksesi kepemimpinan Indonesia. Presiden SBY harus lengser pada 2014, setelah memimpin selama dua periode.
Berbagai ancang-ancang dilakukan oleh partai politik untuk berebut kursi tertinggi negeri Muslim terbesar di dunia ini. Puluhan partai politik mendaftarkan diri. Namun, hanya 12 partai politik nasional yang akhirnya berhak maju ke Pemilu mendatang. Hampir semuanya adalah partai-partai lama. Kalaupun baru, orangnya stok lama.
Bersamaan dengan itu, Pemerintah dan DPR berusaha menggiring organisasi kemasyarakatan (Ormas) untuk bergabung dengan partai politik. Ini tersirat dalam RUU Ormas. RUU itu pun mencoba mengebiri ormas dengan melarang mereka menggunakan asas Islam dan bergerak di bidang politik. Penentangan pun bermunculan. Akhirnya, UU Ormas disahkan dan berbagai niat Pemerintah tak kesampaian.
Di tengah persiapan menjelang Pemilu, tabir partai politik mulai terbuka. Syahwat mereka mengumpulkan pundi-pundi uang dengan segala cara untuk kepentingan demokrasi tak bisa ditahan lagi. Jadilah partai politik menjadi sarang bercokolnya para koruptor. Wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR satu-persatu dicokok oleh KPK.
Setelah sebelumnya M Nazaruddin (bendahara Partai Demokrat) dijebloskan ke penjara karena terbukti korupsi, giliran berikutnya adalah teman-temannya. Ada Angelina Sondakh yang November lalu dijatuhi hukuman 12 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Andi Alfian Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga dari Partai Demokrat, juga ditahan KPK karena diduga terlibat korupsi Wisma Atlet di Hambalang. Kasus yang sama menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Padahal mereka ini sebelumnya adalah bintang iklan: “Katakan Tidak pada Korupsi!”
Bukan hanya Partai Demokrat, utak-atik proyek pun dilakukan oleh kader PKS. Tak tanggung-tanggung, pelakunya adalah Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq. Di penghujung Januari, ia ditangkap KPK karena terlibat dalam pengaturan impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang. Di persidangan, Lutfi dinyatakan bersalah dan divonis 16 tahun penjara; beberapa hartanya pun disita.
Korupsi ini tidak hanya menjadi domain wakil rakyat, birokrat pun terlibat. Beberapa hari sebelum Luthfi, Irjen Pol Joko Susilo digelandang KPK. Ia didakwa terlibat korupsi simulator SIM. Di persidangan Joko divonis 10 tahun penjara. Di pengadilan banding, hukumannya diperberat menjadi 18 tahun penjara, membayar uang pengganti 32 milliar, dan hartanya 200 milliar yang telah disita KPK disita untuk Negara.
Rupanya, korupsi ini sudah menjadi penyakit akut dan menjangkiti semua lini. Agustus 2013, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini tertangkap tangan menerima suap di rumahnya. Uang itu dari perusahaan migas yang ingin memenangi tender.
Yang paling spektakuler pada tahun 2013 adalah penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh KPK. Ia dicokok di rumah dinasnya karena diduga menerima uang suap dalam kasus Pilkada di Kab Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Bersama dia digelandang pula kader Partai Golkar Chairunnisa.
Ternyata Akil tidak hanya bermain di satu Pilkada itu saja. Ia pun diduga menerima suap dalam kasus Pilkada Lebak, Banten. Saat itu pula KPK menangkap Tubagus Chaeri Wardhana, adik kandung Gubernur Banten Atut Chosiyah. Dari sinilah, berbagai kasus korupsi di Banten oleh keluarga Atut mulai terkuak. Terungkap, dinasti Atut menguasai hampir semua lini pemerintahan di provinsi paling barat pulau Jawa itu. Ada dugaan, terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya.
Sepak terjang dinasti Atut ini pun menambah deret panjang jejak korupsi di birokrasi. Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi sejak Pilkada secara langsung pada 2005, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menilai faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah itu adalah tingginya biaya politik selama Pilkada berlangsung. “Karena dalam politik tidak ada yang gratis.”
Itulah mengapa, politik dinasti muncul di daerah. Begitu salah satu bagian dinasti meraih kursi, singgasana itu akan terus dipertahankan pada dinastinya. Pakar menyebut ini sebagai ‘cacat bawaan demokrasi’.
Hampir semua lini terlibat korupsi, tak terkecuali para pejabat tinggi. Wakil Presiden Boediono diperiksa KPK karena diduga bertanggung jawab atas pengucuran dana bagi Bank Century, Rp 6.7 triliun. Demikian pula Istana disebut-sebut terlibat dalam berbagai tindak korupsi dalam kasus impor daging sapi dan Hambalang.
Ekonomi: Jago Ngutang, Dicaplok Asing
Pembangunan di Indonesia ternyata lebih mengandalkan utang daripada sumber kekayaan alam. Hingga September 2013, utang Pemerintah Indonesia mencapai Rp 2.273,76 triliun. Jumlah utang ini naik naik Rp 95,81 triliun dibandingkan dengan posisi Agustus 2013.
Bila dibandingkan dengan utang pada akhir tahun 2012 yang sebesar Rp 1.977,71 triliun, utang Pemerintah di September 2013 naik cukup tinggi. Secara rasio terhadap PDB total di 2012, utang Pemerintah Indonesia berada di level 27,5 persen hingga September 2013.
Utang ini menjadi andalan Indonesia karena kekayaan alam telah tergadaikan kepada pihak asing. Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Pratikno mengatakan, hingga September aset negara sekitar 70-80 persen telah dikuasai bangsa asing. Tanpa usaha keras untuk mengambilnya kembali, aset itu semuanya akan jatuh ke tangan orang asing.
Ia mencontohkan, aset di bidang perbankan, bangsa asing telah menguasai lebih dari 50 persen; sektor migas dan batubara antara 70-75 persen; telekomunikasi antara 70 persen. Yang lebih parah, pertambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asing mencapai 80-85 persen.
Dalam situasi seperti itu Pemerintah tak berkutik. Titah asing tak bisa ditolak. Jadilah Pemerintah membebek perintah asing untuk mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Mulai Sabtu (22/6/2013) Pemerintah menetapkan, harga BBM bersubsidi jenis premium naik Rp 2.000 perliter dan harga jual Solar naik Rp 1.000 perliter.
Dengan kenaikan tersebut, terhitung mulai Sabtu (22/6/2013), harga jual premium yang semula Rp 4.500 perliter menjadi Rp 6.500 perliter. Solar yang semula Rp 4.500 perliter menjadi Rp 5.500 per liter. Pemerintah beralasan, meningkatnya harga minyak dunia dan membengkaknya konsumsi BBM telah mengakibatkan subsidi BBM mendekati Rp 300 triliun dan defisit anggaran melampaui 3 persen. Anehnya, DPR yang katanya wakil rakyat, malah setuju dengan Pemerintah dan menolak aspirasi rakyat.
Ketika para pakar berpendapat kenaikan harga BBM ini akan menaikkan inflasi dan kemiskinan lebih dari 2 persen, dalam pidato kenegaraan di depan DPR Agustus 2013, Presiden SBY justru mengklaim kemiskinan di Indonesia menurun. Tercatat tingkat penurunan angka kemiskinan di 2004 hingga 16,66 persen menjadi 11,37 persen hingga Maret 2013.
Padahal fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Secara kualitas kemiskinan justru mengalami involusi dan cenderung semakin kronis. Ini pula yang dirasakan oleh Gubernur DKI yang baru Joko Widodo. Saat sidang paripurna DPRD DKI Jakarta April 2013, Jokowi memaparkan jumlah penduduk miskin pada bulan September 2012 sebesar 366.770 orang atau 3,70 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk miskin pada September 2011 yang berjumlah 355.200 orang atau 3,64 persen.
Angka kemiskinan ini berkorelasi positif dengan jumlah pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka sebesar 6,25 persen atau sebanyak 7,39 juta orang (per Agustus 2013) atau meningkat sebesar 6,14 persen (7,24 juta orang) dibandingkan dengan periode yang sama 2012.
Kepala BPS Suryamin Rabu (6/11/2013) menjelaskan, bertumbuhnya jumlah pengangguran ini lantaran adanya perlambatan ekonomi pada tahun ini, terutama pada triwulan III/2013; ekonomi tumbuh hanya 5,62 persen. “Perlambatan ekonomi ini menyebabkan pengurangan lapangan kerja. Akhirnya, kurang ada penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.
Ekonomi yang kian sulit mendorong para buruh terus berupaya mendapatkan perbaikan penghasilan. Sepanjang tahun 2013, aksi buruh terjadi di mana-mana. Mereka menuntut perbaikan upah minimum. Para pengusaha pun keberatan karena mereka banyak terbebani biaya siluman alias pungutan liar. Ini diakui sendiri oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Adapun buruh merasa upahnya tak lagi cukup untuk hidup. Konflik itu terus berkepanjangan hingga akhir tahun.
Dalam situasi seperti ini, Pemerintah meminta DPR menyetujui anggaran negara tahun 2014. Postur APBN itu menunjukkan kenaikan pengeluaran Pemerintah. Ironisnya, sebagian besar pengeluaran APBN kita ternyata bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk yang lain: membayar utang dan bunganya; gaji pegawai negeri; juga fasilitas dan perjalanan dinas para pejabat. Bahkan tren pengeluaran untuk fasilitas dan perjalanan dinas para pejabat meningkat dari tahun ke tahun. Sebaliknya, pengeluaran untuk rakyat—melalui subsidi—terus-menerus dikurangi.
Di sisi penerimaan ada pengurangan. Lagi-lagi Pemerintah mengandalkan penerimaan dari pajak, bukan dari sumberdaya alam. Untuk itu Pemerintah akan menggenjot pajak dan mengutang kepada negara lain/lembaga internasional.
Bahkan untuk menaikkan citra, Pemerintah rela merogoh kocek Rp 109 miliar untuk menyelenggarakan pertemuan World Trade Organization di Bali, awal Desember lalu. Tidak ada yang didapat Indonesia kecuali pujian bahwa Indonesia menjadi pelaksana pertemuan WTO yang baik. Adapun kepentingan Indonesia dan negara berkembang melayang, kalah oleh kepentingan negara besar.
Sosial-Budaya: Kian Rusak dan Liberal
Tahun 2013 tak lepas dari konflik hirisontal. Demokrasi yang digadang-gadang mampu melahirkan tatanan masyarakat yang lebih baik ternyata sebaliknya. Masyarakat kian liberal. Jalinan persaudaraan mereka putus.
Konflik antaranggota masyarakat berlangsung hampir setiap saat. Setiap masalah berujung kekerasan, anarkisme. Bentrok antarkampung, antarsuku, antarpreman, antarsekolah, antarormas, antarpendukung calon kepala daerah, bahkan antargeng mewarnai pemberitaan televisi. Negara dibuat tak berdaya.
Budaya kekerasan ini berimbas pada lahirnya manusia-manusia sadis. Kriminalitas tumbuh sampai taraf yang mengkhawatirkan. Pembunuhan terjadi dengan berbagai modus. Ada mutilasi (kasus Benget di Jakarta Timur), menggunakan pembunuh bayaran (kasus Holly), dibunuh lalu dimasukkan koper (kasus Tante Heny), dibunuh pasangan suami-istri (kasus penari telanjang), dsb.
Di kalangan remaja terjadi degradasi moral yang luar biasa. Seks bebas menggejala. Video mesum tak hanya dibuat kalangan dewasa, tetapi remaja bahkan masih SMP. Bahkan ada pelajar SMP di Surabaya yang menjadi mucikari untuk kawan-kawannya sendiri. Tak heran jika sekarang anak seusia SD pun ada yang melahirkan (kasus di Musi Banyuasin, Sumsel).
Tingginya angka perilaku seks bebas berimbas pada bertambahnya jumlah pengidap HIV/AIDS di kalangan remaja. Nah, demi mengerem wabah penyebaran virus HIV, Pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama DKT Indonesia dan Kementerian Kesehatan akan menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada 1 Desember hingga 7 Desember dengan membagikan kondom secara gratis. Kebijakan ini disinyalir akan kian menyuburkan seks bebas.
Di sisi lain, pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan generasi terbaik, gagal. Banyak koruptor bergelar profesor dan doktor. Pendidikan kering dari nilai-nilai moral dan etika, apalagi agama. Yang terlahir justru generasi yang permisif, hedonis, materalis dan individualis.
Pemerintah seperti tak peduli dengan nasib generasi ini. Perhelatan Miss World digelar di Indonesia dengan berbagai dalih. Padahal semua tahu perhelatan itu adalah ajang eksploitasi wanita oleh kaum kapitalis.
Internasional: Umat Islam Teraniaya
Situasi Dunia Islam belum beranjak baik. Kaum Muslim menjadi korban keganasan berbagai rezim. Di Suriah, lebih dari 100 ribu kaum Muslim dibantai oleh rezim Bashar Assad. Anehnya, dunia membiarkan pembunuhan massal tersebut.
Di Mesir, rezim militer Mesir dipimpin Abdul Fatah As-Sisi menggulingkan pemerintahan Mursi yang baru berkuasa secara sah selama setahun. Kudeta ini menyebabkan konflik berkepanjangan. Rakyat menjadi sasaran kekejaman tentara.
Di Palestina, kaum Muslim masih menjadi bulan-bulanan tentara Israel. Rumah-rumah mereka dihancurkan dan diganti dengan permukiman Yahudi. Bahkan bagian bawah Masjid Al-Aqsha dibuat terowongan untuk membangun tempat peribadatan kaum terlaknat tersebut. Kaum Muslim di Gaza diblokade dari segala penjuru. Terowongan yang menghubungkan Gaza-Mesir dihancur-kan. Muslim di Afganistan terus dijajah oleh Amerika dan penguasanya sendiri.
Di belahan Dunia Islam lainnya, kaum minoritas Muslim tak beranjak dari kondisi terpuruk. Muslim di Xinjiang (Cina), Rohingya (Myanmar), dan Pattani (Thailand) berjuang untuk membebaskan diri dari kekejaman rezim penguasa. Di Barat, minoritas Muslim sering mendapatkan perlakukan diskriminatif. Mereka semua tak bisa berbuat banyak, kecuali bertahan dan membela diri dengan kemampuan yang ada.
Di sisi lain, negara adidaya Amerika Serikat mulai berjalan gontai. Krisis ekonomi membuat negara itu limbung. Utang kian menumpuk. Rezim Obama bersitegang dengan Kongres terkait anggaran belanja negara sehingga Amerika sempat shutdown Oktober karena rencana Pemerintah menambah utang tak disetujui oleh Kongres.
Tidak hanya krisis ekonomi, Amerika pun mengalami krisis sosial. Kriminalitas meningkat, termasuk pembunuhan massal. Di penghujung tahun, markas Angkatan Laut diserang, 13 tewas. Demikian pula pengangguran dan kemiskinan mulai tampak. Gelandangan terlihat di beberapa sudut kota. Kendati begitu, Amerika secara militer masih cukup kuat. Dengan kemajuan teknologinya, Amerika menyadap puluhan negara, termasuk Indonesia. Aksi Amerika ini dibantu oleh sekutunya, yakni Australia dan Inggris. Banyak negara marah atas aksi Amerika itu. Namun, tidak demikian dengan Indonesia. Rezim SBY tak berani protes kepada Amerika. Kepada Australia, SBY hanya mengirim surat dan menarik duta besar Indonesia dari Canberra. Begitu PM Australia Abbot menyatakan Australia tidak akan menghentikan aksi penyadapannya, SBY tak bisa apa-apa. [Humaidi]