Al-Mukhâlafat adalah bentuk jamak dari al-mukhâlafah. Al-Mukhâlafah adalah mashdar (gerund) dari khâlafa–yukhâlifu–mukhâlafatan.
Menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, al-mukhâlafah berasal dari khalafa ‘an al-amri yang artinya kharaja ‘anhu (keluar dari perintah/ketentuan). Jadi, al-mukhâlafah artinya melakukan apa yang dilarang.
Di dalam al-Quran kata khâlafa dalam arti tersebut dinyatakan dua kali. Salah satunya dalam ayat berikut:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih (QS an-Nur [24]: 63).
Menurut Ibn Manzhur di dalam Lisân al-‘Arab, perkiraan makna firman Allah ini, yakhrujûna ‘an al-amri (mereka keluar dari perintah) karena al-mukhâlafah adalah keluar dari ketaatan.
Kata al-mukhâlafah di dalam al-Quran digunakan dalam makna bahasanya, yaitu menyalahi perintah atau melakukan apa yang dilarang, yakni keluar dari ketaatan.
Perbuatan menyalahi perintah dan larangan itu secara ‘urfi disebut kejahatan/kriminal yang pelakunya layak dijatuhi sanksi. Karena itu Ibrahim Anis, dkk, dalam Mu’jam al-Wasîth mengartikan al-mukhâlafah adalah tindakan kriminal (al-jarîmah) yang dikenai hukuman atau sanksi.
Di antara kejahatan itu ada yang jenis, bentuk dan kadar hukumannya telah ditentukan oleh syariah: jika berkaitan dengan hak Allah disebut al-hudûd; jika berkaitan dengan hak adami (manusia) disebut al-jinâyât/al-qishâsh. Ada juga kemaksiatan yang jenis, bentuk dan kadar hukumannya diserahkan pada ijtihad Khalifah atau qadhi (hakim). Jenis kemaksiatan ini disebut ta’zîr.
Abdul Qadir Audah di dalam Tasyrî’ al-Jinâ’i menguraikan:
Syariah telah menyatakan sebagian dari ta’zîr dan itu adalah yang dinilai sebagai kejahatan pada semua waktu seperti riba, mengkhianati amanah, mencaci dan suap. Syariah menyerahkan kepada ulil amri untuk menyatakan sebagian lainnya. Ini adalah bagian yang lebih besar dari kejahatan ta’zîr. Namun, syariah tidak memberi ulil amri kebebasan menyatakan kejahatan-kejahatan ini. Syariah hanya mewajibkan agar pengharaman (pelarangan) itu sesuai dengan apa yang dituntut oleh kondisi jamaah, pengaturan jamaah, pembelaan terhadap ragam kemaslahatan jamaah dan sistemnya secara umum; dan agar pelarangan itu tidak menyalahi nas-nas syariah dan doktrin-doktrinnya yang bersifat umum.
Pemberian kepada ulil amri hak untuk melegislasi dalam batas-batas ini agar ulil amri bisa mengatur dan mengarahkan jamaah ke arah yang sahih; juga agar ulil amri dapat menjaga ragam kemaslahatan jamaah, membela jamaah dan menyelesaikan kondisi-kondisi yang terjadi.
Ada perbedaan antara kejahatan yang dinyatakan oleh syariah dan aktivitas yang diharamkan oleh ulil amri. Apa yang dinyatakan haram oleh syariah adalah haram selamanya sehingga tidak boleh kejahatan itu dianggap sebagai perbuatan mubah. Sebaliknya, apa yang diharamkan oleh ulil amri hari ini boleh saja esok (mendatang) dibolehkan jika kemaslahatan umum menuntut hal itu.
Dari sini berarti, ‘uqubat jenis ta’zîr sebenarnya mencakup dua kelompok: (1) kemaksiatan yang dinyatakan oleh nas syariah; (2) pelanggaran terhadap ketentuan ulil amri, yakni ketentuan negara. Para ulama dan fukaha terdahulu membahas ta’zir dengan cakupan seluas itu. Para ulama terdahulu hanya membagi kriminal menjadi tiga kategori yaitu: al-hudûd, al-jinâyât/al-qishâsh dan at-ta’zir.
Namun, Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya, Nizhâm al-‘Uqûbât, memisahkan pelanggaran terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh negara—yang tidak dinyatakan oleh nas syariah—dari ta’zîr. Abdurrahman al-Maliki menyebut pelanggaran terhadap peraturan negara dengan istilah al-mukhâlafât. Beliau menyatakan:
Al-Mukhâlafât adalah tindakan tidak terikat dengan perintah dan larangan yang dikeluarkan oleh negara. Sudah dimaklumi bahwa Khalifah tidak boleh: menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal; mewajibkan yang mandub atau mubah; mengharamkan yang makruh; menghalalkan atau mewajibkan keharaman; mengharam-kan yang wajib, mandub atau mubah. Khalifah hanya melakukan ri’âyah asy-syu‘ûn al-ummah dan mengelola berbagai kemaslahatan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum syariah. Hanya saja, Asy-Syâri’ memberikan hak kepada Khalifah untuk mengelola sebagian urusan umat sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya, misal: mengelola Baitul Mal, menyiapkan pasukan, memilih para pengurus kemaslahatan masyarakat, membangun kota-kota, mengatur jalan, mencegah masyarakat melanggar sebagian terhadap sebagian yang lain, menjaga hak-hak umum, dsb. Urusan-urusan ini dan semacamnya diserahkan kepada Khalifah. Khalifah lalu mengeluarkan perintah menurut pendapatnya atau melegislasi undang-undang yang diperlukan. Perintah dan undang-undang ini wajib dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Menyalahi perintah dan undang-undang ini adalah kemaksiatan. Apa yang tidak dilaksanakan di antara apa saja yang diharuskan oleh Khalifah kepada masyarakat, juga apa saja larangannya yang dilanggar, dinilai sebagai mukhâlafah yakni kejahatan yang layak dijatuhi sanksi. Kejahatan-kejahatan ini disebut mukhâlafât dan sanksi-sanksi yang ditetapkan atas kejahatan-kejahatan tersebut disebut mukhâlafât.
Asy-Syâri’ memberikan kepada Khalifah hak memerintah dan melarang masyarakat sekaligus menjadikan pelanggaran terhadap perintah dan larangan Khalifah sebagai kemaksiatan. Asy-Syâri’ juga memberikan hak kepada Khalifah untuk menjatuhkan sanksi terhadap orang yang melanggar perintah/larangannya sekaligus menetapkan kadar sanksi menurut pandangannya atas mukhâlafât ini. Dengan demikian mukhâlafât itu menyerupai ta’zîr dari sisi keberadaannya yang tidak dinaskan oleh Asy-Syari’, juga dari sisi penentuan sanksi dan kadarnya yang diserahkan kepada Khalifah dan qadhi sebagai wakil dari Khalifah.
Akan tetapi, mukhâlafât berbeda dengan ta’zîr dari sisi bahwa itu adalah ‘uqubat atas meninggalkan aktivitas yang diperintahkan oleh penguasa (khalifah/negara), atau melakukan perkara yang dilarang oleh penguasa (khalifah/negara). Ini berbeda dengan ta’zîr yang berupa meninggalkan aktivitas yang diperintahkan oleh Allah, atau melakukan perkara yang dilarang oleh Allah.
Di antara contohnya, dulu Nabi saw. sebagai kepala negara mengatur masalah lebar jalan. Abu Hurairah menuturkan, bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
إِذَا تَشَاجَرْتُمْ فِى الطَّرِيقِ فَاجْعَلُوهُ سَبْعَة أَذْرُعٍ
Jika kalian berselisih tentang jalan maka buatlah tujuh hasta (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Ini adalah pengaturan admistratif pada saat itu. Dalam mazhab Syafii, jika keperluan menuntut lebar jalan lebih dari itu maka begitulah.
Ibn Baththal dalam syarh-nya menyatakan, “Di antara makna bab ini adalah apa yang disebutkan Ibn Habib bahwa Umar ra. pernah memutuskan tentang halaman pemilik rumah. Tafsirnya ini berarti Umar ra. memutuskan pemanfaatan tempat duduk, pagar, teras dan tempat duduk penjual. Umar melewati tungku pandai besi di pasar dan ia memerintahkan agar dihancurkan. Ia berkata, ‘Menyempitkan jalan bagi orang-orang.’”
Abdurrahman al-Maliki menyebutkan bahwa Umar ra. pernah menghukum pemuda yang berdiri di tengah jalan menghalangi orang yang lewat. Ini hanya sebagian contoh. Masih banyak contoh lainnya di antara aturan yang dikeluarkan oleh khalifah/negara dalam rangka mengatur urusan masyarakat. Apalagi banyak sekali aturan rinci harus ditetapkan untuk melaksanakan berbagai hukum syariah. Misalnya, berapa area bantaran sungai, tepi danau, jarak pantai, dsb yang masuk dalam milik umum mengikuti sungai, danau, pantai, dsb.
Al-Qurthubi menyebutkan dalam bukunya, Aqdhiyah ar-Rasûl, bahwa Rasul saw. pernah menetapkan wilayah yang dilindungi di sekitar sumur, mata air, sungai. Negara juga harus menentukan mana kawasan konservasi, sebagaimana Rasul saw. pernah melakukan hima daerah tertentu hanya untuk penggembalaan unta sedekah. Negara pun mesti menetapkan aturan tentang jalan, lalu lintas, tata ruang dan wilayah; juga pendirian bangunan, pabrik dan tempat usaha; keharusan adanya fasilitas pengolahan limbah untuk pabrik, rumah sakit; dsb. Intinya, Khalifah harus membuat aturan-aturan yang sesuai dengan kebutuhan dalam rangka mengatur kemaslahatan umat sebagai konsekuensi dari kewajiban ri’âyah asy-syu‘ûn al-ummah yang ada di pundaknya; juga sanksi atas pelanggaran terhadap aturan itu. Semuanya masuk dalam bab al-mukhâlafat. Pelaksananya, sebagaimana dijelaskan para ulama dulu, adalah waliy al-hisbah yang diangkat dan ditunjuk oleh Khalifah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurahman]