Kerapuhan Argumentasi Pro Demokrasi

Banyak argumentasi pro demokrasi yang terus dipropagandakan di tengah umat Islam. Argumentasi-argumentasi itu tak jarang dibarengi dengan tikaman terhadap syariah dan Khilafah Islam. Ini tak boleh dibiarkan karena merupakan kemungkaran yang dapat menyimpangkan umat Islam dari jalan yang lurus (Lihat: QS al-Maidah [5] : 49).

Lagi pula, setiap argumentasi serapuh apapun, selalu ada potensi untuk dipercayai. Pepatah Arab mengingatkan, “Li kulli saqith laqith (Setiap barang yang jatuh, pasti ada yang memungutnya).”

Demokrasi: Memberikan Jalan kepada Islam?

Demokrasi diklaim memberikan jalan kepada semua ideologi termasuk Islam untuk berkembang, sementara Khilafah hanya membolehkan ideologi Islam. Yang melontarkan argumentasi itu biasanya kaum liberal. Jawabannya dua poin. Pertama: benar demokrasi memberikan jalan kepada semua ideologi, termasuk ideologi Islam, tetapi itu semu belaka. Mengapa? Sebab, selalu ada batas-batas tertentu yang tak dapat dilampaui oleh ideologi Islam. Batas ini merupakan garis demarkasi ideologis absolut yang tak mengenal toleransi, yaitu tuntutan penegakan Negara Islam (Khilafah). Jika garis demarkasi ideologis itu masih aman, kelompok dengan ideologi Islam dibolehkan berkembang. Namun, begitu garis “sakral” itu nyaris terlanggar atau terlampaui, demokrasi mempunyai mekanisme politik yang sangat kejam dan brutal untuk memberangus ideologi Islam. Contohnya, di Aljazair ketika FIS sebagai parpol Islam telah memenangkan pemilu tahun 1990-an lalu. Militer Aljazair, yang didukung Prancis, kemudian secara brutal membatalkan kemenangan tersebut. Contoh terakhir di Mesir, ketika Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK) pimpinan Mursi memenangkan Pemilu tahun 2012. Militer Mesir di bawah Jenderal Abdul Fatah as-Sisi yang didukung AS, lalu melakukan kudeta terhadap Presiden Mursi pada tahun 2013, guna menghancurkan kemenangan kelompok Islam tersebut.

Kedua: benar Khilafah hanya membolehkan ideologi Islam, karena memang itulah yang menjadi tuntutan akidah dan syariah Islam. Sebab, Khilafah adalah negara berasaskan akidah Islam. Wajar dalam Khilafah tidak boleh ada kelompok atau parpol yang tidak berasaskan Islam.

Namun, itu tak berarti aspirasi dan kritik dari warga negara non-Muslim (ahludz-dzimmah) menjadi terlarang secara mutlak dalam Khilafah. Ada dua saluran formal  yang dapat digunakan non-Muslim untuk menyampaikan kritik/aspirasi. Saluran pertama: Lembaga wakil rakyat, baik Majelis Umat, yakni suatu lembaga wakil rakyat pada level negara, maupun Majelis Wilayah, yaitu suatu lembaga wakil rakyat pada level propinsi (semacam DPRD). Lewat dua lembaga formal itu aspirasi atau kritik warga non-Muslim dapat disalurkan. Warga negara non-Muslim boleh menjadi anggota Majelis Umat atau Majelis Wilayah. Hanya saja, wewenangnya dibatasi hanya untuk menyampaikan pengaduan (syakwa) atau penyalahgunaan kekuasaan atas non-Muslim. Saluran kedua: Media massa karena media massa boleh dimiliki oleh setiap warga negara, baik Muslim atau non-Muslim. Tentu kritik yang disampaikan tidak boleh keluar dari bingkai Syariah Islam (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 1/291-295).

Demokrasi Minim Risiko?

Jalan demokrasi dikatakan lebih minim risiko daripada jalan revolusioner yang mungkin berdarah-darah. Biasanya ini argumentasi yang disampaikan aktivis Muslim yang masuk dalam sistem demokrasi. Mereka sadar, perubahan itu perlu, tetapi mereka selalu menolak perubahan sistem secara revolusioner.

Jawabannya ada tiga poin. Pertama: benar jalan demokrasi minim risiko. Namun ingat, hasilnya juga minim. Mungkin hanya mengganti menteri, mengganti anggota DPR, atau mungkin menjadi presiden. Namun, tak mungkin terjadi perubahan signifikan lewat demokrasi, misalnya mengganti sistem demokrasi-kapitalis menjadi negara Khilafah.

Padahal perubahan yang diperlukan umat saat ini bukanlah perubahan kecil yang sekadar mengganti rezim (sosok pemimpin) yang ada, melainkan perubahan sistem menuju tegaknya Negara Islam (Khilafah). Jadi, perubahan yang dituju harus dua-duanya: mengganti pemimpin dan sistemnya. Imam Taqiyuddin an-Nabhani pernah menegaskan, “Umat Islam telah mengalami tragedi karena dua musibah. Pertama: penguasanya telah menjadi antek-antek kafir penjajah. Kedua: di tengah-tengah umat telah diterapkan apa-apa yang tidak diturunkan Allah, yaitu diterapkan sistem kufur.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Nida` Har ila al-Muslimin min Hizb at-Tahrir, hlm. 48)

Maka dari itu, perubahan yang diperlukan umat sekarang ini bukanlah sekadar perubahan kecil (mengganti rezim), melainkan juga perubahan yang besar, yaitu mengganti sistem yang ada menuju Khilafah. Jika dalam perubahan besar ini muncul risiko yang juga besar, tentu itu wajar.

Kedua: perubahan revolusioner memang sering dikonotasikan perubahan yang berdarah-darah. Namun sebenarnya yang dimaksudkan dengan perubahan revolusioner adalah perubahan yang bersifat menyeluruh dan segera, bukan perubahan bertahap (gradual/tadarruj), atau parsial pada aspek tertentu saja, misal aspek ekonomi saja. Dalam perubahan revolusioner seperti ini mungkin muncul ekses atau risiko. Itu adalah konsekuensi perjuangan. Apakah ada perjuangan yang tanpa risiko?

Ketiga: tidak tepat dikatakan perubahan lewat jalan demokrasi minim risiko, dalam arti tidak berdarah-darah. Perubahan lewat demokrasi juga bisa berdarah-darah. Contohnya, lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998. Kendati awalnya pelengseran Soeharto berasal dari desakan luar parlemen, toh akhirnya dianggap legal secara demokrasi. Bukankah pelengseran Soeharto itu berdarah-darah? Sebelum itu suksesi Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto tahun 1967 juga berdarah-darah. Toh itu pun akhirnya dianggap legal menurut demokrasi. Jadi, demokrasi juga bisa berdarah-darah, bukan?

Demokrasi Kompromis?

Demokrasi sering dikatakan bersifat kompromis sehingga memberikan ruang bagi semua pihak. Sering dikatakan inilah prinsip “take and give”, yaitu mengambil dan memberi. Artinya, tak bisa satu golongan mengambil semuanya, melainkan hanya mengambil sebagian, sedangkan sebagian lainnya harus diberikan kepada golongan lainnya. Tujuannya agar tercipta kompromi yang pada gilirannya akan menimbulkan harmonisasi masyarakat dan stabilitas politik.

Tampaknya argumentasi itu sangat indah dan luhur. Namun, dalam praktiknya, justru umat Islam yang lebih banyak menjadi korban. Yang dikorbankan acapkali bukan hanya soal kedudukan atau jabatan, melainkan ajaran Islamnya itu sendiri. Sebagai contoh: Dalam sidang-sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan RI tahun 1945, ada dua aspirasi mengenai bentuk negara. Sebagian menginginkan Negara Islam yang menerapkan syariah Islam. Sebagian lagi menolak syariah Islam dengan aspirasi negara nasional yang sekular. Akhirnya, ditempuh kompromi sehingga lahir sila pertama Piagam Jakarta 1945 yang berbunyi: Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya. Jadi, syariaht Islam tidak diterapkan kepada semua warga negara, juga tidak ditolak sama sekali, melainkan dicari komprominya, yakni diterapkan kepada Muslim saja.

Padahal sila pertama yang kompromistis ini sebenarnya tidak sesuai dengan Islam. Sebabnya, Islam mestinya diterapkan kepada seluruh warga negara, bukan hanya kepada warga negara Muslim. Kepada non-Muslim diterapkan syariah Islam yang mengatur hukum publik (public order), seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan seterusnya. Adapun dalam urusan privat, seperti dalam masalah akidah, ibadah, pernikahan, busana, makanan, minuman, warga non-Muslim dipersilakan menganut dan menjalankan agamanya masing-masing, dalam bingkai syariah Islam (Muqaddimah ad-Dustur, Taqiyuddin An-Nabhani, 1/27-35).

Jadi, sifat kompromis dalam demokrasi terbukti telah mengorbankan norma syariah Islam, bukan hanya mengorbankan jabatan atau kedudukan seseorang. Yang lebih menyedihkan lagi, pasal kompromistis yang ditetapkan 17 Agustus 1945 itu hanya berumur satu hari. Pada hari berikutnya, 18 Agustus 1945, pasal itu mengalami perubahan lagi atas prakarsa Bung Hatta yang berpaham sekular, dengan menghapuskan tujuh kata, yaitu “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya.” Walhasil, demokrasi yang kompromis telah terbukti mengorbankan norma syariah Islam, sesuatu yang wajib dihindari oleh umat Islam.

Demokrasi Universal?

Demokrasi diklaim lebih bersifat universal, yaitu bisa diterima oleh semua kelompok, sementara Khilafah Islam dikatakan sektarian, yaitu hanya mementingkan kelompok Islam saja.

Argumentasi itu tidak sesuai dengan kenyataan. Pasalnya, justru sifat sektarian itu dapat kita temukan di negara-negara Eropa yang menerapkan demokrasi. Praktik demokrasi di sana membuktikan kekuasaan hanya diprioritaskan bagi sekte tertentu dalam agama Kristen, sedangkan sekte lainnya cenderung dicegah untuk menduduki kekuasaan. Di Italia, misalnya, kekuasaan selalu dipegang pemeluk Katolik. Tak diijinkan sama sekali ada penganut sekte Kristen Protestan untuk menduduki kekuasaan. Itulah sebabnya mengapa partai yang selalu berkuasa di Italia adalah Partai Demokrasi Masehi yang didukung oleh gereja Katolik. Demikian pula di Spanyol. Kekuasaannya selalu dipegang penganut Katolik. Bahkan hak memilih dalam Pemilu pun hanya diberikan kepada penganut Katolik saja. Sebaliknya di Norwegia, yang mendominasi kekuasaan adalah para penganut Kristen Protestan. Raja yang berkuasa dan minimal setengah dari jumlah menteri, diharuskan beragama Kristen Protestan. Demikian pula di Swiss. Konstitusinya secara resmi membuat peraturan yang membatasi kekuasaan hanya pada penganut Kristen Protestan saja, dan sebaliknya sangat mempersulit masuknya orang Katolik dalam kekuasaan (Lihat Abdul Aziz Shaqr, An-Naqdh al-Gharbiy li al-Fikrah ad-Dimuqrathiyyah, hlm. 26-27).

Adapun dalam Khilafah, yang terjadi dalam sejarah bukanlah dominasi sekte tertentu, melainkan dominasi keturunan tertentu, seperti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Utsmaniyyah. Itu fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Namun, fakta sejarah tersebut tidak mewakili norma ideal yang sesungguhnya dari syariah Islam. Yang benar dalam Syariah Islam adalah, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah), bukan di tangan keturunan atau keluarga tertentu. Khalifah seharusnya adalah jabatan hasil pilihan umat, bukan jabatan yang diwariskan dari ayah kepada anaknya. Islam tidak mengakui dan tidak mengenal sistem pewarisan kekuasaan yang lazim dalam sistem monarki/kerajaan (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 28-29).

Demokrasi Modern dan Beradab?

Demokrasi dikatakan sistem politik modern dan lebih beradab. Sebaliknya, kembali kepada Khilafah Islam berarti kembali ke zaman terbelakang.

Jawabannya ada tiga poin. Pertama: sebagai sistem pemerintahan memang demokrasi baru eksis pada ke-18 M di Eropa. Namun, secara ide dan filsafat, demokrasi sesungguhnya berakar pada sejarah Yunani kira-kira lima abad sebelum Masehi. Demokrasi sudah diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para filosof Yunani yang hidup pada abad ke-5 SM, seperti Thrasymachus, Otanes, Megabyse, dan Xenophon. Demokrasi juga diperbincangkan oleh Sokrates (469-399 SM) hingga Aristoteles (384-322 SM). (Abdul Aziz Shaqr, An-Naqdh al-Gharbi li al-Fikrah ad-Dimuqrathiyyah, hlm. 20-22). Jadi, bagaimana mungkin demokrasi dikatakan sistem modern jika benih-benih idenya sudah dibicarakan sejak lima abad sebelum Masehi?

Kedua: jika dikatakan demokrasi lebih beradab, memang seakan-akan ada benarnya meskipun hakikatnya tidaklah demikian. Biasanya yang dicontohkan adalah sejarah Timur Tengah modern yang banyak dikuasai diktator. Seperti Irak pada masa Saddam Hussain, Iran pada masa Syah Iran, Libya pada masa Muammar Khadafi, Tunisia pada masa Burguiba, dan sebagainya.

Lalu demokrasi digambarkan telah datang sebagai dewa penolong yang menyelamatkan negara-negara tersebut dari kediktatoran. Seakan-akan Barat dengan demokrasinya betul-betul hebat dan mulia. Padahal justru negara-negara Baratlah (khususnya AS) yang menjadi pendukung di balik layar para diktator itu. Jadi, bagaimana mungkin negara pensponsor kediktatoran seperti AS, dikatakan sebagai negara beradab?

Kalau kita melihat sejarah, katakanlah mulai Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) hingga kini, terbukti bahwa klaim demokrasi sebagai sistem beradab adalah klaim dusta. Bahkan demokrasi sebenarnya lebih tepat disebut sistem biadab, bukan sistem beradab. Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap tewasnya puluhan juta manusia pada PD I dan PD II jika bukan negara-negara demokrasi seperti Inggris, Prancis, dan Jerman? Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap tewasnya ratusan ribu jiwa manusia ketika AS sebagai negara demokrasi mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945? Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap tewasnya lebih dari satu jiwa Muslim di Irak sejak invasi militer AS pada tahun 2003?

Ketiga: jika yang dimaksud modern adalah sains dan teknologi, maka secara faktual memang kemajuan sains dan teknologi saat ini masih didominasi oleh negara-negara Barat yang notabene demokratis. Namun sesungguhnya, sains dan teknologi bukanlah produk dari ideologi demokrasi, melainkan produk dari penelitian ilmiah berdasarkan metode ilmiah (scientific method) yang bersifat universal dan netral-nilai. Jadi, ditinjau secara epistemologi, sains dan teknologi adalah sesuatu yang netral-nilai, bukan sesuatu yang terikat-nilai (value-bond), misalnya lahir dari paham demokrasi. Jadi, demokasi itu tak ada urusannya dengan sains dan teknologi.

Demokrasi Memberikan Kebebasan Ekspresi dan Kritik?

Demokrasi dikatakan memberikan jalan kepada semua orang untuk berperan, berekspresi dan melakukan kritik; sementara Islam tidak demikian. Argumentasi ini tak dapat diterima. Pasalnya, kebebasan berpendapat yang diserukan demokrasi itu sangat bertentangan dengan Islam. Ini ide yang berlebihan dan tak bertanggung jawab. Dikatakan berlebihan, karena demokrasi membolehkan berbicara apa saja; sesuai Islam atau tidak; mendukung atau menentang Islam. Semuanya boleh dalam demokrasi. Apakah umat Islam harus menerima kebebasan berpendapat dengan standar yang rusak seperti ini?

Dikatakan tak bertanggung jawab, karena penguasa dalam demokrasi merasa tak berkewajiban memberikan satu pendapat yang benar, atau melarang pendapat yang sesat, kepada masyarakat. Rakyat dibolehkan berbicara apa saja; boleh memilih pendapat apa saja, entah sesuai Islam atau tidak, entah sesat atau tidak. Semua terserah kepada rakyat. Apakah umat Islam harus menerima kebebasan berpendapat yang tak bertanggung jawab seperti ini?

Dalam Islam setiap perkataan atau kritik harus benar, yaitu sesuai syariah Islam, karena semua akan dicatat oleh malaikat dan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah pada Hari Kiamat nanti (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 70; Qaf [50]: 18).  

WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*