Soal:
Bagaimana status ‘Negara Islam’ yang diproklamirkan di Irak dan Syam? Apakah layak disebut Khilafah? Jika tidak layak, apa alasannya? Jika layak, mengapa kita tidak ikut membaiat amirnya?
Jawab:
Negara Islam adalah negara bagi umat Islam di seluruh dunia, yang menjalankan seluruh syariah Islam di dalam negeri serta mengemban dakwah dan jihad ke luar negeri. Nama lain Negara Islam adalah Khilafah.
Tidak semua milisi yang berhasil mendirikan negara bersedia memproklamirkan negaranya sebagai negara Khilafah. Kasus Taliban di Afganistan, misalnya. Ketika itu mereka menyebut negaranya dengan istilah “Imarah Islamiyyah”, bukan Khilafah. Secara riil, negara Taliban ini juga memang bukan Khilafah, dan tidak layak disebut Khilafah.
Ada juga gerakan yang mendirikan Negara Islam, dan membaiat amirnya sebagai khalifah kaum Muslim, tetapi secara riil tidak mempunyai kekuasaan. Jika umat Islam naik haji, keluar negeri atau urusan formal lainnya, mereka harus menggunakan paspor atau surat yang dikeluarkan oleh “negara lain”, yang bukan negara mereka. Padahal tanpa kekuasaan riil, tidak mungkin ada negara. Sebab, esensi negara adalah kekuasaan, yang bisa digunakan untuk memerintah. Karena itu negara seperti ini hanyalah klaim.
Dalam kitab Nizham al-Hukm, Hizbut Tahrir telah membahas masalah ini dengan mendalam, pada sub bab, Man Tan’aqidu bihim al-Khilafah (Siapakah yang Bisa Menjadi Faktor Tegaknya Khilafah), dinyatakan:
Sesungguhnya tiap wilayah Islam yang ada di Dunia Islam layak untuk membaiat Khalifah dan dengan itu Khilafah akan tegak. Jika satu wilayah dari wilayah-wilayah Islam ini telah membaiat seorang khalifah, dan akad Khilafah telah diberikan kepada dirinya, maka hukumnya fardhu ‘ain atas seluruh kaum Muslim di wilayah lain untuk membaiat dia dengan baiat taat atau baiat ketundukan, setelah akad Khilafah sah diberikan kepadanya melalui pembaiatan penduduk (rakyat) wilayah tersebut; baik wilayah ini besar seperti Mesir, Turki dan Indonesia; ataupun kecil seperti Yordania, Tunisia atau Libanon. Dengan syarat, wilayah tersebut memenuhi empat syarat. Pertama: kekuasaan wilayah tersebut merupakan kekuasaan yang bersifat independen (otonom), yang hanya bersandar (bertumpu) pada (kekuatan) kaum Muslim, bukan bersandar pada salah satu negara kafir, atau kekuasaan (cengkeraman) kaum kafir.
Kedua: keamanan kaum Muslim di wilayah tersebut berada di tangan Islam, bukan di tangan kufur. Dengan kata lain, pertahanan wilayah tersebut dari ancaman domestik maupun asing adalah pertahanan Islam, yang bersumber dari kekuatan kaum Muslim, sebagai kekuatan Islam murni.
Ketiga: wilayah ini harus seketika itu juga menerapkan Islam secara menyeluruh dan revolusioner, dan harus senantiasa bersiap mengemban dakwah Islam (ke luar negeri).
Keempat: Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat pengangkatan Khilafah, meski tidak menuhi syarat keutamaan, karena yang menjadi patokan adalah syarat pengangkatan (Khilafah).
Jika wilayah tersebut memenuhi empat syarat ini, maka Khilafah benar-benar telah terwujud melalui pembaiatan yang dilakukan oleh wilayah tersebut. Meski hanya dengan (pemba’atan) wilayah itu saja, Khilafah telah tegak sekalipun wilayah ini tidak merepresentasikan mayoritas Ahl al-Halli wa al-‘Aqd dari mayoritas kaum Muslim. Sebabnya, mendirikan Khilafah hukumnya fardhu kifayah. Siapa saja yang melakukan fardhu tersebut dangan bentuk dan ketentuan yang benar, dia bisa dianggap telah melakukan fardhu tersebut.
Selain itu, syarat mayoritas Ahl al-Halli wa al-‘Aqd itu hanya berlaku jika di sana sudah ada Khilafah, yang berkeinginan untuk mengangkat Khalifah menggantikan posisi Khalifah yang meninggal atau diberhentikan. Namun, jika Khilafah itu sama sekali belum ada, sementara ingin mengangkat khalifah baru, maka adanya Khilafah yang memenuhi ketentuan syar’i itu saja sudah cukup. Khilafah pun dinyatakan berdiri siapapun khalifahnya, selama memenuhi syarat pengangkatan, berapapun jumlah orang yang membaiat dirinya. Sebabnya, pada saat itu masalahnya adalah masalah melaksanakan fardhu yang telah dilalaikan oleh kaum Muslim dalam tenggat waktu lebih dari tiga hari. Kelalaian mereka ini menyebabkan mereka melepaskan haknya untuk memilih orang yang mereka inginkan. Jadi, siapa saja yang menjalankan kefardhuan ini, cukup dengan itu akad Khilafah dinyatakan sah. Jika Khilafah telah berdiri di wilayah tersebut, dan akad Khilafah telah diberikan kepada seorang khalifah yang sah, maka hukumnya wajib atas seluruh kaum Muslim untuk bergabung di bawah bendera Khilafah, dan membaiat Khalifah. Jika tidak, maka mereka telah berdosa di sisi Allah SWT.1
Penjelasan di atas didasarkan pada Ijmak Sahabat, yang terkait dengan fakta pembaiatan sejumlah khalifah. Pertama: pembaiatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yang awalnya hanya dibaiat oleh beberapa Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi, bukan oleh semuanya, di Saqifah Bani Saidah di Madinah.2 Setelah itu, beliau baru dibaiat secara umum oleh kaum Muslim di Masjid Nabawi. Itu pun hanya terbatas oleh penduduk Madinah, sementara pendapat kaum Muslim di Makkah dan Jazirah Arab yang lain tidak ditanya. Hal yang sama terjadi pada pembaiaatan Khalifah ‘Umar.3
Kedua: pembaiatan ‘Utsman bin ‘Affan yang diberikan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf tidak hanya dilakukan dengan meminta pendapat Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi saja, tetapi seluruh penduduk Madinah.
Ketiga: pembaiatan ‘Ali bin Abi Thalib yang dilakukan hanya dan oleh mayoritas penduduk Madinah dan Kufah, Irak.4
Semuanya ini disaksikan dan didengarkan oleh para sahabat, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyangkal keabsahan baiat tersebut. Ini menjadi bukti Ijmak Sahabat tentang keabsahan proses baiat dalam pengangkatan khalifah tersebut.5
Mengenai peristiwa Perang Shiffin atau Perang Jamal, sesungguhnya peristiwa ini terjadi bukan karena mereka menolak baiat tersebut atau menolak pembaiatan Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra., tetapi lebih karena faktor “Fitnah Kubra” setelah Khalifah ‘Ustman bin ‘Affan terbunuh. Mereka menuntut darah ‘Utsman untuk segera diselesaikan.6
Penjelasan di atas merupakan pandangan resmi Hizbut Tahrir. Berdasarkan penjelasan di atas maka bisa disimpulkan, bahwa adanya Negara Islam di Suriah dan Irak hanyalah klaim. Pasalnya, baik di Irak maupun Suriah, dua-duanya tidak memenuhi keempat syarat di atas. Jika pun “khalifah” yang dibaiat di sana memenuhi syarat sah pengangkatan khalifah—yaitu Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka dan mampu—”khalifah” yang dibaiat di sana tidak serta-merta layak disebut khalifah, yang dengan itu Khilafah telah dinyatakan tegak. Alasannya, karena kekuasaan di Irak maupun Suriah, sama-sama tidak independen. Irak masih dalam pendudukan. Suriah pun—di bawah rezim Bashar, yang menjadi boneka AS, ataupun di bawah kaum Mujahidin (yang masih berperang melawan Bashar, AS dan sekutunya)—belum bisa disebut merdeka. Dengan begitu, keamanan wilayah ini tidak sepenuhnya di tangan umat Islam. Hukum Islam pun belum benar-benar dilaksanakan secara menyeluruh di kedua wilayah tersebut. Karena itu adanya “Negara Islam” di wilayah tersebut hanya klaim.
Karena fakta Khilafah yang secara syar’i belum ada, Khalifah yang sah juga belum ada, maka secara syar’i baiat pun belum wajib ditunaikan. Memberikan baiat kepada “khalifah” yang tidak memenuhi syarat keabsahan Khilafah di atas juga tidak pernah bisa menggugurkan kewajiban untuk menegakkan Khilafah. Bahkan bisa sebaliknya, pembaiatan tersebut akan memalingkan umat Islam dari kewajiban untuk menegakkan Khilafah yang sesungguhnya.
Pada era tahun 1990-an, Perdana Menteri Libanon yang Kristen, juga pernah menyatakan dirinya sebagai “khalifah”, maka dengan tegas Hizbut Tahrir menolak klaim tersebut. Alasannya, dia tidak memenuhi syarat keabsahan sebagai seorang khalifah. Hizbut Tahrir juga menjelaskan kepada umat Islam agar tidak tertipu dengan klaim dan tipudaya tersebut. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI (Muktamadah), 1422 H/2002 M, hlm. 59-60.
2 Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Khaldun, al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi as-Sulthan al-Akbar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Riyadh, cet. I, t.t., hlm. 526.
3 Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Khaldun, Ibid, hlm. 539.
4 Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Khaldun, hlm. 576.
5 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI (Muktamadah), 1422 H/2002 M, hlm. 58.
6 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, Ibid., hlm. 58; Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Khaldun, al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi as-Sulthan al-Akbar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Riyadh, cet. I, t.t., hlm. 579; Ibn Qutaibah ad-Dainuri, Al-Imamah wa as-Siyasah, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, cet. terakhir, 1969 M, I/102.