HTI

Tafsir (Al Waie)

Makar Kaum Kafir Pasti Gagal

(Tafsir QS ath-Thariq [86]: 15-17)

إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا * وَأَكِيدُ كَيْدًا * فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا

Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipudaya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Aku pun membuat rencana dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar (QS ath-Thariq [86]: 15-17).

Dalam ayat sebelumnya ditegaskan bahwa al-Quran beserta semua isinya merupakan laqwl[un] fashl, yakni pembeda, pemisah dan pemutus antara al-haqq dan al-bâthil. Ditegaskan pula bahwa al-Quran bukan perkataan main-main dan senda-gurau. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali mengikuti dan menjadikan al-Quran sebagai pedoman dalam kehidupan.

Meskipun demikian, tidak semua manusia bersikap demikian. Di antara mereka ada yang meragukan, bahkan mendustakan al-Quran. Mereka bahkan melakukan berbagai upaya jahat untuk memadamkan cahaya Allah SWT dan melenyapkan orang-orang yang mengimani al-Quran. Namun demikian, upaya mereka dipastikan gagal dan sia-sia. Bahkan mereka harus menerima balasan dari Allah SWT atas kejahatan yang mereka lakukan. Realitas inilah yang diberitakan oleh ayat ini.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Innahum yakîdûna kayd[an] (Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipudaya dengan sebenar-benarnya). Dhamîr hum (kata ganti mereka) menurut al-Alusi adalah orang kafir Makkah.1 Ibnu Jarir  ath-Thabari juga menyebut mereka sebagai orang-orang yang mendustakan Allah, Rasul-Nya, beserta janji dan ancaman. Mereka melakukan tipudaya.2

Menurut al-Jurjani, kata al-kayd berarti menginginkan kemadaratan terjadi pada orang lain secara rahasia. Bagi makhluk, al-kayd merupakan tipudaya yang jahat. Adapun dari Allah SWT, berarti mengatur kebenaran untuk membalas perbuatan makhluk.3

Dijelaskan juga oleh al-Asfahani, al-kayd merupakan salah satu bentuk dari ihtiyâl (tipudaya, siasat). Kata itu digunakan untuk menunjuk sesuatu yang tercela atau terpuji, namun lebih banyak digunakan untuk yang tercela. Ini sebagaimana kata al-istidrâj dan al-makr, kadang digunakan untuk yang terpuji. Penggunaan untuk sesuatu yang terpuji  seperti firman Allah SWT:

كَذَلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ

Demikianlah Kami mengatur untuk (mencapai maksud) Yusuf (QS Yusuf [12]: 76).4

Dalam ayat ini tidak disebutkan pihak yang dijadikan sebagai sasaran tipudaya. Dijelaskan oleh al-Qurthubi, musuh-musuh Allah itu membuat tipudaya terhadap Nabi Muhammad saw. beserta para sahabatnya.5 Ibnu ‘Athiyah juga menuturkan, mereka membuat tipudaya dalam perbuatan dan ucapan mereka, mempermainkan Nabi saw. dan menolak perintah beliau.6

Dikatakan oleh al-Alusi, “Mereka melakukan tipudaya dalam menggagalkan urusan-Nya, memadamkan cahaya-Nya, atau menggagalkan perintah Allah SWT dan memadamkan cahaya kebenaran.”7

Az-Zuhaili juga mengatakan, mereka adalah orang-orang kafir, pemimpin Makkah, dan semisalnya. Mereka melakukan tipudaya terhadap Nabi saw. untuk mengagalkan agama yang benar yang beliau bawa serta menghalangi manusia dari jalan Allah dan al-Quran dengan mengatakan: al-Quran adalah dongengan orang-orang terdahulu; Muhammad saw. adalah tukang sihir, orang gila dan penyair. Mereka pun melakukan konspirasi untuk membunuh beliau (QS al-Anfal [8]: 30).8

Tindakan mereka dalam melakukan makar dan tipudaya kepada Rasulullah saw. dan para sahabatnya itu dikukuhkan dengan disebutkan mashdar-nya, yakni kata kayd[an]. Artinya, mereka benar-benar membuat tipudaya.

Terhadap rencana jahat kaum kafir itu, Allah SWT berfirman: Wa akîdu kayd[an] (Aku pun membuat rencana dengan sebenar-benarnya). Ini adalah balasan Allah SWT terhadap orang-orang yang melakukan tipudaya terhadap Dia, Rasul-Nya dan agama-Nya. Dikatakan oleh al-Qurthubi, ayat ini memberikan makna, “Aku pun membalas mereka dengan balasan tipudaya terhadap mereka.”9

Al-Khazin juga berkata, “Aku membalas mereka atau tipudaya mereka dengan memberi mereka hukuman secara berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui. Lalu Aku menghukum sebagian mereka di dunia dengan pedang dan di akhirat.10

Diterangkan oleh An-Nasafi, balasan terhadap kayd (tipudaya) juga disebut dengan kayd, sebagaimana balasan terhadap al-i’tidâ‘ (penyerangan) dan as-say’ah (kejahatan) juga disebut dengan al-i’tidâ‘ dan as-say’ah; meskipun sesungguhnya penyerangan dan kejahatan itu tidak ada. Tidak boleh juga menyematkan sifat itu secara mutlak kepada Allah SWT kecuali dalam konteks balasan, seperti firman-Nya:

نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ

Mereka telah melupakan Allah sehingga Allah pun melupakan mereka (QS at-Taubah  [9]: 67).

Allah SWT juga berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, Allah pun membalas tipuan mereka (QS an-Nisa’ [4]: 142).11

Surat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya: Famahhil al-kâfirîna amhilhum ruwayd[an] (Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar). Perintah ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Dikatakan oleh ar-Razi, firman Allah SWT: Famahhil al-kâfirîna berarti, “Janganlah kamu meminta kehancuran mereka dan tergesa-gesa tentang itu.” Kemudian ditegaskan bahwa penangguhan yang diperintahkan itu hanya sebentar.12

Adapun ruwayd[an] merupakan bentuk tashghîr dari kata ar-rûd yang berarti a’lâ mahl[in] (pelan-pelan).13

Menurut Ibnu ‘Abbas, kata ruwayd[an] bermakna qarîb[an] (dekat). Adapun Qatadah memaknai kata ini dengan al-qalîl (sebentar).14

Dijelaskan oleh Ibnu Katsir ayat ini bermakna: Karena itu berilah tangguh kepada mereka dan janganlah kamu minta dipercepat untuk mereka. Berilah mereka tangguh sebentar. Kamu akan melihat azab, sanksi, hukuman dan kebinasaan yang dihalalkan bagi mereka, sebagaimana firman Allah SWT:

نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ

Kami membiarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami memaksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras (QS Luqman [31]: 24).

Menurut Ibnu ‘Abbas, ini merupakan ancaman dari Allah kepada mereka.15

Dikatakan oleh Ibnu ‘Athiyah, ayat ini memberitakan bahwa hukuman-Nya terhadap mereka yang disebut kayd[an] itu belakangan hingga terjadi Perang Badar dan lain-lain.16 

Dikatakan juga oleh al-Kalbi, perintah memberikan tangguh sebentar kepada mereka itu artinya hingga membunuh mereka pada Perang Badar, bisa pula hingga di hari Akhir. Digunakan kata yasîr[an] (sebentar), karena segala sesuatu yang akan datang itu adalah dekat.17 (Lihat: QS al-Ma’arij [70]: 6-7).

Beberapa Pelajaran Penting

Ayat-ayat ini memberikan banyak pelajaran penting. Pertama: adanya makar yang dilakukan oleh kaum kafir terhadap Islam, Rasululullah saw. dan umatnya. Sesungguhnya tanda-tanda kekuasaan Allah SWT telah jelas, baik yang tergelar di alam semesta maupun dalam diri manusia. Demikian juga dengan kebenaran al-Quran dan Rasul yang menyampaikannya. Kebenaran keduanya dapat dibuktikan dengan jelas oleh akal sehat manusia. Semua keraguan manusia terhadap al-Quran dan Rasulullah saw.  juga telah dibantah dan ditunjukkan kebatilannya.

Meskipun begitu,  masih ada saja manusia yang mengingkari kekuasaan Allah SWT dan mendustakan Rasulullah saw. beserta risalah yang beliau bawa. Bahkan mereka menghalangi manusia untuk mengimani al-Quran dan mengikuti petunjuknya. Dengan berbagai cara, mereka melakukan upaya jahatnya itu, secara terang-terangan ataupun rahasia;  dengan lisan maupun tindakan. Mereka itulah di antara yang diberitakan ayat ini: Innahum yakîdûna kayd[an] (Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya dengan sebenar-benarnya).

Ketika Rasulullah saw. menyampaikan dakwah kepada manusia, musyrik Quraisy tidak menyambut dengan mengimani risalah yang beliau bawa. Sebaliknya, mereka justru menolak dan ingkari. Mereka pun melakukan berbagai upaya memadamkan cahaya Allah SWT. Mereka melakukan penyiksaan, pemboikotan dan pembunuhan terhadap kaum Mukmin.

Hal serupa juga dilakukan kaum Yahudi dan kaum munafik ketika Rasulullah saw. telah berhijrah di Madinah. Berbagai rencana jahat mereka lakukan untuk membunuh Rasulullah saw. dan menghabisi kaum Muslim. Selain ayat ini, makar kaum kafir terhadap Rasulullah saw. juga diberitakan dalam QS al-Anfal [8]: 30.

Makar dan tipudaya tidak hanya dilakukan oleh orang-orang kafir kepada Rasullah saw. dan umatnya, namun juga kepada para rasul dan nabi sebelumnya. Tipudaya juga dilakukan oleh kaum kafir kepada Nabi Isa as. (lihat QS Ali Imran [3]: 54); kaum Tsamud terhadap Shalih as. (lihat QS an-Naml [27]: 48-50) dan kaum Nuh as. (lihat QS Nuh [71]: 22-25). Bahkan tindakan itu dilakukan di berbagai negeri lainnya (Lihat: QS al-An’am [6]: 123).

Realitas ini harus menjadi peringatan penting bagi kaum Muslimin dalam menghadapi mereka. Mereka, sebagaimana diterangkan dalam ayat lainnya, tidak boleh dijadikan sebagai sahabat karib, orang kepercayaan dan pemimpin. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat mengakibatkan bahaya fatal bagi kaum Muslim.

Kedua: makar orang-orang kafir dalam menghalangi manusia dari Islam pasti gagal karena Allah SWT  tidak akan mendiamkan tindakan jahat mereka. Allah SWT pasti membalas makar mereka. Ketika itu terjadi, tidak ada seorang pun yang bisa mencegahnya karena Dia adalah khayr al-mâkirîn (Sebaik-baik Pembalas tipudaya) (Lihat: QS al-Anfal [8]: 30).

Balasan Allah SWT terhadap makar kaum kafir juga diberitakan dalam QS Ali Imran [3]: 54, Yunus [10]: 21, ar-Ra’d [13]: 42, dan lain-lain. Semua makar mereka pasti gagal, seberapa pun besarnya makar mereka (Lihat: QS Ibrahim [14]: 46).

Sungguh, tidak mengherankan jika makar mereka amat mudah digagalkan. Sebab, semua tipudaya itu berada dalam genggaman kekuasaan Allah SWT. Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap jiwa (Lihat: QS ar-Ra’d [13]: 42). Balasan Allah SWT itu pasti akan datang, bahkan tidak lama. Dalam ayat ini disebut ruwaid[an], sebentar lagi atau telah dekat.

Realitas ini pula yang dialami oleh para penentang Rasulullah saw. Makar kaum kafir Quraisy semuanya gagal. Sebaliknya, mereka harus menderita kekalahan besar dalam Perang Badar dan berbagai perang melawan kaum Muslim. Akhirnya, mereka pun dapat ditaklukkan dengan mudah pada Fathu Makkah.

Demikian juga yang dialami kaum Yahudi di Madinah. Yahudi Bani Qainuqa’ dan Bani Nazhir. Mereka harus diusir dari Madinah setelah mereka melakukan makar terhadap Rasulullah saw. dan kaum Muslim. Bahkan Yahudi Bani Quraizhah, karena makar dalam Perang Ahzab, mereka—yang laki-laki dewasa—dijatuhi  hukuman mati.

Realitas ini seharusnya menyadarkan kaum kafir akan kesalahan dan kesesatan mereka sehingga segera bertobat dan mengimani agama-Nya. Selain makar mereka dipastikan gagal dan sia-sia, mereka juga diancam dengan azab yang pedih (Lihat: QS al-An’am [6]: 124). Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda:

اَلْمَكْرُ وَالْخَدِيْعَة وَالْخِيَانَة فِي النَّارِ

Rencana jahat, tipudaya dan khianat di neraka (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak).

Bagi kaum Mukmin, realitas tersebut makin mengokohkan keimanan mereka, termasuk keyakinan akan kemenangan Islam dan kehancuran kaum kafir. Karena itu mereka bersabar dan tidak takut sama sekali terhadap semua makar dan permusuhan kaum kafir. Allah SWT berfirman:

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلا بِاللَّهِ وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ

Bersabarlah (hai Muhammad). Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipudayakan (QS an-Nahl [16]: 127).

Semoga kita termasuk orang yang bisa menjalankan perintah Allah SWT ini.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:

1         Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 312.

2         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 363.

3         Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1995), 241.

4         Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 728.

5         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 11.

6         Ibnu ‘Athiyah, Nazhm ad-Durar, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 467.

7         Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 311.

8         Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 182.

9         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 11.

10        Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 416.

11        An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ-iq at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, 1998), 629.

12        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihyâ‘ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 123.

13        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 511.

14        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 363.

15        Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 8, 395.

16        Ibnu ‘’Athiyah, Nazhm ad-Durar, vol. 5, 467.

17        Ibnu Juzi al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 472.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*