Keberadaan masjid yang dulu disebut Masjid Angke ini tak terlepas dari keberadaan Tubagus Angke. Dia adalah seorang bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda yang mengadakan penelitian tentang masjid ini, Dr. F. Dehaan, dalam bukunya, Oud Batavia, menuliskan bahwa Masjid Angke Al-Anwar didirikan pada hari Kamis 26 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. Dehaan juga menulis bahwa masjid ini didirikan oleh seorang wanita Cina dari suku Tartar yang menikah dengan seorang pria Banten.1 Wanita tersebut bernama Ny. Tan Nio yang masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah.2
Seperti halnya masjid-masjid yang didirikan pada masa perjuangan, masjid ini pun dijadikan sebagai basis perjuangan masyarakat sekitar setelah proklamasi kemerdekaan. Aksi perjuangan itu terutama dipelopori oleh para ulama Angke, yang mengobarkan semangat kepada para pemuda Angke. Rapat-rapat rahasia yang sering dilakukan di masjid itu tak pernah tercium oleh pihak Belanda. Karena itu dalam perkembangannya, bangunan Masjid Angke Al-Anwar tidak sedikit pun tergores oleh peluru Belanda, tidak seperti Masjid Al-Mansur di Sawah Lio.3
Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, lima wilayah Jakarta masih mengalami aneka ragam gejolak perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Maka dari itu, di kompleks masjid ini para pemudanya sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia untuk mengatur kegiatan menentang Belanda. Melalui khutbah-khutbah yang disampikan, para ulama melakukan provokasi untuk menentang Belanda.
Masjid ini juga dijadikan tempat penggemblengan para pejuang. Dari tempat yang agak tersembunyi ini disusun strategi perjuangan dalam menghadapi kekejaman serdadu-serdadu Belanda. Karena rapinya kegiatan-kegiatan dan aksi yang dilakukan oleh para pemuda daerah ini, Belanda tidak dapat mencium kegiatannya. Selamatlah masjid ini dari serbuan tentara Belanda.
Dalam kondisi demikian, Masjid Angke terus memenuhi peranannya sebagai tempat pengisian landasan perjuangan, benteng iman dan ketakwaan umat Islam dalam menghadapi penindasan penjajah Belanda.4
Masjid Angke Al-Anwar yang terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I Rt. 001 Rw. 05, Kelurahan Angke ini juga berkait erat dengan peristiwa di zaman Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741). Beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC dengan rakyat dan orang Tionghoa. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika orang-orang Tionghoa bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian ini, sang jenderal sangat marah dan memerintahkan pembunuhan massal terhadap orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini diketahui Pemerintah Belanda. Sang jenderal dimintai pertanggungjawaban dan dianggap sebagai gubernur jenderal tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun 1741. Sang jenderal pun akhirnya mati di penjara.
Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.
Di halaman belakang masjid ini terdapat beberapa makam. Di antaranya adalah makam dengan nisan bertuliskan Syeikh Ja’far, tetapi tidak diketahui asal-usulnya. Di sebelahnya terletak juga 3 buah cungkup dengan nisan bertuliskan huruf Cina. Ada satu makam yang cukup jelas menunjukkan tentang sosok seorang yang dikuburkan di situ. Makam itu milik almarhum Syeikh Syarif Hamid al-Qadri (di timur masjid), yang dikenal sebagai pangeran dari Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat. Tahun 1800-an, ia ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia hingga kemudian wafat di Batavia. Tertulis pada nisannya: “Meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 H atau 1854 M”.5
Keberadaan batu nisan al-Qadri menunjukkan bahwa Masjid Al-Anwar menjadi basis perjuangan bagi pejuang yang dibuang dari daerah-daerah hingga akhir hayatnya. Adanya makam-makam di atas juga menunjukkan bahwa ternyata banyak pejuangan-pejuang daerah yang dalam perjuangannya dilandasi dengan Islam. Mereka berjuang mati-matian di daerahnya masing-masing hingga akhirnya mereka di tangkap dan ‘dibuang’ ke Batavia.
Menurut sejarahwan Heuken dalam bukunya, Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke dulu disebut Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia; sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi. Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).
Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan kita lihat masih banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal di perkampungan tersebut.
Walaupun berukuran kecil—15x15m2 berdiri di atas lahan 200 m2—masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No. 238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. []