Pada tanggal 30 Desember 2013 yang lalu Radio Free Asia memberitakan bahwa otoritas China di Xinjiang telah mengaborsi bayi dari empat orang Muslimah Uyghur karena mereka melanggar kebijakan satu anak yang diterapkan di Cina sejak tahun 1970-an. Tragisnya, salah satu dari empat perempuan itu bahkan telah mengandung 9 bulan. Mereka diberi suntikan mematikan yang merangsang proses aborsi dari rahim-rahim mereka.
Memettursun Kawul, suami dari korban yang mengandung 9 bulan bercerita dengan getir, “Meskipun istri saya disuntik oleh dokter, bayi saya menangis ketika ia dilahirkan.”
Ketika ia mendengar tangisan bayinya, ia langsung meraih bayi itu dan membawanya ke rumah sakit terdekat dalam upaya untuk menyelamatkannya. “Para dokter di rumah sakit itu mencoba untuk menyelamatkannya, tetapi mereka gagal. Akibat obat aborsi yang sudah telanjur disuntikkan, anakku meninggal satu jam setelah ia lahir.”
Metkurban Nuri, suami dari korban lain yang mengandung empat bulan, mengatakan ia dan istrinya telah bersembunyi di kota Hotan selama seminggu, tetapi pejabat keluarga berencana lokal menangkap mereka pada hari Sabtu. Kemudian mereka ditahan di kantor polisi Arish selama 24 jam dan ia dipaksa untuk menyetujui agar istrinya menjalani aborsi di Rumah Sakit Nurluq.
Sungguh, ini adalah tindakan biadab dan barbar yang dilakukan oleh rezim kriminal Cina yang amoral! Rezim yang dibutakan oleh kebencian terhadap Islam dan keserakahan terhadap pertumbuhan ekonomi ini telah mengaborsi putra-putri Islam dari rahim-rahim mulia Muslimah Uyghur.
Atas nama kebijakan satu anak yang kontroversial, Cina telah mengukir sejarah 336 juta aborsi dan 196 juta sterilisasi sejak tahun 1971. Cina terus menuai hujatan dan kontroversi tanpa henti baik di dalam negerinya maupun dunia internasional. Puncaknya pada bulan November, sidang Pleno Partai Komunis mengumumkan reformasi kebijakan untuk melonggarkan kebijakan satu anak yang sudah diterapkan puluhan tahun. Akhirnya, kini berdasarkan aturan baru, secara resmi disetujui oleh Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional pada tanggal 28 Desember, pasangan yang keduanya merupakan anak tunggal dapat memiliki dua anak. Para pembuat kebijakan telah memperkirakan pelonggaran itu akan menguntungkan sekitar 15 sampai 20 juta pasangan di kota-kota besar Cina dan akan mengakibatkan 1 – 2 juta kelahiran tambahan pertahun dalam beberapa tahun pertama, di atas 16 juta bayi yang lahir setiap tahun di China.
Rupanya pelonggaran kebijakan ini tidak berlaku bagi entitas Muslim Uyghur di Xinjing, Turkistan Timur. Sepuluh juta Muslim Uighur di Xinjiang yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan miliaran penduduk Cina beretnis Han lainnya, pada realitanya sangat dibatasi pertumbuhannya oleh pemerintah Cina.
Banyak pengamat mengatakan seharusnya Muslim Uyghur tidak dikenai kebijakan satu anak karena jumlah mereka tidak mengancam petumbuhan ekonomi di Cina. Namun realitasnya, setiap pasangan Uighur yang tinggal di perkotaan hanya dibolehkan untuk mempunyai anak maksimal dua orang, sedangkan jika mereka tinggal di pedesaan dibolehkan mempunyai anak maksimal tiga orang. Jika jumlah anak mereka telah mencapai jumlah maksimal, mereka dipaksa untuk melakukan aborsi atau sterilisasi atau tindakan-tindakan lain yang dapat memberhentikan kehamilan dari pasangan tersebut. Tidaklah mengherankan jika selama ini, pertumbuhan jumlah penduduk etnis Muslim Uighur tergolong rendah.
Kejahatan ganda yang dilakukan rezim kriminal Cina terhadap Muslim Uyghur di Turkistan Timur adalah menerapkan kebijakan kontrol populasi yang brutal dan melakukan kejahatan keji memerangi Islam dan umatnya di Xinjiang.
Kejahatan Kebijakan Satu Anak
Akibat dibutakan oleh keserakahan pertumbuhan ekonomi, Cina telah merendahkan nilai anak-anaknya sendiri selaku generasi penerus. Cina memandang mereka sebagai beban dan penghambat mesin pertumbuhan ekonomi mereka. Jutaan bayi khususnya bayi perempuan diaborsi di berbagai kota dan desa di Cina. Ratusan juta perempuan telah ditindas selama hampir setengah abad oleh kebijakan kejam ini. Ironisnya, kebijakan ini dilakukan hanya semata demi alasan ekonomi, yakni mencegah ledakan penduduk demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Sesungguhnya alasan yang sama—yakni pertumbuhan ekonomi—juga menjadi pemicu pelonggaran kebijakan satu anak yang baru saja diresmikan Desember lalu. Rezim serakah Cina baru menyadari harga mahal yang harus mereka bayar, bahwa akibat jumlah populasi ditekan selama puluhan tahun, mereka kekurangan tenaga kerja usia produktif untuk memicu mesin raksasa pertumbuhan ekonomi mereka, dengan tingkat pertumbuhan tahunan yang bertahan rata-rata PDB dari 10,5 persen antara 2001 dan 2010 serta 9,7 persen antara tahun 1979 dan 2009. Ini membuat Cina muncul sebagai ekonomi terbesar kedua, manufaktur terbesar dan negara perdagangan terbesar di dunia. Namun, prestasi gemilang itu ternyata membawa jejak kabut berat dan asap, polusi air dan tanah, yang melahirkan penyakit pernapasan massal dan menciptakan desa-desa penuh penyakit kanker hingga merampas hak lebih dari 300 juta orang dari air minum yang aman. Jadi, memang mahal sekali harga yang harus mereka bayar untuk sebuah pertumbuhan ekonomi. Cina bukan hanya kehilangan generasi muda usia produktif, melainkan juga generasi yang sehat.
Cina telah dibutakan oleh ideologi kapitalis yang memandang semua masalah dari perspektif ekonomi dan mengabaikan dampak sosial dari kebijakan-kebijakannya terhadap generasi dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Kapitalisme membawa keyakinan yang salah bahwa sumberdaya yang ada tidak cukup untuk menyediakan kebutuhan dasar dari semua orang. Ini karena Kapitalisme adalah ideologi yang secara konsisten menempatkan keuntungan materi di atas rakyat, keuangan di atas kemanusiaan, dan pertumbuhan ekonomi di atas jutaan nyawa generasi penerus.
Kebencian Terhadap Islam
Bukan rahasia lagi, pemerintah Cina menganggap keberadaan Muslim Uyghur di Provinsi Xinjiang sebagai pihak yang mengganggu kestabilan dan keamanan. Menurut surat kabar Xinjiang Daily, Oktober lalu, pertempuran melawan ekstremisme tidak dapat dihindari karena ekstremis keagamaan ini adalah bentuk halangan bagi stabilitas keamanan. Cina terus menyebarkan retorika melawan Muslim Uyghur yang mereka sebut teroris dan ekstremis.
Sungguh tindakan-tindakan permusuhan terhadap kaum Muslim di Turkistan Timur yang diduduki oleh Cina mencerminkan sejauh mana kebencian rezim komunis terhadap Islam, juga merupakan ketakutan dari negara Cina akan pengaruh Islam yang besar pada masyarakat Cina. Ini menunjukkan sisa-sisa doktrin komunis yang represif dan memiliki warisan sejarah penganiayaan agama minoritas masih tetap berakar kuat dalam negara. Meski ideologi Komunisme di dunia telah runtuh, Muslimah Uighur khususnya merasakan tekanan dalam kehidupan mereka dari segala penjuru. Bukan hanya hak mereka untuk mengenakan busana Muslimah yang dirampas secara sistematis dan keji, namun juga hak mereka untuk berkeluarga dan memiliki keturunan! Partai Komunis yang berkuasa telah berupaya secara berkala untuk membasmi hijab dan busana Muslimah sejak mengambil kekuasaan di tahun 1949. Pertama kali meluncurkan upaya-upaya ateisme dan kemudian melarang jilbab sama sekali di tahun 1960-an dan 70-an.
Muslimah Uyghur bukan hanya harus berhadapan dengan kebijakan represif yang mengancam identitas mereka dengan larangan hijab, namun juga harus dihadapkan dengan kebijakan brutal yang merusak rahim-rahim mulia mereka dengan program aborsi dan sterilisasi massal yang amoral! Program brutal yang lahir dari penguasa kriminal Cina yang membenci Islam dan ketakutan akan lahirnya generasi mujtahid dan mujahid Islam yang mampu mengembalikan kejayaan Islam di Turkistan Timur dan seluruh penjuru dunia Islam. Sebabnya, dari rahim-rahim mulia kaum Muslimah di Uyghur dan Muslimah di seluruh dunia akan lahir generasi pemimpin umat yang akan membawa umat ini dari kegelapan menuju cahaya.
Inilah salah satu realitas penderitaan kaum Muslimah yang menyayat hati, di timur Dunia Islam. Mereka adalah korban tak berdaya dari predator-predator penguasa kufar yang dibiarkan eksis oleh sistem dunia yang diskriminatif terhadap Umat Islam. Selama sistem dunia masih memuja demokrasi dan sekularisme, maka penderitaan kaum Muslimah di Xinjiang, Turkistan Timur niscaya tidak akan pernah berakhir. Pasalnya, pangkal masalah dari semua penderitaan ini tidak lain adalah tidak hadirnya Khilafah yang merupakan perisai bagi umat Islam, yang akan menghilangkan hegemoni kufar atas kaum Muslim dan melindungi kehormatan kaum Muslimah dan anak-anak di seluruh dunia Islam. [Fika Komara (Member of Central Media Office Hizb ut Tahrir)]