Dalam Telaah Kitab sebelumnya telah dijelaskan tentang Mu’awin Tafwîdh, bahwa Mu‘âwin at-Tafwîdh adalah wazîr yang ditunjuk Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Khalifah mendelegasikan kepada dia pengaturan berbagai urusan menurut pendapat dan berdasarkan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 130). Dengan demikian, Khalifah telah memberikan wewenang kepada Mu‘âwin at-Tafwîdh ini secara umum dan juga posisi untuk mewakili Khalifah.
Lalu apa syarat-syarat bagi Mu‘âwin at-Tafwîdh? Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 43, yang berbunyi: “Syarat-syarat Mu’awin Tafwîdh sama seperti persyaratan Khalifah yaitu: laki-laki, merdeka, Muslim, balig, berakal, adil dan memiliki kemampuan terhadap tugas-tugas yang dia emban.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 175).
Pengertian Syarat
Syarat menurut bahasa adalah al-‘alâmah al-lâzimah (tanda yang harus ada). Adapun menurut istilah, syarat adalah: mâ yalzamu min ‘adamihi al-‘adamu wa lâ yalzamu min wujûdihi wujûdu (sesuatu yang tidak adanya mengharuskan tidak ada dan adanya tidak mengharuskan ada). Thaharah, misalnya, adalah syarat shalat. Shalat dinyatakan tidak ada apabila thaharah tidak ada. Akan tetapi, sekalipun thaharah ada, shalat belum tentu ada, karena masih ada syarat-syarat lainnya selain thaharah (Utsman, Al-Kâmûs al-Mubayyan fi Ishtilahât al-Ushûliyyîn, hlm. 186; An-Nabhani, asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/51).
Syarat harus sudah ada sebelum masuk ke dalam perkara yang disyaratkan (masyrûth). Karena itu, bagi seorang Mu‘âwin at-Tafwîdh, syarat itu harus telah ada sebelum ia menjadi Mu‘âwin at-Tafwîdh.
Syarat-syarat Mu‘âwin at-Tafwîdh
Berdasarkan Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 43 di atas diketahui, bahwa syarat-syarat seorang Mu‘âwin at-Tafwîdh sama dengan syarat-syarat seorang Khalifah. Pertama: Muslim; tidak boleh (haram) non-Muslim. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa ulama telah menjadikan ayat ini sebagai dalil larangan menjual budak Muslim kepada orang kafir (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, 2/386). Artinya, diharamkan menjadikan seorang Muslim, sekalipun ia budak, ada di bawah kekuasaan orang kafir. Jika budak Muslim saja dilarang berada di bawah kekuasaan orang kafir, apalagi kaum Muslim yang merdeka, tentu lebih diharamkan. Mengingat Mu‘âwin at-Tafwîdh itu adalah jabatan pemerintahan (kekuasaan), maka haram dijabat oleh non-Muslim. Sebab, penggunaan huruf lan yang menunjukkan pengertian selamanya (lit ta’bîd) merupakan qarînah (indikasi) tentang larangan keras orang kafir menjadi penguasa atas kaum Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 176; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 22).
Kedua: Laki-laki; tidak boleh (haram) perempuan. Ini berdasarkan pada hadis dari Abi Bakrah ra. yang berkata, ketika sampai kepada Rasulullah saw. bahwa rakyat Persia menjadikan putri Kisra sebagai penguasa mereka, maka beliau bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
Sekali-kali tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerinta-han) mereka kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).
Hadis riwayat al-Bukhari ini menunjukkan bahwa syariah melarang tegas perempuan menduduki jabatan pemerintahan (kekuasaan). Sekalipun hadis itu datang dalam bentuk khabar (berita), karena disertai dengan celaan, maka ini merupakan bentuk larangan. Adapun penggunaan huruf lan yang menunjukkan pengertian selamanya (lit ta’bîd) ini benar-benar telah menafikan keberuntungan dari mereka yang menjadikan perempuan sebagai penguasa. Dengan demikian ini menjadi qarînah (indikasi) yang menunjukkan tuntutan meninggalkan secara tegas. Dengan demikian perempuan haram menjadi Mu‘âwin at-Tafwîdh, sebab Mu‘âwin at-Tafwîdh adalah jabatan pemerintahan (kekuasaan) (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 176; Al-Khalidi, Qawâid Nizâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 296).
Bahkan Ibnu Hazm berkata, “Semua kelompok Ahlul Qiblah (mereka yang masih mengakui dan membenarkan apa yang dibawa Rasulullah saw.), tidak seorang pun dari mereka yang membolehkan kepemimpinan seorang perempuan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal, IV/110).
Ketiga: Balig; tidak boleh anak kecil. Dalam hal ini, semua ulama sepakat tentang larangan anak kecil menjadi penguasa. Hanya kaum Rafidhah yang membolehkan anak kecil menduduki jabatan pemerintahan (kekuasaan), bahkan janin yang masih dalam kandungan sekalipun. Pendapat mereka ini tidak benar, sebab anak kecil belum mendapat taklîf (beban hukum), sementara seorang penguasa di-taklîf (diberi beban hukum) untuk menjalankan agama (Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milal, IV/110). Rasulullah saw. bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ الصَّبِيِّ حَتىَّ يَبْلُغَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَعْتُوْه حَتىَّ يَبْرَ أَ
Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan: dari anak kecil hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang kurang akalnya hingga ia sempurna (HR Abu Dawud).
Siapa saja yang tidak mendapat taklîf (beban hukum), secara syar’i ia tidak sah mengelola urusan. Jika mengelola urusan dirinya saja tidak sah, tentu lebih tidak sah lagi mengurusi urusan orang lain (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 176; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 24).
Bahkan Rasulullah saw. pernah menolak dibaiat anak kecil sebab anak kecil belum mengerti maksud pemerintahan, sistem negara dan konsep-konsep politik. Ini sebagaimana hadis riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin Hisyam ra. Ketika itu ia telah mengenal Nabi saw. Kemudian ibunya, Zainab binti Humaid ra., membawa dia kepada Rasululllah saw. Lalu ibunya berkata, “Terimalah baiatnya.” Nabi saw bersabda, “Ia masih kecil.” Kemudian beliau mengusap kepalanya dan mendoakan kebaikan untuk dia.
Jika anak kecil baiatnya dianggap tidak sah, tentu lebih tidak sah lagi ia dibaiat menjadi Khalifah, atau diangkat untuk menduduki jabatan pemerintahan (kekuasaan) lainnya (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 297).
Keempat: Berakal; bukan orang gila. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan:” Di antaranya beliau bersabda:
عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتىَّ يَفِيْقَ
…dari orang yang gila/kurang waras akalnya hingga ia sembuh (HR Abu Dawud).
Akal merupakan manâth at-taklîf (tempat pembebanan hukum), bahkan ia sebagai syarat sahnya pengaturan urusan. Mu‘âwin at-Tafwîdh adalah orang yang akan menjalankan urusan-urusan pemerintahan dan menerapkan kewajiban-kewajiban syariah. Orang yang rusak akalnya (gila) tidak boleh menjadi penguasa. Sebab, orang gila tidak sah mengatur urusan dirinya, apalagi mengatur urusan orang lain (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 177; Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 298).
Kelima: Adil, bukan orang fasik. Allah SWT berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian (QS ath-Thalaq [65]: 2).
Dalam ayat ini Allah SWT mensyaratkan sifat adil bagi seorang saksi agar kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi saja disyaratkan harus adil, apalagi kedudukan yang lebih besar dan lebih tinggi dari hanya sekadar saksi, yaitu orang yang menduduki jabatan pemerintahan (kekuasaan), yang akan mengurusi urusan umat Islam. Adil di sini artinya adalah seorang yang menjaga agama, harta dan kehormatan dirinya; tidak melakukan dosa besar; tidak sering melakukan dosa kecil; dan selalu menjaga muru’ah (Al-Baghdadi, Al-Farq bayna al-Firaq, hal. 271). Muru’ah adalah meninggalkan segala bentuk perbuatan yang bisa merusak kewibawaan, sekalipun perbuatan itu mubah.
Keenam: Merdeka; bukan budak. Sebab, seorang hamba sahaya (budak) adalah milik tuannya. Dengan demikian ia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri. Jika mengatur urusannya sendiri saja tidak memiliki kewenangan, apalagi kewenangan mengatur urusan orang lain, bahkan masyarakat luas, maka Mu‘âwin at-Tafwîdh haruslah orang yang merdeka (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 176; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 24; Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 298).
Ketujuh: Memiliki kemampuan. Sebab, kemampuan merupakan keharusan yang dituntut dalam baiat bagi Khalifah, serta tuntutan akad pelimpahan kekuasaan bagi para Mu’âwin Tafwîdh, wali dan amil. Sebab, orang yang lemah tidak akan mampu menjalankan urusan-urusan rakyat berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, yang dengan keduanya ia dibaiat, atau sesuai dengan akad pelimpahan kekuasaan yang diserahkan kepada dirinya.
Dalil terkait hal ini adalah: Pertama, hadis riwayat Muslim dari jalan Abu Dzar ra. yang berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak menjadikan aku sebagai amil?” Mendengar itu beliau bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah, sementara kekuasaan itu amanah. Kekuasaan itu kelak pada Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang mengambilnya dengan benar (berhak) dan menunaikan apa yang menjadi kewajiban-nya.” (HR Muslim).
Hadis ini melarang orang yang tidak berhak, tidak layak dan tidak mampu (lemah) menjalankan kewajibannya untuk menduduki kekuasaan. Sebab, hal itu kelak pada Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi dirinya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 177).
Kedua, hadis riwayat al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah ra. bahwa Rasululah saw. pernah bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah saat-saat kehancuran.” Beliau ditanya, “Bagaimana (bentuk) penyia-nyiaan amanah itu?” Beliau bersabda:
إِذَا وُسِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَ ير أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَة
Jika urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak layak) maka tunggulah saat-saat kehancuran (HR al-Bukhari).
Hadis ini melarang dengan tegas menyerahkan suatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak layak), yakni orang yang tidak mampu menjalankan amanah dan kewajibannya. Sebab, menyerahkan kepada dia sama artinya dengan menyia-nyiakan amanah. Dengan demikian, penguasa yang di antaranya adalah Mu‘âwin at-Tafwîdh haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah pemerintahan (kekuasaan).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan:
Al-Baghdadi, al-Imam Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad, Al-Farq bayna al-Firaq (Beirut: Dal al-Kutub al-Ilmiyah), Cetakan IV, 2009.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Ibnu Hazm, Abu Muhammad bin Ahmad azh-Zhahiri, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Cetakan II, 1975.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Ustman, Dr. Mahmud Hamid, Al-Kâmûs al-Mubayyan fi Ishtilahât al-Ushûliyyîn, (Riyadh: Dar az-Zahim), Cetakan I, 2002.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadimi, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.