HTI

Catatan Jubir (Al Waie)

Tak Ada Yang Buruk

Dalam kunjungan ke Istanbul, Turki, akhir Desember 2013 lalu, saya sempat berjumpa dengan Abu Muhammad, salah satu pimpinan Hizbut Tahrir Turki yang pernah menjadi salah satu pembicara dalam Muktamar Khilafah 2013 baru lalu. Didampingi dua kawan lain, kita berbincang tentang berbagai hal di sebuah rumah makan kecil yang bersih dan asri di tepian Selat Bosphorus. Malam itu suhu udara Istanbul sangat dingin. Sekitar 2 – 3 derajat Celcius.  Namun, pertemuan di kedingingan malam yang disertai dengan hidangan Kebab Turki dan teh khas Turki serta heater yang disetel cukup tinggi itu, berlangsung hangat. Apalagi topik pembicaraan memang juga hangat, berkisar pada masalah politik dan dakwah di Turki.

Meski banyak orang luar, termasuk dari Indonesia, acap memuji Erdogan dengan pemerintahannya yang dianggap islamis, ketiga kawan kita itu mengungkapkan sisi muram kondisi sosial, politik dan dakwah di sana. Secara ekonomi, Turki memang lebih bagus dibandingkan dengan sejumlah negara Eropa yang saat ini tengah dilanda krisis ekonomi.  Negara di kawasan Euroasia dengan penduduk sekitar 75 juta orang itu memiliki pendapat perkapita sekitar 13.000 USD. Dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5% dan gini 38 (yang menunjuk derajat kesenjangan), kehidupan rakyat Turki cukup sejahtera.

Namun di sisi lain, secara sosial negara ini tak menggambarkan sebagai negeri dengan penduduk lebih dari 97% adalah Muslim. Pengaruh sekularisme tampak demikian menghunjam dalam ke tubuh orang-orang Turki. Mereka lebih mencitrakan diri sebagai bagian Eropa dari pada Asia. Memang secara fisik, orang Turki kebanyakan mirip orang bule. Perempuannya berkulit putih, tinggi dan berambut pirang. Namun, tak banyak dari mereka yang menutup aurat. Perempuan berkerudung hanya satu-dua. Laki-perempuan bergaul amat bebas. Yang ajaib, meski Muslim, umumnya mereka tidak menjalankan shalat. Menurut salah satu pemandu yang menemani kami dalam satu hari kunjungan ke Masjid Sulaimaniye (sebuah masjid besar nan megah yang dibangun oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni sekitar 500 tahun lalu), baru-baru ini ada survei yang menanyakan orientasi politik keagamaan orang Turki, apakah islamis atau liberalis. Hasilnya, sekitar 60% liberalis dan 40% sisanya Islamis. Namun, di antara yang islamis tadi, ketika ditanya apakah melakukan shalat, ternyata yang menjawab iya hanya 60%. Jadi kalau masjid-masjid tua di sana, seperti Masjid Sulaimaniye tadi, di waktu shalat ramai jamaah, itu lebih banyak diisi oleh para wisatawan. Adapun penduduk lokal anteng saja tak bergerak meski azan berkumandang keras.

Yang lebih menyedihkan adalah kondisi dakwah. Bagaimana mungkin, di negeri yang pernah lebih dari 500 tahun menjadi pusat Kekhilafahan, dakwah yang menyerukan pendirian kembali Khilafah Islam justru dilarang. Bagi penguasa, tampaknya ide khilafah—yang pernah membuat negeri ini memiliki sejarah peradaban hebat itu—bagaikan kutu busuk yang harus segera dimusnahkan.

Abu Muhammad bercerita, ada 400 aktifis Hizbut Tahrir Turki di Istanbul yang ditangkap, dan saat ini tengah dimajukan di muka pengadilan. Untuk kesalahan apa, hingga sekarang tidak jelas. Untuk tuduhan yang tidak jelas itu, mereka terancam hukuman penjara akumulatif 2.800 tahun, karena 400 orang itu masing-masing diancam hukuman 7 tahun penjara. Pada saat yang sama, Jubir HT Turki juga sedang dimajukan di muka pengadilan di Ankara; juga dengan tuduhan yang tidak jelas. Untuk tuduhan yang tidak jelas itu, ia diancam hukuman lebih berat: 18 tahun penjara!

Bukan kali ini saja tindakan zalim itu menimpa aktifis dakwah di sana. Sepulang dari menghadiri Muktamar Ulama Nasional (MUN) pada 2009 lalu, begitu keluar dari Bandara Istanbul, sejumlah aktifis HT Turki yang tengah bergegas kembali ke rumah masing-masing langsung ditangkap dengan tuduhan pergi ke Indonesia mengikuti pelatihan pembuatan bom!

Kalau mereka dimajukan ke muka pengadilan dengan tuduhan yang tidak jelas, karena hakim atau jaksa tidak pernah bisa memberikan pernyataan jelas, lantas atas kesalahan apa sesungguhnya sehingga mereka ditangkap dan diperlakukan bagai seorang pelaku kriminal? Abu Muhammad menjawab tegas: karena berdakwah untuk syariah dan Khilafah!

++++

Menyimak cerita kawan kita di Turki, saya teringat dengan kondisi peradilan di Tanah Air. Amat banyak kisah kezaliman yang dilakukan oleh lembaga yang—sesuai  namanya—semestinya menjadi tempat dimana keadilan ditegakkan, dan ke sanalah orang mencari keadilan. Faktanya, justru lembaga itu menjadi arena yang mempertontonkan dengan amat terang ketidakadilan dan kezaliman. Lembaga peradilan yang semestinya bertindak independen, faktanya sangat mudah dipengaruhi oleh intervensi politik dan uang. Walhasil, palu hakim seperti sebilah pedang, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, atau ditebaskan pada seseorang, bergantung pada permintaan. Karena itu, bagi mereka yang tidak punya koneksi politik dan uang melimpah, keadilan itu bagai fatamorgana. Seolah ada, tapi tiada.

Salah satu tokoh yang sekarang tengah merasakan getirnya kezaliman pengadilan adalah Ustadz Abubakar Ba’asyir.  Jelas sekali dalam pengadilan, setelah mendengar keterangan terdakwa dan para saksi, hakim akhirnya memutus bahwa tuduhan primer, yakni keterlibatan Ustadz Abu dalam pelatihan di daerah Janto, Aceh, tidaklah terbukti. Begitu juga tuduhan sekunder, bahwa Ustadz Abu menyediakan senjata untuk pelatihan itu, tidak pula terbukti. Yang menurut hakim terbukti hanyalah tuduhan lebih sekunder, bahwa Ustadz Abu menerima dana, yang disebutkan untuk kepentingan penyelenggaraan pelatihan di Janto tadi. Padahal, bukankah pelatihan Janto sebagai tuduhan primer sudah tidak terbukti. Jadi kalau begitu, apa yang salah dengan menerima dana? Semua tokoh umat pasti pernah menerima dana untuk kepentingan dakwah. Untuk “kesalahan” menerima dana itu, Ustadz Abu diganjar 15 tahun penjara!

Begitulah, kita menjadi tahu bahwa peradilan Ustadz Abu memang sangat sarat kepentingan politik. Intinya, entah bagaimana caranya pokoknya Ustadz Abu harus masuk penjara. Hanya dengan cara itu cerita tentang terorisme di Indonesia menjadi absah karena ada peristiwa, pelaku dan tokohnya.

Begitu juga tampaknya yang tengah terjadi di Turki dan di negeri Muslim lain. Jelas-jelas pengadilan tidak mampu membuktikan kesalahan aktifis HT Turki, bahkan untuk menyebut apa kesalahan mereka dalam surat dakwaan juga tidak bisa, tetapi tetap saja pengadilan jalan terus. Ini membuktikan bahwa pengadilan telah menjadi alat politik penguasa untuk meligitimasi tindakan zalim itu, seolah benar bahwa yang mereka tahan itu memang melakukan kesalahan.

++++

Menghadapi kezaliman seperti itu, bagus kiranya kita menyimak pernyataan Ibn Taimiyah. Katanya, “Bila aku dibuang (karena perjuanganku), itu adalah siyahah (pesiar) bagiku; kalau aku dipenjara, itu khalwat-ku bersama Allah; dan bila aku dibunuh, itu syahid bagiku.”

Jadi, tidak ada yang buruk bagi seorang pejuang. Semua keadaan, bila disikapi dengan benar, adalah baik dan berpahala. Itulah mengapa segala cara telah ditempuh oleh para penguasa zalim di sepanjang sejarah untuk menghentikan laju dakwah tetapi tidak pernah berhasil. Dakwah terus melaju menerjang penghalang, sementara para penguasa zalim itu malah tumbang satu-persatu, mati dan pasti harus menghadapi pengadilan yang hakiki di Akhirat nanti. [Muhammad Ismail Yusanto]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*