Timur Tengah masih terus bergejolak. Arab Spring, yang tadinya diharapkan membawa perubahan berarti untuk umat Islam, ternyata jauh dari harapan. Kondisi malah makin memanas terutama di Mesir, dengan kembalinya rezim militer di bawah pimpinan Jenderal as-Sisi yang pro Barat. Kondisi yang masih bergejolak terjadi di Tunisia, Suriah, dan wilayah Timur Tengah lainnya. Untuk menggambarkan peta politik dan trend Timur Tengah 2014, Redaksi mewancara Adnan Khan, pengamat politik Dunia Islam yang bermukim di Inggris. Berikut petikannya. [Redaksi]
Bagaimana Anda menjelaskan Mesir saat ini yang semakin represif dan anti Islam?
Situasi di Mesir sekarang telah benar-benar terbalik. Segala sesuatu yang dicapai dalam penggulingan Hosni Mubarak dan munculnya Ikhwanul Muslimin (IM) telah benar-benar diakhiri oleh tentara. Militer Mesir di bawah Jendral Sisi telah bekerja untuk benar-benar menghancurkan IM dan setiap ancaman yang mungkin muncul melawan kekuasaan mereka untuk mempertahankan perannya di negara itu. Tentara dan polisi menembaki ratusan pendukung Mursi yang berkumpul di Kairo dalam berbagai protes. Ratusan orang terbunuh dalam apa yang digambarkan oleh Human Rights Watch sebagai “insiden paling serius dari pembunuhan massal di luar hukum dalam sejarah Mesir modern.” Suatu pengadilan sandiwara telah dibuat saat Morsi dan anggota IM lainnya diadili karena “melakukan tindakan kekerasan dan menghasut pembunuhan dan premanisme.”
Pada tanggal 25 Desember 2013, pemerintah yang didukung militer Mesir menetapkan IM sebagai organisasi teroris serta mengkriminalisasikan semua kegiatan dan keuangannya. Semua ini telah dilakukan dalam perjanjian lengkap dengan AS saat Menteri Luar Negeri AS John Kerry menegaskan kembalinya rezim militer untuk: “memulihkan demokrasi.” Penindasan oleh rezim militer adalah untuk menghancurkan setiap ancaman terhadap rezim.
Mengapa AS dan Barat cenderung mengabaikan tindakan represif dari Jendral Sisi yang sangat tidak demokratis dan bertentangan dengan HAM?
Barat dalam kampanye terhadap Dunia Islam terus mengatakan akan mendukung hak-hak kebebasan, demokrasi dan HAM. Namun dalam kenyataannya, hal ini tidak pernah terjadi. Semua ini terjadi bukan karena para pemimpin yang korup di Washington, London atau Paris, tetapi karena nilai-nilai itu dalam realitanya hanya untuk negeri-negeri mereka. Di negeri-negeri Muslim, Barat telah secara aktif mendukung para penguasa seperti Gaddafi, Mubarak dan Ben Ali yang melindungi kepentingan-kepentingan Barat di negara masing-masing dengan mengorbankan penduduk di dalam negeri. Hal ini bukanlah penyimpangan dari nilai-nilai liberal, namun sebenarnya adalah kepatuhan total atas nilai-nilai mereka. Rezim kapitalis di dunia Barat selalu membangun kebijakan luar negeri mereka berdasarkan kepentingan korporasi (perusahaan). Kebijakan kolonial seperti itu muncul untuk mempertahankan dominasi mereka sendiri di dunia; juga untuk mengeksploitasi dan menjarah negara-negara yang lebih lemah dengan cara-cara ekonomi, politik dan militer. Dukungan Barat kepada para rezim tiran hanyalah salah satu alat dalam kebijakan yang lebih luas yang telah berusia berabad-abad ini.
Hubungan AS dengan Mesir didasarkan pada perlindungan Mesir atas kepentingan-kepentingan AS di kawasan itu, yang terutama untuk memecah umat Islam melalui normalisasi hubungan dengan Israel. Inilah sebabnya mengapa AS telah memberikan bantuan senilai lebih dari $ 1 miliar pertahun sejak Mesir menandatangani perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel pada tahun 1979.
Bisakah peristiwa di Mesir dan di Tunisia dianggap sebagai kemenangan pemerintah liberal yang didukung militer melawan kelompok Islam yang menuntut pemerintahan Islam?
Ya. Di Mesir khususnya tentara mengamati dari balik layar ketika Ikhwanul Muslimin menyapu kekuasaan. Pada saat mereka berkuasa, militer melakukan segalanya untuk melemahkan kekuasaan Ikhwan termasuk merintangi jalan pada isu-isu dasar mengenai pengelolaan departemen pemerintah. Semua ini menggerogoti pemerintah Mursi. Di Tunisia oposisi sekular memastikan Al-Nahda tidak pernah bisa memerintah secara efektif dengan menentang setiap kebijakannya. Semua ini telah menjadi kemenangan bagi militer dan Barat karena mereka telah mempertahankan status quo selama periode perubahan.
Apa pelajaran penting yang bisa diambil dari ‘kegagalan’ partai-partai yang berbasis Islam di Mesir (Ikhwanul Muslimin) dan di Tunisa (An-Nahda)?
Ketika berkuasa, partai-partai Islam gagal menerapkan Islam, mereka percaya bahwa Islam hanya bisa diterapkan secara bertahap. Meskipun pemberontakan awal dilakukan oleh rakyat, hal ini dengan cepat dibajak oleh Barat yang ditopang oleh kelompok-kelompok alternatif, individu-individu dan organisasi-organisasi untuk memastikan tidak terjadinya perubahan yang nyata. Perubahan di dunia Muslim tidak dapat terjadi jika kurang dari 100% (tidak menyeluruh). Kalau perubahan itu tidak menyeluruh, sistem yang korup masih akan tetap di tempat. Apa yang merupakan pemerintahan Islam tetap buram dalam pikiran rakyat. Serangan balik terhadap IM di Mesir dan An-Nahda di Tunisia adalah karena ketidakmampuan mereka untuk meningkatkan standar hidup, inflasi dan kemakmuran; bukan karena mereka meninggalkan Islam. Pasalnya, An-Nahda secara terbuka sudah meninggalkan Islam, sementara IM di Mesir mencoba untuk membenarkan pengabaian mereka atas Islam dengan mengklaim bahwa Islam harus diterapkan secara bertahap. Semua ini menunjukkan bahwa masih adanya opini publik untuk perubahan dan juga untuk Islam, namun bentuk dan wujud pemerintahan Islam masih samar-samar dalam pikiran masyarakat.
Bagaimana Anda menjelaskan kondisi di Suriah saat revolusi Islam dan kaum Mujahidin telah menghadapi tantangan serius dari Barat karena mereka menolak demokrasi?
Mantan Dubes AS untuk Suriah, Ryan Crocker, menguraikan strategi Barat : “Kita perlu meraih masa depan Suriah yang mencakup Assad dan menganggap bahwa seburuk-buruknya dia, masih ada yang lebih buruk lagi.”
Strategi Barat yang bekerjasama dengan negara-negara di wilayah itu adalah untuk melemahkan para pejuang yang secara terbuka menyerukan Islam. Terdapat kelompok-kelompok perlawanan individual yang jumlahnya kecil masuk melalui Arab Saudi, Turki, Qatar dan Yordania mencari cara untuk melemahkan kelompok-kelompok Islam. Mereka menginfiltrasi aliansi-aliansi yang lebih besar untuk melemahkan kemampuan mereka (kelompok-kelompok Islam). Strategi infiltrasi ini tampaknya adalah taktik untuk melemahkan para pejuang Islam. Ini adalah strategi yang mirip dengan apa yang dilakukan di Irak.
Konferensi Jenewa juga bertujuan untuk mengeksploitasi kesenjangan pertikaian antara kelompok-kelompok pejuang melalui demarkasi antara kelompok-kelompok pejuang itu, baik secara politik maupun militer, serta melabeli mereka sebagai kelompok moderat dan radikal untuk lebih memperluas pemecahan ini. Dengan cara ini Barat dapat mengajak kelompok moderat dalam road map mereka dan mengisolasi kelompok yang mereka cap radikal.
Bagaimana solusi dari krisis di Suriah saat ini?
Di manapun di Suriah, strategi perang rezim al-Assad adalah untuk menghancurkan kelompok oposisi dengan menggunakan kekuatan besar, mengepung kota-kota dan menembaki penduduk tanpa pandang bulu, untuk membasmi para pejuang. Meskipun rezim Assad memiliki lebih banyak senjata, mereka telah gagal untuk membendung para pejuang yang berbaris masuk ke Damaskus. Satu demi satu keuntungan yang diperoleh Assad menghilang. Serangan serampangan oleh rezim itu memaksa umat untuk mengatur diri ke dalam kelompok-kelompok pejuang dan menentang rezim. Para pejuang menghadapi pasukan rezim dengan memanfaatkan taktik gerilya, menargetkan dan memotong jalur pasokan bagi pasukan rezim di seluruh negeri. Kelompok-kelompok pejuang saat ini menguasai lebih banyak wilayah yang dikuasai oleh al-Assad, namun wilayah-wilayah yang penting masih tetap di tangan rezim.
Pada akhir tahun 2013, rezim al-Assad mempertahankan operasinya dengan sukses yang dilakukan secara bersamaan di Aleppo dan Damaskus, wilayah-wilayah yang menunjukkan bahwa pasukan rezim telah benar-benar telah menjadi kuat. Namun, hal ini hanya mungkin karena ketergantungan luar biasa rezim terhadap pasukan asing dan pasukan non-reguler. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya sebenarnya militer Suriah.
Solusinya bagi para pejuang adalah dengan melanjutkan apa yang mereka telah lakukan dan memastikan mereka tidak terpengaruh.
Dalam hal krisis di Timur Tengah, khususnya di Suriah, bagaimana posisi Turki? Apakah krisis ini juga dipengaruhi oleh AS?
Turki telah memainkan peran sentral dalam memberikan tempat dan membangun strategi Amerika dengan membawa wajah-wajah baru yang setia untuk bernegosiasi dengan rezim. Turki melatih para pembelot dari Tentara Suriah di wilayahnya. Pada bulan Juli 2011 kelompok mereka mengumumkan lahirnya Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army) di bawah pengawasan intelijen militer Turki. Turki telah menempatkan para pimpinan FSA. Wilayah Turki Selatan telah digunakan untuk menyelundupkan senjata ke Suriah.
Peran Turki di dunia jelas diuraikan oleh Erdogan pada pertemuan Partai AKP, “Hari ini Turki tertarik pada sebagian besar masalah di dunia di mana Amerika Serikat juga tertarik. Kami memiliki visi yang sama dalam spektrum yang sangat luas dari Afganistan hingga Irak, Palestina dan Balkan. Namun, yang paling penting kami berada dalam kerjasama yang konkrit. Sebagaimana yang dikatakan oleh Obama dalam kunjungannya, kami telah memasuki fase model kemitraan dan kami bertindak sesuai dengan model ini. Ada beberapa hal yang kami bisa umumkan ke publik dan ada beberapa hal yang tidak dapat diumumkan. Mereka yang ingin merintangi hubungan Turki-Amerika mengabaikan kualitas multidimensi dan kedalaman hubungan ini.”
Bagaimana Anda melihat prospek Turki yang dianggap sebagai model ideal hubungan Islam dengan politik/negara?
Turki tidak mewakili model pemerintahan bagi umat Islam. Dalam kenyataannya, Turki adalah negara sekular dan memiliki kepentingan nasional sebagaimana yang didorong oleh negeri-negeri Barat. Model pemerintahan Turki secara alami sebenarnya didorong oleh nasionalisme dan pragmatisme dengan beberapa slogan-slogan Islam. Islam hampir tidak memainkan peran dalam kebijakan luar negeri Turki. Contoh paling jelas dari hal ini adalah kelanjutan hubungan Turki yang dipimpin Erdogan dengan Israel yang nyata-nyata tidak dibolehkan dalam Islam. Sejak berkuasa, AKP telah berkembang sangat dekat dengan AS. Bahkan AKP telah bekerja untuk menerapkan kebijakan global AS dan bersedia memainkan peran sebagai agen AS. Turki telah memainkan peran sentral dalam negosiasi tidak langsung pada tahun 2011 antara faksi-faksi Palestina dan Israel untuk membawa penyelesaian atas masalah-masalah yang mengharuskan umat meninggalkan sebagian besar tanahnya untuk warga Israel.
Bagaimana peluang dan tantangan umat Islam dalam konteks pendirian Negara Khilafah saat ini?
Pada dekade terakhir, kita telah melihat sebagian dari nilai-nilai inti Barat yang terkikis dan terlempar keluar atas nama terorisme: invasi ke Irak dan Afganistan, Guantanamo Bay, penggunaan senjata kimia dan praktik rendisi luar biasa yang menggantikan pengadilan atas orang-orang yang tidak bersalah hingga terbukti bersalah, dll. Krisis ekonomi global juga telah menggerogoti pasar bebas dan model ekonomi Barat. Korupsi di Amerika Serikat dan Inggris telah menggerogoti politik mereka. Semua ini menyajikan kesempatan yang ideal untuk menampilkan sistem alternatif bagi dunia. Negara-negara Eropa seperti Yunani menderita di tangan negara-negara yang lebih kaya yang berusaha untuk mempertahankan kapitalisme. Kapitalisme kini telah kehilangan otoritas moralnya. Inilah alasannya mengapa Barat sangat bersemangat untuk memastikan perubahan Islam tidak terjadi di Suriah karena akan menjadi alternatif bagi kapitalisme.
Tantangan utama yang dihadapi umat adalah upaya musuh untuk melemahkan Islam (deluting Islam) atau menerima kompromi kesepakatan, seperti yang telah terjadi di negara-negara seperti Mesir dan Tunisia. Umat harus memastikan terus tuntutannya bagi perubahan. Hal ini harus menjadi perubahan total dan bukan sekadar perubahan saja.
Apa saja poin-poin penting yang harus dilakukan umat Islam pada masa depan?
Umat perlu menyajikan Islam kepada dunia seperti apa adanya dan tidak perlu ‘mencairkan’ Islam. Mencairkan Islam tidak akan memecahkan masalah umat sebagaimana yang disadari oleh Ikhwanul Muslimin sekarang. Umat perlu menyajikan solusi Islam sebagai alternatif kapitalisme yang secara konsisten gagal memberikan kemakmuran ekonomi, bebas dari korupsi politik dan stabilitas. Umat perlu terus melanjutkan—yang start-nya adalah Arab Spring—untuk melenyapkan para penguasa mereka dan menggantinya dengan para penguasa Islam yang tulus. Umat jangan sampai tertipu untuk menerima kompromi atau perubahan parsial, umat memerlukan perubahan total. [rz]