(Tafsir QS al-Buruj [85]: 1-7)
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ * وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ * وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ * قُتِلَ أَصْحَابُ الأخْدُودِ * النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ * إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ * وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ *
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang; demi hari yang dijanjikan; demi yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar; ketika mereka duduk di sekitarnya; sementara Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap kaum Mukmin (QS al-Buruj [85]: 17).
Surat ini dinamakan al-Burûj, diambil dari salah satu kata yang terdapat dalam ayat pertama. Surat yang terdiri dari dua puluh dua ayat ini termasuk Makkiyyah. Tak ada perbedaan pendapat tentang hal itu.1
Diterangkan Fakhruddin ar-Razi, surat ini memberikan hiburan kepada Nabi saw. dan para sahabatnya dari tindakan menyakitkan kaum kafir. Bentuknya adalah dengan menjelaskan nasib buruk umat-umat terdahulu seperti ash-hâb al-Ukhdûd, Fir’aun dan Tsamud.2
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa as-samâ‘i dzât al-burûj (Demi langit yang mempunyai gugusan bintang). Ayat ini diawali dengan wâwu al-qasam, huruf yang memberikan makna sumpah. Yang dijadikan sebagai al-muqsam bih adalah as-samâ‘ (langit) yang memiliki al-burûj.
Kata al-burûj merupakan bentuk jamak dari kata al-barj. Dijelaskan al-Alusi, kata al-burûj pada awalnya bermakna al-amr azh-zhâhir (perkara yang tampak). Kemudian secara hakiki menunjuk pada al-qashr al-‘âli (bangunan yang tinggi) lantaran bangunan itu tampak oleh orang-orang yang melihatnya.3 Diterangkan juga, kata buruj as-samâ` (bangunan langit) menunjuk pada pengertian yang telah maklum, dan dimasukkan sebagai makna hakiki sekalipun awalnya bermakna kiasan. Penyebutan burûj as-samâ` diserupakan dengan bangunan karena ketinggiannya dan keberadaan bintang-bintang di sana yang seolah-olah menjadi penghuninya.4
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama. Menurut Qatadah, Mujahid dan adh-Dhahhak, dzât al-burûj berarti dzât an-nujûm (yang mempunyai bintang-bintang). Ibnu ‘Abbas, Ikrimah dan Mujahid memaknai frasa tersebut sebagai al-qushûr (bangunan). Ikrimah dan Yahya bin Rafi’ menafsirkannya sebagai qushûr fî al-samâ` (bangunan di langit).5 Ibnu Katsir menafsirkan al-burûj sebagai an-nujûm al-‘izhâm (bintang-bintang besar), sebagaimana QS al-Furqan [25]: 61.6
Kemudian Allah SWT berfirman: wa al-yawm al-maw’ûd (demi hari yang dijanjikan). Allah SWT kembali bersumpah dengan menyebutkan al-yawm al-maw’ûd (hari yang dijanjikan). Menurut para mufassir, yang dimaksud dengan hari yang dijanjikan itu adalah Hari Kiamat. Bahkan al-Qurthubi dan al-Alusi mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang makna tersebut.7 Dipaparkan as-Sa’di, Hari Kiamat merupakan hari yang Allah janjikan kepada makhluk untuk mengumpulkan dan menggabungkan mereka di dalamnya, mulai dari yang awal hingga akhir mereka, yang jauh hingga yang dekat, tidak mungkin berubah, dan Allah SWT tidak mengingkari janji.8
Mengenai Hari Kiamat sebagai hari yang dijanjikan, diberitakan dalam beberapa ayat (Lihat, misalnya, QS Saba [34]: 30).
Dalam ayat ketiga, Allah SWT bersumpah dengan firman-Nya: wa syâhid[in] wa masyhûd[in] (demi yang menyaksikan dan yang disaksikan). Kata syâhid merupakan bentuk fâ’il (menunjuk kepada pelaku), sedangkan masyhûd bentuk maf’ûl (menunjuk kepada objeknya). Kata tersebut bisa jadi berasal dari kata asy-syuhûd yang berarti al-hudhûr (hadir), bisa juga atau dari kata asy-syahâdah (kesaksian).9
Banyak penjelasan dari para ulama tentang makna syâhid[in] wa masyhûd[in] dalam ayat ini. Menurut Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah dan al-Hasan asy-syâhid adalah Hari Jumat, sedangkan al-masyhûd adalah Hari ‘Arafah.10
Ibnu Abbas dalam riwayat lainnya mengatakan bahwa asy-syâhid adalah Nabi Muhammad saw. dan al-masyhûd adalah Hari Kiamat. Kemudian beliau berdalil dengan QS Hud [11]: 103.11
Pendapat yang sama juga dikemukakan al-Hasan bin Ali. Dalilnya yang dikemukakan sama dengan Ibnu Abbas. Aapun dalil bahwa Rasulullah saw sebagai asy-syâhid adalah QS an-Nisa’ [4]: 41.12
Demikian pula pendapat Hasan al-Bashri dan Ikrimah.13 Hasan bin al-Fadhl mengatakan bahwa asy-syâhid adalah umat ini, sedangkan al-masyhûd adalah umat-umat lain. Dasarnya adalah QS al-Baqarah [2]: 143.
Az-Zamakhsyari mengaitkan dua kata tersebut dengan ayat sebelumnya, Hari Kiamat. Menurut beliau, “Menjadi saksi dan disaksikan pada Hari Kiamat. Dengan demikian yang dimaksud dengan asy-syâhid adalah semua mahkluk yang menyaksikan hari itu, sementara al-masyhûd adalah berbagai perkara yang menakjubkan pada hari itu.” Pendapat yang sama juga dikemukakan asy-Syaukani.14
Muqatil menafsirkan bahwa syâhid itu adalah anggota badan manusia. Sebab, pada Hari Kiamat kelak semua itu menjadi saksi, sebagaimana diberitakan dalam QS an-Nur [24]: 24.15
Al-Hasan dan Said bin Jubair mengatakan bahwa asy-syâhid adalah Allah SWT. Ini didasarkan firman-Nya dalam QS an-Nisa’ [4]: 79 dan al-An’am [6]: 19.
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, pendapat yang benar adalah Allah SWT bersumpah dengan syâhid dan masyhûd tanpa memberitakan siapakah syâhid dan masyhûd yang dimaksud. Semua pendapat para ulama yang telah disebutkan dan mereka mengatakan: Inilah maknanya, termasuk dalam cakupan syâhid dan masyhûd.16
Pendapat yang sama juga dikemukakan as-Sa’di. Menurut beliau, kata tersebut mencakup semua yang memiliki sifat tersebut, yakni: yang menyaksikan dan disaksikan, yang hadir dan yang dihadiri, serta yang melihat dan yang dilihat.17
Setelah menyebutkan tiga perkara yang menjadi al-muqsam bih, kemudian Allah SWT berfirman: Qutila Ash-hâb al-Ukhdûd (Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit). Ayat ini merupakan jawâb al-qasam atas sumpah yang disebutkan sebelumnya.18
Kata qutila di sini bermakna lu’ina (dilaknat). Demikian penjelasan para mufassir, seperti ath-Thabari, al-Quthubi, az-Zamakhsyari, al-Biqa’i, al-Jazairi, dan lain-lain.19 Bahkan menurut Ibnu Abbas, “Segala sesuatu yang disebut dalam al-Quran qutila, maknanya lu’ina (dilaknat).”20 Di antara ayat lain yang menyebut kata kutila adalah QS Abasa [80]: 17 terhadap orang-orang yang ingkar. Dikatakan juga oleh Abdurrahman as-Sa’di, kalimat tersebut merupakan doa keburukan bagi mereka untuk mendapatkan kehancuran.21
Kaum yang dilaknat tersebut adalah ash-hâb al-ukhdûd (orang-orang yang membuat parit). Kata al-ukhdûd merupakan bentuk jamak dari kata al-khadzdz. Artinya, asy-syaqq al-‘azhîm al-mustathîl fî al-ardh (lubang besar yang memanjang di tanah), seperti al-khandaq (parit).22
Terdapat beberapa penjelasan mengenai kaum ini. Menurut Ibnu Katsir, para mufassir berbeda pendapat tentang kaum yang dikisahkan ayat ini, siapakah mereka?23 Di antaranya yang dikisahkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Suhaib bin Sinan.
Menurut Abdurrahman as-Sa’di, ash-hâb al-ukhdûd adalah kaum kafir. Di tengah mereka terdapat orang-orang Mukmin. Mereka berupaya membujuk kaum Mukmin itu untuk masuk ke dalam agama mereka. Kaum Mukmin menolak bujuk rayu mereka. Mereka lalu menggali parit dan menyalakan api di dalamnya. Kemudian mereka duduk mengitari parit itu seraya mendatangkan fitnah bagi kaum Mukmin dan memberikan tawaran kepada mereka. Barangsiapa yang mengikuti tawaran mereka (yakni murtad dari agamanya), dilepaskan. Yang kukuh dengan keimanannya, dilemparkan ke dalam api. Ini merupakan puncak peperangan melawan Allah SWT dan para pengikut-Nya yang Mukmin. Oleh karena itu, Allah SWT melaknat, membinasakan, dan mengancam mereka.24
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini memberitakan tentang kaum kafir yang menindas kaum Mukmin dengan memaksa mereka agar kembali kepada agama mereka semula. Kaum Mukmin menolak menjadi penyembah berhala kembali. Kemudian kaum kafir itu membuat parit, lalu menyalakan api serta menyiapkan bahan bakar agar api tetap menyala, seraya memaksa kaum Mukmin untuk menyembah berhala. Akan tetapi, mereka tetap teguh dengan keimanan mereka. Orang-orang Mukmin itu pun dilemparkan ke dalam parit yang menyala-nyala itu. Berdasarkan kejadian itulah Allah SWT berfirman dalam ayat ini dan beberapa ayat berikutnya.
Kebiadaban kaum tersebut diterangkan dalam ayat berikutnya: An-Nâr dzât al-waqûd (yang berapi [dinyalakan dengan] kayu bakar). Kata an-nâr di sini berkedudukan sebagai badal al-isytimâl dari kata al-ukhdûd. Menurut asy-Syaukani, ini merupakan pendapat jumhur. Alasannya, kata al-ukhdûd mencakup an-nâr.25 Dengan demikian parit yang mereka gali di dalamnya juga terdapat api yang menyala.
Adapun dzâti al-waqûd merupakan sifat bagi api. Maknanya adalah nâr ‘azhîmah (api yang besar) yang nyalanya sangat tinggi lantaran di dalamnya terdapat kayu bakar yang banyak dan tubuh manusia.26 Kata waqûd berarti al-hathab al-ladzî tûqadu bihi (kayu bakar yang digunakan untuk membuat api menyala).27 Ayat ini memberikan gambaran tentang betapa kejam dan biadabnya kaum tersebut.
Kemudian disebutkan: Idz hum ‘alayhâ qu’ûd (ketika mereka duduk di sekitarnya). Menurut asy-Syaukani, kalimat ini berfungsi sebagai zharf (keterangan). Artinya, mereka dilaknat ketika mereka mengelilingi api seraya duduk di atas tempat yang dekat dengannya.28
Kehadiran mereka dalam pembakaran tersebut merupakan dalil bahwa mereka merupakan kaum yang keras hati dan perasaannya, lenyap perikemanusiaannya, dan hilang rasa kasih sayangnya.29
Diberitakan juga: Wahum ‘alâ mâ yaf’alûna bi al-Mu`minîna syuhûd (sementara mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman). Menurut Ibnu Jarir, kata syuhûd di sini bermakna hudhûr (hadir).30 Mereka, yakni raja dan para pengikutnya yang menggali parit itu, terhadap apa yang mereka lakukan kepada kaum Mukmin itu—yakni melemparkannya ke dalam api dan keinginan mereka untuk memurtadkan kaum Mukmin itu—syuhûd, yakni hadir,31tanpa mengubah kemungkaran itu dan memerintahkan yang makruf.32
Dikatakan al-Biqa’i, sebagian dari mereka bersaksi atas sebagian lainnya di hadapan raja bahwa mereka tidak melanggar perintahnya. Juga, bersaksi di Hari Kiamat oleh tangan dan kaki mereka atas diri mereka yang melakukan kezaliman tersebut. Sebagian mereka bersaksi atas sebagain lainnya, saling bermusuhan, dan masing-masing mengelak atas yang lain karena keinginan kuat bisa selamat.33
Dikatakan az-Zajjaj, Allah SWT memberitahukan kisah suatu kaum yang kearifan dan hakikat keimanan mereka telah matang hingga tetap sabar karena Allah SWT ketika dibakar dengan api.34
Pelajaran Penting
Terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat-ayat ini. Pertama: kebesaran al-muqsam bih yang disebut dalam surat ini. Siapapun yang mengarahkan pandangannya ke langit, niscaya akan menyaksikan hamparan luas alam raya yang mahaluas. Ditambah lagi dengan gugusan bintang-bintang yang bertebaran di sana. Semua itu menunjukkan kebesaran Penciptanya. Karena itu semestinya tak sulit bagi manusia untuk mengimani Allah SWT, tunduk terhadap semua perintah dan larangan-Nya, takut terhadap siksa-Nya seraya berharap mendapat rahmat-Nya. Sungguh aneh jika masih ada manusia yang berani mengingkari Allah SWT, membangkang perintah dan larangan-Nya serta menantang siksa-Nya.
Demikian juga dengan Hari Kiamat. Berbagai kejadian dahsyat terjadi pada hari itu. Kehancuran alam raya mengakhiri kehidupan dunia. Setelah itu dimulai kehidupan baru. Seluruh manusia yang telah mati dihidupkan kembali dan dikumpulkan untuk diadili dalam pengadilan Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang dizalimi dan dirugikan. Semuanya dibalas berdasarkan perbuatan yang telah dilakukan selama di dunia (lihat QS Yasin [26]: 54). Siapa yang beriman dan beramal shalih, balasannya adalah surga (lihat QS al-Baqarah [2]: 25). Siapapun yang mendustakan ayat-ayat Allah, neraka adalah tempatnya (lihat QS al-Baqarah [2]: 39). Demikian juga yang mendurhakai Allah SWT dan Rasul-Nya, bagi dia Neraka Jahanam (lihat QS Jinn [72]: 23).
Demikian pula adanya syâhid dan masy-hûd. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, kedua kata itu mencakup semua fakta dan kejadian yang terkandung dari dua kata tersebut, termasuk anggota badan yang akan menjadi di saksi pada Hari Kiamat. Semua itu semestinya dapat mendorong manusia untuk beriman dan beramal shalih, sekaligus menjauhi perbuatan yang dapat menjerumuskan dirinya ke dalam neraka. Jika bertindak sebaliknya, seperti yang dilakukan Ash-hâb al-Ukhdûd, dia layak mendapat siksa yang amat pedih.
Kedua: terlaknatnya kaum kafir yang menyiksa kaum Mukmin untuk memalingkan mereka dari keimanan. Inilah yang dilakukan Ash-hâb al-Ukhdûd sebagaimana diberitakan ayat-ayat ini. Kufur kepada Allah dan menyekutukan-Nya dengan yang lain merupakan dosa yang paling besar. Bahkan satu-satunya dosa yang tidak diampuni adalah menyekutukan Allah dengan lain (lihat QS al-Nisa’ [4]: 48). Tatkala mati dalam keadaan kafir, pelakunya mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia (lihat QS al-Baqarah [2]: 161). Bahkan haram surga atas mereka dan tempatnya adalah neraka (lihat QS al-Maidah [5]: 72).
Yang dilakukan kaum yang diberitakan ayat ini lebih besar lagi, yakni kafir dan memaksa orang lain ikut kafir; menolak beriman dan menghalangi manusia untuk beriman. Cara yang ditempuh pun melebih batas kemanusiaan. Mereka melemparkan orang Mukmin yang bersikukuh dengan keimannya ke dalam parit yang berisi api yang menyala-nyala. Mereka terlaknat atas perbuatan yang mereka lakukan. Mereka pun berhak mendapatkan tambahan azab atas kebiadaban mereka di samping kekufuran mereka (Lihat: QS al-Nahl [16]: 88).
Ketiga: keteguhan sikap kaum Mukmin dalam menanggung berbagai cobaan bagi keimanan mereka. Siksaan yang ama berat yang dijatuhkan oleh kafir terhadap mereka sebagaimana diberitakan dalam ayat ini juga menunjukkan keteguhan iman mereka. Mereka tidak takut dan tidak gentar meskipun harus dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala. Bagi mereka, seberat apa pun siksaan manusia tak ada yang melebih siksa-Nya (lihat QS al-Fajr [89]: 25). Inilah sikap Mukmin yang sejati. Sikap teguh ini pula yang juga ditunjukkan oleh para tukang sihir yang beriman kepada Musa as. ketika diancam oeh Fir’aun (lihat QS Thaha [20]: 72). Demikian juga sikap para sahabat Nabi saw. Berbagai siksaan yang ditimpakan kepada mereka tak mengganggu keimanan mereka. Semoga kita termasuk orang-orang mampu meneladani sikap mereka.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol, 19 (Mesir: Dar al-Kitab al-Mishriyyah, 1964), 283; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 294; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 460.
2 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihyâ at-Turâts al-‘Arabi, 1420 H), 106.
3 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 294.
4 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 294
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol, 19, 283; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 357.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 357.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol, 19, 283; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 294.
8 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannnân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 916.
9 Al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 158
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol, 19, 283.
11 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 358.
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 358.
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 358;
14 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 730; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 499.
15 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 499.
16 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 337.
17 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 916.
18 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 15 (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 162.
19 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 337; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol, 19, 286; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 730; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 356; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum al-Hikam, 2003), 548.
20 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol, 19, 286.
21 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 916.
22 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 499. Lihat juga al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21, 356; al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 730.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 358.
24 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 916.
25 As-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 500. Badal isytimâl yakni badal yang mencakup perkara lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 15, 165.
26 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 731.
27 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 500.
28 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 500.
29 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 158.
30 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 342
31 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 413; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 15.
32 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 549.
33 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21, 356.
34 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 500.