HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Dua Syarat Penyerahan Jabatan Mu‘âwin at-Tafwîdh

Sebagaimana diketahui, Khalifah telah memberi wewenang kepada Mu‘âwin at-Tafwîdh ini secara umum dan juga posisi untuk mewakili dirinya. Lalu apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyerahan jabatan Mu‘âwin at-Tafwîdh?

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 44, yang berbunyi: “Dalam penyerahan tugas kepada Mu‘âwin at-Tafwîdh, disyaratkan dua hal: Pertama, kedudukannya mencakup segala urusan negara. Kedua, sebagai wakil Khalifah. Saat pengangkatan dirinya, Khalifah harus menyatakan: ‘Aku menyerahkan kepada Anda apa yang menjadi tugasku sebagai wakilku,’ atau dengan redaksi lain yang mencakup kedudukannnya yang umum dan bersifat mewakili. Penyerahan tugas ini memungkinkan Khalifah untuk mengirimkan para Mu’âwin ke berbagai tempat tertentu, atau memutasi mereka dari satu tempat ke tempat atau tugas lain menurut tuntutan bantuan kepada Khalifah, tanpa memerlukan pendelegasian baru karena semua itu termasuk di dalam cakupan penyerahan tugas mereka sebelumnya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 177).

Dua Syarat

Mengingat Mu‘âwin at-Tafwîdh adalah wazîr yang ditunjuk Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan, maka dalam penyerahan jabatan Mu‘âwin at-Tafwîdh ini disyaratkan harus mencakup dua hal. Pertama: keumuman wewenang (‘umumun nadzr), yakni ia diberi jabatan yang mencakup segala urusan negara. Kedua: sebagai wakil (niyâbah), yakni menjadi wakil Khalifah. Karena kedudukan sebagai wakil Khalifah ini adalah akad, maka tidak dikatakan sah kecuali dengan perkataan yang jelas dan terang (sharîh) yang menunjukkan hal tersebut. Karena itu dalam penyerahan ini, Khalifah harus mengatakan kepada dia:

قَلَّدْتُكَ مَا إِلَيَّ نِيَابَةً مِنِّي

Saya menyerahkan kepada kamu apa saja yang menjadi wewenangku, untuk mewakili aku.

Bisa juga dengan mengatakan:

اسْتَوْزَرْتُكَ تَعْوِيْلاً عَلَى نِيَابَتِكَ

Saya meminta kamu menjadi pembantuku, dengan mewakilkan secara penuh kepada kamu.

Bisa juga dengan ungkapan lain yang memiliki pengertian senada. Dengan kata lain, tidak terikat dengan dua model di atas, yang penting adalah kalimat atau  redaksinya jelas dan terang, serta memenuhi dua syarat di atas yaitu: (1) keumuman wewenang (‘umumun nadzr), yakni ia diberi jabatan yang mencakup segala urusan negara; (2) sebagai wakil (niyâbah), yakni menjadi wakil Khalifah.

Sekalipun kalimat atau redaksinya telah jelas dan terang (sharîh), tetapi belum memenuhi dua syarat tersebut, maka akad penyerahan jabatan Mu‘âwin at-Tafwîdh belum dianggap sah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 177; Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 132).

Dengan demikian, apabila mu’âwin diberi wewenang secara umum, tanpa penyertaan redaksi yang menunjukkan sebagai wakilnya, maka akad tersebut merupakan akad wilâyatul-‘ahdi (menunjuk dia untuk menjadi khalifah sesudahnya), bukan akad untuk menjadikan dia sebagai wakil (pembantu) Khalifah. Karena akad penunjukan khalifah (wilâyatul ahdi) itu adalah akad yang batil, maka itu juga menjadi akad yang batil jika hal yang sama terjadi dalam akad penyerahan jabatan Mu‘âwin at-Tafwîdh. Untuk itu, penyerahan jabatan Mu‘âwin at-Tafwîdh harus dengan redaksi-redaksi yang menunjukkan adanya realitas mu’âwin, yaitu menjadi wakil Khalifah serta mengambil semua wewenang Khalifah (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 132).

Penempatan dan Pembatasan Wewenang

Meskipun Mu‘âwin at-Tafwîdh diangkat sebagai wakil Khalifah dengan wewenang secara umum, dalam pelaksanaannya Khaifah boleh kapan pun dan di manapun untuk meminta dia melakukan aktivitas tententu; di daerah tertentu, misalnya bulan ini; di daerah ini, seorang Mu‘âwin at-Tafwîdh ditugasi melakukan aktivitas ini; di lain waktu dan tempat, ia ditugasi untuk melakukan aktivitas yang berbeda dari sebelumnya (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 132).

Imam al-Bukahri dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. yang berkata:

بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمَرَ عَلَى الصَّدَقَةِ

Rasulullah saw. pernah mengutus Umar untuk mengurusi masalah shadqah (zakat).

Imam an-Nasa’i dan ad-Darimi juga meriwayatkan hadis dari Sahabat Jabir ra. sebagai berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَجَعَ مِنْ عُمْرَةِ الْجِعِرَّانَةِ بَعَثَ أَبَا بَكْرٍ عَلَى الْحَجِّ

Sesungguhnya Rasulullah saw., ketika kembali dari umrah Ji‘irranah (Ji’ranah), telah mengutus Abu Bakar untuk memimpin ibadah haji.

Kita tahu bahwa Abu Bakar dan Umar adalah Mu‘âwin Rasulullah saw. Pada masa Rasulullah saw. keduanya diangkat dengan wewenang yang bersifat umum dalam tugas tertentu dan bukan dalam semua aktivitas. Padahal keduanya adalah mu‘âwin (wazîr) yang diberi wewenang dan otoritas yang bersifat umum sebagai wakil sebagaimana yang dituntut oleh jabatan Mu‘âwin Tafwîdh. Demikian juga Ali dan Utsman pada masa Khalifah Umar. Kenyataan ini berlanjut hingga pada masa Khalifah Abu Bakar ketika peran Umar sebagai Mu‘âwin Abu Bakar sangat menonjol dalam wewenang yang bersifat umum dan perwakilan. Begitu menonjolnya peran Umar hingga ada sebagian sahabat pernah berkata kepada Abu Bakar ra.:

لاَ نَدْرِي أَ عُمَرُ الخَلِيْفَةَ أَمْ أَنْتَ

Kami tidak tahu, apakah Umar yang menjadi khalifah ataukah engkau.

Meskipun demikian, Khalifah Abu Bakar telah menugasi Umar untuk menangani masalah qadhâ’ (peradilan) dalam beberapa waktu tertentu, sebagaimana riwayat yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang dikuatkan oleh al-Hafizh (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 179; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 58).

Atas dasar ini, ada pelajaran yang bisa kita ambil dari sirah Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin yang datang sesudah beliau, yaitu bahwa mu‘âwin diberi wewenang dan otoritas yang bersifat umum sebagai wakil. Akan tetapi, mu‘âwin boleh dikhususkan untuk posisi atau tugas tertentu. Hal itu seperti yang dilakukan Nabi saw. terhadap Abu Bakar dan Umar, juga seperti yang dilakukan Khalifah Abu Bakar terhadap Umar. Contohnya adalah seperti mengangkat seorang mu‘âwin untuk memonitor wilayah utara dan mu‘âwin yang lain untuk memonitor wilayah selatan.

Artinya, Khalifah boleh menempatkan mu‘âwin pertama pada posisi mu‘âwin kedua dan sebaliknya; boleh juga mu‘âwin yang ini dipindah untuk menangani tugas ini dan mu‘âwin yang lain untuk menangani tugas yang lain menurut arahan yang diharuskan dalam proses membantu Khalifah. Dalam proses pergantian tersebut, penyerahan wewenang baru, tidak diperlukan lagi. Tetap sah untuk memindahkan seorang mu‘âwin dari satu tugas ke tugas lainnya, karena asalnya mu‘âwin itu diserahi wewenang dan otoritas yang bersifat umum sebagai wakil. Semua aktivitas itu sudah tercakup dalam pengangkatannya sebagai mu‘âwin (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 179; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 58).

Jelaslah bahwa Khalifah mengangkat mu‘âwin-nya sebagai wakil untuk mewakili dirinya di seluruh penjuru negara dengan wewenang yang bersifat umum dalam seluruh aktivitas. Meskipun demikian, Khalifah berhak untuk membebani mu‘âwin hanya dengan tugas tertentu; misalnya mu‘âwin ini untuk wilayah timur, sedangkan mu‘âwin lain untuk wilayah barat. Begitulah seterusnya. Hal yang demikian ini akan tampak penting dalam kondisi saat mu‘âwin lebih dari satu orang. Dengan begitu aktivitas-aktivitas mereka tidak akan bertabrakan satu sama lain, karena kalau terjadi tabrakan, maka kedua-duanya tidak sah. Kalau Khalifah menunjuk pejabat mu‘âwin tafwîdh itu lebih dari satu, maka itu berarti masing-masing memiliki wewenang seperti Khalifah, dengan wewenang secara umum. Karena itu Khalifah tidak boleh menunjuk dua orang mu‘âwin untuk jabatan yang sama karena alasan wilayahnya umum. Ingat, jabatan pemerintahan merupakan jabatan untuk satu orang, sehingga kalau ditunjuk dengan cara demikian, maka penunjukan terhadap kedua orang tersebut dianggap tidak sah kedua-duanya. Rasulullah saw. bersabda:

فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Hendaknya mereka dipimpin oleh salah seorang di antara mereka (HR Abu Dawud).

إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ

…kecuali kalian dipimpin oleh salah seorang di antara kalian (HR Ahmad).

Hadis di atas menunjukkan syarat sah atau tidaknya penyerahan kepemimpinan. Ini kalau penyerahan kepada dua orang mu‘âwin dalam waktu yang sama. Adapun jika penyerahan kepada keduanya dilakukan pada waktu yang berbeda, salah satu di antara keduanya lebih dulu daripada yang lain, maka penyerahan kepada yang lebih dulu yang dianggap sah, sementara orang yang terakhir dianggap batal (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 133).

Karena keperluan Khalifah, khususnya dengan bertambah luasnya wilayah negara, akan ada wazîr (mu‘âwin) lebih dari satu orang. Hal ini berpotensi menimbulkan sejumlah masalah dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka, karena kemungkinan saling intervensi selama masing-masing dari mereka memiliki wewenang dan otoritas yang bersifat umum sebagai wakil. Untuk itu Hizbut Tahrir menetapkan: Pertama, dari segi pengangkatan, setiap mu‘âwin diangkat dengan wewenang dan otoritas yang bersifat umum sebagai wakil Khalifah di seluruh penjuru negara. Kedua, dari segi tugas, setiap mu‘âwin dibebabi tugas di sebagian wilayah negara. Artinya, wilayah (propinsi) negara di bagi di antara para mu‘âwin yang ada. Dengan begitu, mu‘âwin ini menjadi pembantu Khalifah di wilayah timur; yang itu menjadi pembantu Khalifah di wilayah barat; dan yang lainnya lagi di wilayah utara. Ketiga, dari segi perpindahan, seorang mu‘âwin dipindahkan dari satu posisi atau tempat ke posisi atau tempat yang lain dan dari satu tugas ke tugas yang lain tanpa memerlukan pengangkatan yang baru, tetapi cukup dengan pengangkatan awal. Sebab, asal pengangkatannya adalah sebagai mu‘âwin yang mencakup semua tugas (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 58).

Mu‘âwin berbeda dengan wali (gubernur). Seorang wali diangkat dengan wewenang yang bersifat umum di tempat tertentu dan tidak dipindahkan ke tempat lain. Untuk dipindah ke tempat yang baru diperlukan akad pengangkatan yang baru, karena tempat yang baru tidak termasuk dalam akad pengangkatan awal. Akan tetapi, seorang mu‘âwin diangkat dengan wewenang dan otoritas yang bersifat umum sebagai wakil sehingga ia boleh dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa memerlukan akad pengangkatan baru. Sebab, asalnya ia memang diangkat dengan wewenang dan otoritas yang bersifat umum sebagai wakil di dalam seluruh aktivitas.

WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]

Daftar Bacaan

Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadimi, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*