Bukan agama, tetapi Kapitalismelah yang menjadi akar dari sebagian besar perang di dunia.
Tony Blair kembali menyerang Islam. Sebagaimana yang dilaporkan The Guardian (25/1), Blair menyatakan bahwa ekstremisme agamalah yang menjadi akar penyebab perang pada abad ke 21. Menurut dia, Barat harus siap untuk mengambil langkah-langkah keamanan sebagai perlindungan bahkan kalaupun harus dengan aksi militer, tegasnya.
Pernyataan mantan PM Inggris ini tidak lain merupakan upaya membenarkan tindakannya yang bersama Goerge W Bush memimpin invasi ke Irak dengan korban lebih dari 1 juta rakyat Irak. Blair berupaya melakukan penyesatan politik, mengalihkan kesalahan yang dilakukan oleh kolonial Barat kepada agama, sebagai penyebab dari semua perang. Mengulangi pola-pola propaganda lama, Blair melakukan apa yang disebut blame the victim (menyalahkan korban). Satu juta umat Islam menjadi korban invasi Barat di Irak. Namun, yang disalahkan justru umat Islam dengan agamanya.
Padahal sudah terbukti, motif utama serangan terhadap Irak adalah untuk kepentingan pemilik modal, berkaitan dengan bisnis minyak Irak yang kaya-raya. Greenpeace dalam siaran persnya pada Januari 2003 dengan tegas menyatakan Presiden Amerika Serikat George W. Bush hanya ingin menguasai Irak, yang kaya cadangan minyak, untuk kepentingan industri minyak dan senjata Amerika. Greenpeace menilai AS melakukan pelanggaran hukum internasional kalau melakukan aksi militer ke Irak secara sepihak. Hal senada disampaikan Forum Masyarakat Dunia di Brazil yang menolak rencana penyerangan ke Amerika ke Irak. Mereka juga beranggapan bahwa penyerangan ini merupakan keinginan Amerika untuk menguasai minyak.
Sejarah juga membuktikan bahwa pada abad ke-21, abad ke-20, abad ke-19 ataupun abad ke-18 agama hanya memainkan peran kecil dalam berbagai konflik. Sejak munculnya demokrasi liberal di Eropa pada abad ke-18, kebanyakan peperangan disebabkan oleh persaingan supremasi dan penguasaan atas sumberdaya. Sejarah kolonial dunia yang menimbulkan korban besar di daerah penjajahan tidak bisa dilepaskan dari angkatan laut Inggris. Imperium Inggris menjadi sangat kaya terutama karena peperangan.
Penjajahan yang dilakukan Inggris dengan mengekploitasi kekayaan dari negeri-negeri jajahan, seperti Timur Tengah, disertai dengan pembantaian masal secara brutal rakyat jajahan di Afrika, merupakan cerminan imperium Inggris yang penuh darah. Motif dari semua itu bukanlah agama, tetapi keserakahan untuk memperkaya diri dan menguasai ekonomi dunia.
Konflik di Timur Tengah hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari kejahatan politik Inggris bekerjasama dengan Prancis. Semua berakar dari imperialisme Barat ke wilayah tersebut sejak masa kemunduran Kekhilafahan Islam. Semua persoalan sekarang, kalau ditarik, pastilah berhubungan dengan sejarah imperialisme Barat di Timur Tengah dan kemunduran Kekhilafahan Islam.
Hal ini secara tepat disimpulkan oleh David Fromkin dalam bukunya, A Peace to End All Peace, “Pembagian bekas Kekaisaran Ottoman setelah Perang Dunia I menjadi biang keladi ketidakpastian politik dan kemelut di Irak modern dan seluruh Timur Tengah dalam setengah abad belakangan ini.”
Inggris dengan ambisi imperialismenya menciptakan negara ilegal Israel di jantung negeri-negeri Muslim. Keberadaan negara ilegal ini kemudian menjadi sumber konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah hingga saat ini.
Perang Dunia I, sebuah perang global yang terpusat di Eropa (1914-1918), bukanlah perang yang bermotif agama, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam. Perang ini melibatkan dua aliansi besar yang bertentangan, pihak Sekutu (Britanisa Raya, Prancis, dan Rusia) dan Kekuatan Sentral (Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia).
Nafsu memenangkan perang yang mendorong penggunaan senjata-senjata mematikan yang dilakukan oleh Inggris telah menyebabkan besarnya korban perang. Lebih dari 9 juta prajurit gugur sehingga Perang Dunia I diangggap merupakan konflik yang paling mematikan keenam dalam sejarah dunia.
Perang Dunia II yang mengakibatkan kematian masal warga sipil akibat pemakaian senjata nuklir, juga bukan didorong oleh motif agama, tetapi nafsu serakah kolonialisme. Perang ini menyebabkan 50 juta hingga 70 juta jiwa terbunuh dan dianggap merupakan konflik yang paling mematikan dalam sejarah umat manusia.
Menurut Encyclopaedia of Wars, dari 1.763 konflik besar yang tercatat dalam sejarah, hanya 123 (kurang dari 7%) yang bisa dimasukkan dalam peperangan karena perbedaan agama. Ensiklopedi itu juga menjelaskan jumlah orang yang tewas dalam konflik karena perbedaan masalah agama ini hanya mencapai 2%.
Upaya Blair menyalahkan ekstremisme Islam sambil menuduh korban sebagai penyebab, tidak lain mengikuti jejak para pemimpin Inggris di masa lalu. Untuk menutupi kejahatan perangnya, Imperium Inggris menyalahkan penduduk pribumi Australia (aborigin) sebagai penyebab wabah penyakit yang mematikan. Tuduhan ini untuk menutupi pembantaian yang mereka lakukan yang membuat hampir punah penduduk asli Australia itu.
Kedunguan Blair yang lain adalah menawarkan demokrasi sebagai solusi untuk melawan ekstremisme religius. Padahal Blair bersama Bush, dengan alasan menyebarluaskan demokrasi liberal di Irak, melakukan invasi yang menyebabkan lebih dari 1 juta orang terbunuh. Kekacauan pun terus berlangsung hingga kini. Semua atas nama penyebaran demokrasi liberal di Dunia Islam.
Kepada Tuan Blair kami memberikan peringatan: Jangan ajari kami bagaimana menjaga nyawa umat manusia. Jangan ajari kami bagaimana mensejahterakan umat manusia. Anda tidak punya otoritas moral maupun intelektual melakukan itu karena pada saat yang sama kalian melakukan pembantaian terhadap umat Islam, merampok dan memiskinkan umat Islam di negeri mereka yang kaya.
Bagi kami tidak ada pilihan lain untuk menyelesaikan persoalan kami kecuali dengan tegaknya Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam, menyatukan umat Islam, melindungi tiap tetes darah umat Islam dan setiap jengkal tanah kaum Muslimin dari negara-negara rakus, dari orang-orang brutal seperti kamu! Cukuplah Allah dengan syariah-Nya yang mulia sebagai pelindung kami dan tempat kami kembali. Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]