Majalah Al-Waie edisi Arab menerima beberapa memoar dari Yang Terhormat, Salim al-Amr. Kami telah mempublikasikan sebagian dari memoar itu karena Insya Allah di dalamnya terdapat pelajaran dan manfaat bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Kami menyampaikan terima-kasih dan penghargaan kepada Saudara Salim untuk memoar yang ekspresif dan menggugah ini. Kami memohon kepada Allah SWT untuk memberikan kepada dia apa yang yang akhirnya akan datang. Semoga Allah menjaga dia dari segala keburukan dan kejahatan.
Awalnya dimulai dari Penjara Gurun Sawaqa di Yordania. Hari itu saya tidak tahu tentang Hizbut Tahrir (HT) kecuali beberapa perkara yang membuat saya meremehkan dan membenci. Semoga Allah mengampuni orang yang menjadi penyebab atas masalah ini!
Pada pagi hari itu, berita datang ke penjara bahwa seorang tahanan bernama Atha Abu ar-Rashtah (Abu Yasin) akan dipindahkan dari Penjara Juwaideh ke Penjara Gurun Sawaqa. Hal ini tidak begitu menjadi masalah bagi saya sebagaimana pentingnya hal itu bagi para syabab (anggota) HT yang berada di ruang sebelah depan ruangan kami. Saya menyaksikan wajah-wajah ceria mereka hanya karena mereka mendengar tentang kedatangannya. Saya mengetahui dari mereka bahwa ia adalah Juru Bicara resmi HT. Namun, siapa dari kami yang mengenal dia?
“Bagaimana Anda tidak mengenal siapa orang ini? Dia adalah salah seorang dari sangat sedikit orang yang menulis tentang ekonomi Islam!” seru teman saya (Ahmad al-Sa’ub, yang merupakan saudara saya seiman dalam melawan orang-orang Yahudi). Tentu, Ahmad termasuk yang rajin membaca koran. Bahkan iklan kecil tidak akan luput dari perhatiannya.
Ketika itu saya berada di sebuah ruangan dengan orang-orang yang disebut sebagai orang ‘Afghan Yordania’. Kasus ini adalah satu kasus yang rumit; banyak orang yang tidak bersalah dizalimi. Pada saat itu, kasus kami diberi nama ‘Kasus Wadi Mujib’. Singkatnya, kasus kami adalah suatu operasi syahid melawan para turis Yahudi yang datang ke Yordania, yang dilakukan pada ulang tahun pertama pembantaian yang dilakukan di Masjid Ibrahimi tanggal 24 Februari 1995. Namun, operasi gagal, dan saya dijatuhi hukuman mati, kemudian dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa.
Pemikiran saya pada saat itu lebih dekat kepada Salafi jihadi. Karena itu sangat jauh perbedaan pemikiran antara saya dan HT. Saya mengakui bahwa saya belum matang secara intelektual pada saat itu. Saya tidak peduli tentang pemikiran (fikr) atau mengetahui apa artinya. Kami tidak tahu terminologi yang kami dengar dari syabab HT dan tidak pedulu karena kami sangat meremehkan arti kata pemikiran (fikr). Ketika kami melihat Abu Yasin dan para pengikutnya pindah dari satu ruangan ke ruangan untuk menunaikan kewajiban kepada salah seorang dari mereka, salah seorang teman kami berkata sinis, “Ini adalah pemimpin mereka yang megajarkan tentang pemikiran kepada mereka.” Kami pun menertawakan mereka dengan naif.
Saat kami sibuk dengan masalah-masalah internal kami dan mencari berita tentang amnesti umum yang kami dengar dari waktu ke waktu, sambil berharap untuk keluar dari penjara, para syabab HT sibuk menyerap ilmu dari Abu Yasin. Mereka, seperti yang dijelaskan oleh penulis Abdullah Abu Rumman ketika dia dipenjara karena isu roti, “menulis sebuah buku setiap minggu.” Realitas mereka juga digambarkan oleh Profesor Hamza al-Aneed, pada saat dikunjungi oleh keluarganya. Dia berkata kepada keluarganya, “Bersama kami ada Abu Yasin yang selalu memberi kajian secara berkelanjutan.”
Karena itu berita tentang amnesti umum tidak menyibukan mereka (para syabab). Mereka meyakini bahwa penjara adalah qadha’ dari Allah. Jarang sekali ada permasalahan internal di antara mereka. Syaikh ‘Atha telah membuat mereka sibuk dengan kajian dan menulis. Beliau mengajari mereka bahasa Arab dan ushul fikih. Ketika kami pergi berolah raga, banyak dari mereka yang pergi ke perpustakaan penjara untuk membenamkan waktu mereka mempelajari kitab-kitab tafsir dan meminjam buku karena mereka igin menjalankan tugas kewajiban yang ditugaskan kepada mereka (oleh Abu Yasin).
*****
Kadang-kadang kami terkena konflik, sebagai akibat dari perkelahian dengan pihak administrasi penjara yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini biasanya terjadi karena saudara-saudara Salafi Jihadi (negara menyebut kasus mereka sebagai kasus baiat kepada imam). Mereka menganggap para polisi adalah kumpulan thaghut sehingga wajar terjadi permusuhan. Hal ini membuat hidup kami selalu dalam keadaan konflik di dalam penjara.
Situasi saat itu adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh penulis dan wartawan Abdullah Abu Rumman dalam sebuah artikel yang dia tulis ketika dia dibebaskan dari penjara dengan judul, “Pemimpin di Penjara”.
Karena saya bertanggung jawab sebagai pimpinan para tahanan, saya melayani sekelompok tahanan dari gerakan-gerakan yang berbeda: orang-orang Yordania Afganistan, orang-orang dari gerakan yang berbeda, dan dari HT karena sebagian dari mereka berada di sel saya; di antaranya adalah Tariq al-Ahmar dan Insinyur Laith Shubeilat. Abu Musab al-Zarqawi juga seorang pemimpin dari sebuah kelompok. Walid Hijazi adalah pemimpin syabab HT di dalam sel, termasuk Abu Yasin, karena Abu Yasin menolak untuk menjadi pemimpin. Malah dia sering berusaha untuk menjadikan syabab sebagai pemimpin, dan membimbing mereka pada beberapa perkara.
Pada saat shalat Jumat, kami biasa shalat di kamar. Berkali-kali kami mendengar khutbah Jumat dari Syaikh ‘Atha dan kadang-kadang dari Abu Muhammad al-Maqdisi. Ini terjadi sebelum kami dibagi ke dalam kamar-kamar kecil. Khutbah Abu Yasin sangat memukau sehingga mempengaruhi sebagian kelompok salafi. Kemudian para pemimpin kelompok salafi menyadari hal ini. Mereka lalu membuat masalah untuk memisahkan kelompoknya dari Syaikh ‘Atha. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Abu Yasin kerap memberikan pelajaran secara rutin di kamar kami mengenai ushul fikh yang biasa dihadiri sebagian syabab di dalam ruangan. Pelajaran rutin lainnya diberikan oleh Saudara Shabeita, juga dari HT, mengenai bahasa Arab. Namun sayang, kami tidak menaruh perhatian besar terhadap pelajaran ini.
Abu Yasin selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk berdiskusi dengan orang-orang lain di kamar yang berbeda, baik pada saat ada yag sakit atau pada situasi berkabung. Beliau tidak pernah putus asa. Dia biasa menasihati teman-temannya dengan Wasiat Rasulullah saw.dan para sahabatnya:
صِلْ مَنْ قَطَعَكَ، وَاعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَكَ
Sambungkanlah hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu dan maafkanlah orang yang menzalimimu.
Dia biasa mengabaikan pelecehan yang dilakukan terhadap dirinya oleh orang-orang lain dari gerakan-gerakan lain dan tidak meresponnya kecuali dengan kebaikan (Lihat: QS Fushshilat [41]: 34 ).
Saat itu kami biasa mengejek para syabab HT itu. Pada saat yang sama, kami juga biasa mencintai mereka. Sebagian dari kami biasa menggoda mereka dengan mengatakan, “Kamu syabab Hizbut Tahrir. Ketika kamu pergi untuk minum kopi, kamu meminta kepada pelayan untuk membawakan anda satu cangkir teh dan membawakan juga dua orang untuk berdiskusi.”
Saya melihat Abu Yasin menertawakan gurauan ini, yang disampaikan oleh teman saya Idul Jahaleen (dari kasus orang ‘Afghan Yordania’), yang telah kehilangan kedua kakinya dalam usaha meledakkan bioskop—semoga Allah memberi dia kesehatan. Dr. Ali al-Faqir, yang biasa duduk dalam lingkaran pengajian Abu Yasin dan belajar ushul, akan mengatakan kepada kami untuk bersikap adil, ketika kami hanya berdua, “Saudaraku, jika ada orang yang layak dihormati, itu adalah Abu Yasin.”
Setelah dua tahun di penjara, gambaran mulai jelas bagi saya sedikit demi sedikit. Saya bisa melihat banyak hal secara obyektif. Saya terutama melihat bertambahnya masalah-masalah internal hanya karena alasan-alasan sepele, suatu hal yang membuat saya membuang-buang waktu saja. Saya kemudian menulis permintaan kepada administrasi penjara untuk mengirimkan saya ke lantai dua, ruangan tempat para syabab HT itu. Permohonan saya disetujui, namun dibatalkan beberapa jam kemudian! Jadi saya tinggal di sana hanya semalam, kemudian kembali ke ruangan asal saya. Duh, sungguh kebahagian yang belum terlaksana.
Dari waktu ke waktu, kami mengucapkan selamat tinggal kepada syabab yang dibebaskan, dan menjadi kebiasaan untuk merayakan saat pembebasan mereka. Bersama dengan sipir penjara, saya mengorganisasi malam pelepasan sebagian dari mereka. Saya ikut tidur di kamar-kamar mereka untuk mempersembahakan beberapa nyanyian/nasyid untuk merayakan pembebasan mereka.
Kemudian datanglah hari ketika Allah SWT memberikan kehormatan kepada saya untuk berjumpa dengan Amir HT dan syabab-nya dalam satu sel, ketika kami dipindahkan ke Penjara Salt (di utara-barat Jordan) yang dibagi-bagi ke dalam sel-sel yang tidak tersinari matahari. Di dalam sel itu terdapat tempat tidur yang terbuat dari dua lantai beton dan setiap sel memiliki empat tingkat, yakni delapan tahanan dalam sebuah ruangan.
Jika dibandingkan dengan Penjara Sawaqa, Penjara Salt merupakan ujian yang lebih berat. Suasananya pun berubah. Tempatnya sangat sempit. Kelembabannya berlipat. Permasa-lahan pun meningkat. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa saya adalah orang yang paling banyak mendapatkan manfaat karena perpindahan ini. Dengan karunia Allah, berubahlah kesulitan di penjara ini menjadi kenikmatan tersendiri.
*****
Setiap penjara memiliki suasana yang berbeda. Meskipun kurangnya pelayanan dan sel-sel kecil di Penjara Salt, kami mulai terbiasa dengan tempat itu. Penjara bukanlah hanya tembok. Kadang seseorang bisa mengubah kesulitan di penjara menjadi nikmat, karena kehendaknya sendiri, meskipun terdapat banyak rintangan.
Pada saat itu Abu Yasin hendak mengucapkan selamat tinggal pada sebagian besar syabab HT di penjara itu. Tidak ada yang tersisa dari mereka kecuali hanya sedikit. Semuanya akan segera bebas karena hukuman mereka berakhir. Saya ingat mereka adalah Walid Hijazi, Suhaib Ja’ara dan Abdul al- Rahim Abu ‘ Alba. Dalam beberapa minggu mereka akan berada di luar tembok penjara, menghirup udara kebebasan.
Tak seorang pun dari syabab yang tersisa di ruangan kecuali Abu Yasin. Betapa menyakitkan dan menyedihkan ketika seseorang ditinggal seorang diri terisolasi, tanpa seorang teman di dalam ruangan.
Di sini saya memutuskan untuk pindah ke kamarnya, terutama karena sekarang hal ini sudah menjadi lebih mudah.
Banyak alasan atas keputusan saya ini. Di antarannya: suasana kedamaian di dalam ruangan Abu Yasin; melayani seorang pria yang sudah beruban (dia memang layak untuk dilayani karena di antara wujud menganggungkan Allah adalah menghormati seorang Muslim yang telah tua dan mengormati Ahli al-Quran); keluasan hati yang menjadi ciri khas Abu Yasin.
Suatu hari saya melihat ada seorang pemuda yang banyak berbuat buruk kepada beliau, namun beliau tidak peduli.
Setelah pindah ke selnya, saya mulai memperhatikan pria itu dari dekat; bagaimana cara beliau makan, bagaimana cara beliau minum, bagaimana cara beliau melakukan wudhu, bagaimana cara beliau beribadah, dan bagaimana cara beliau berurusan dengan orang-orang. Saya melihat Islam terwujud dalam kenyataan di dalam sel itu. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang Dia kehendaki.
Abu Yasin adalah orang yang dihormati semua orang. Dia selalu menyambut Anda dengan senyum. Ketika beliau berwudhu, beliau tidak menyia-nyiakan air. Beliau akan menutup keran beberapa kali selama wudhu saat beliau bergerak dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain. Saya akan bertanya kepada beliau, “Abu Yasin, apakah Anda khawatir air di penjara akan habis?”
Jawab beliau, “Air ini adalah milik umum. Air harus dilestarikan dan jangan disia-siakan.”
Beliau biasa menyambut semua orang dengan salam. Namun, beberapa tahanan dari gerakan-gerakan lain tidak akan membalas salamnya, suatu hal yang membuat beliau sedih. Beliau akan berkata kepada saya, “Bagaimana mentalitas seperti itu ditangani ketika Negara Islam berdiri?”
Beliau diam sebentar dan kemudian berkata, “Tidak ada solusi untuk hal ini, setelah pembentukan Khilafah, kecuali bahwa mereka ditempatkan di perbatasan untuk berperang melawan musuh.”
Hanya ada satu televisi di penjara untuk semua orang. Televisi itu selalu berada di ruang makan. Abu Yasin pergi ke sana hanya untuk menonton berita pukul delapan dan kemudian akan kembali ke selnya.
Suatu hari salah seorang tahanan lain, dari keluarga Tahhan, yang bukan dari syabab HT (dia dipenjara karena membawa senjata) berkata kepada saya, “Saudaraku, Anda tidak tahu betapa saya menghormati orang ini (Syaikh ‘Atha). Saya telah melihat dia lebih dari sekali menangis setelah mendengarkan buletin berita, terutama ketika dia mendengar berita yang menyakitkan dari Aljazair dan pembunuhan yang terjadi di sana.”
Suatu hari, seorang militer dari Klan ash-Shabtat at-Tufayla mengatakan kepada saya bahwa dia telah menghabiskan masa pengabdiannya di Dinas Keamanan Preventif, sebelum dipindahkan ke penjara itu. Setelah mulai keakraban dan persahabatan tumbuh di antara kami, dia berkata kepada saya, “Salim, menurut kamu, siapa yang paling berbahaya bagi rezim Yordania dari orang-orang yang ada di sini?”
Jawaban saya singkat, Kelompok ‘Kesetiaan kepada Imam’ (yaitu ‘Salafi Jihadi’), lalu ‘Peledak Ajloun’.”
Dia sedikit tertawa dan kemudian berkata, “Semua orang itu tidak bisa melemahkan kami.”
Kemudian dia berkata, “Apakah kamu melihat bahwa orang itu (Abu Yasin) berjalan di sana sendirian, tidak ada seorang pun di antara kamu yang memperhatikan dia.”
“Ya,” jawab saya.
“Dialah orang yang paling berbahaya bagi rezim Yordania.”
Saya kemudian menyadari bahwa kenyataan ini tidak seperti yang terlihat. Sebagian petinggi militer sering datang dengan diam-diam ke sel itu untuk duduk bersama Abu Yasin ketika mereka yakin tidak ada penjaga keamanan penjara. Saya kemudian menyadari bahwa nushrah (perlindungan/pertolongan dari para pemegang kekuasaan) itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Saya juga yakin bahwa banyak dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan keimanan mereka (maksudnya banyak orang yang berada di lingkungan rezim pemerintah yang tidak mendukung rezim itu dan siap memberikan dukungannya kepada para pengemban dakwah).
Dulu saya tidak mampu membedakan antara mubtada’ (subjek) dengan khabar (predikat) dalam ilmu nahwu. Suatu hari, Abu Yasin berkata kepada saya, “Mengapa Anda tidak memanfaatkan waktu Anda dan belajar bahasa Arab?”
Saya menjawab, “Ini adalah pelajaran yang sulit, yang saya tidak mengerti, lupakan saja.”
Abu Yasin berkata, “Yang harus Anda lakukan adalah membawa Mushaf al- Quran, buku catatan, dan pena. Kemudian serahkan sisanya kepada saya. Anda akan belajar itu, insya Allah.”
Saya pun menentang beliau, bahwa beliau akan membuang-buang waktu di tempat yang salah. Namun, beliau bersikeras untuk mengajari aku bahasa Arab. Mengapa tidak, ini adalah bahasa al-Quran sekaligus kunci untuk memahami dan menggali hukum-hukumnya.
Pada akhirnya, saya meyakinkan sebagian narapidana lain untuk belajar bahasa Arab, dan kami mulai pada metode lama sekolah al-Qur’an. Sebagian besar contoh yang dia gunakan adalah dari al-Quran. Demikian juga tugas-tugas yang dia berikan kepada kami. Pada akhirnya, setelah beberapa minggu kami menjalani tes yang saya tidak pernah bermimpi pernah mampu menyelesaikannya pada masa lalu—yakni menyelesaikan i’rab QS al-Anfal (mengurai kata dan kalimat) secara sempurna dan saya bisa melakukannya. Semoga Allah membalas beliau dengan pahala yang terbaik atas pelajaran yang beliau ajarkan! (Riza/Yasin/Sumber: Al-Waie Arab). [Bersambung]